Follow Me

Thursday, November 15, 2012

Tak Meranggas Tiap Kemarau (bagian 1)



 -sebuah cerpen-
Ditulis saat duduk di kelas 11, atau SMA kelas 2. Kalau tidak salah, ditulis untuk mading Ulul Albab (ROHIS SMA 1 Purwokerto). Silahkan dibaca.. :)
***
Mentari bersinar terang. Teriknya menyengat bumi. Hari yang cerah walau tak secerah raut wajah manusia-manusia yang sedang beraktivitas. Keringat-keringat yang bercucuran dari dahi mereka menandakan betapa panas siang ini. Banyak yang mengeluh akan cuaca yang akhir-akhir ini bisa sangat panas lalu kemudian hujan deras. Namun banyak juga yang tak ambil peduli, melakukan aktivitas mereka dengan senyum di bibir. Seolah tak ada sesuatu yang aneh dengan cuaca.


Begitu pula dengan Ali, ia tidak peduli. Tidak merasa beruntung mempunyai kamar ber-AC hingga ia tak merasa kepanasan. Bibirnya enggan tersenyum walau akhir-akhir ini orang tuanya memanjakannya dengan hadiah-hadiah. Ia sudah bosan. Selalu. Selalu ia mendapatkan perlakuan istimewa setiap keluarganya menempati rumah baru, wilayah baru, suasana baru. Ini kepindahannya yang ke 15 sejak ia dilahirkan sampai sekarang.
Seharusnya ia terbiasa dengan adaptasi ini itu yang harus dilakukannya setiap kali mereka pindah rumah. Tapi Ali tidak. Dia tetap Ali yang susah menyesuaikan diri di lingkungan baru. Tidak bisakah orangtuanya mengerti tentang ini? Atau mungkin mereka memang tidak mau mengerti.
***
Sudah seminggu lebih Ali menuntut ilmu disebuah SMA ternama di kota pindahannya, namun belum ada satupun teman yang ia dapat. Mungkin bukan salahnya kalau ia belum bisa bergabung dengan mereka. Sungguh, Ali cuma butuh a lot of time untuk beradaptasi dengan semua suasana baru ini. Siswa-siswa yang menggunakan bahasa jawa dalam keseharian, guru yang lebih banyak bersenda gurau dibanding mengajar atau yang bangga jika siswa-siswanya takut padanya, mata pelajaran dengan pengantar bahasa Indonesia, dan lain-lain.
Ali memilih tuk menyendiri, pergi ke mushola kecil atau perpustakaan di sekolahnya setiap jam istirahat. Menunaikan sholat duha, atau membaca buku-buku fiksi. Dan di mushola itulah ia bertemu Akbar, siswa kelas IPS 3. Tentu saja Akbar yang menyapa Ali dahulu. Bertanya banyak hal walau jawaban Ali cuma sepatah dua kata. Ada sesuatu yang membuat Akbar tertarik untuk bersahabat dengan Ali. Sesuatu yang dipertanyakannya hari ini,
“Jujur Li, aku heran.. ternyata ada orang Jakarta yang rajin sholat macam kamu! Padahal… pasti susah untuk istiqomah sholat 5 waktu di Jakarta. Godaannya kan banyak. Kok kamu bisa?”
“Kebiasaan sejak kecil,” ujar Ali. Ali terkekeh dalam hati. ‘Ya.. mungkin karena aku baru satu semester tinggal di Jakarta. Mungkin ceritanya akan lain kalau aku tinggal di sana lebih lama.’ bisiknya dalam hati. Diam-diam ia bersyukur, coba kalau Allah tidak menyayanginya. Mungkin ini adalah hikmah yang dapat ia petik.
***
Tak terasa setahun sudah terlewati, masa-masa adaptasi Ali telah terlampaui. Sejak bersahabat dengan Akbar, ia lebih mudah untuk membuka diri. Akbar menjelaskannya tentang segala hal tentang SMA mereka. Menjadi translator setiap kali ia tidak mengerti arti sebuah kata berbahasa jawa. Semuanya terasa indah, hingga badai itu datang memporak-porandakan harinya.
“Ayah yakin menerima tawaran pindah ke Bandung?” tanya Bunda sedikit berbisik. Takut Ali mendengarnya.
“Apa yang bisa membuat Ayah tidak yakin, Bunda?” Ayah balik bertanya, menatap Bunda dengan kasih sayang.
“Ayah yakin Ali bisa menerima semua ini? Dulu saja, ia mogok bicara pada kita 2 minggu waktu kita baru pindah,” Bunda cemas. Sungguh menyiksa kalau melihat anak semata wayangnya membisu. Matanya memancarkan kepedihan mendalam setiap ia menutup mulut pada mereka.
BRAK! Suara pintu yang terbanting menyadarkan mereka kalau Ali baru saja melintas. Dengarkah ia tentang kepindahan mereka ke Bandung? (bersambung)
***

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya