-sebuah cerpen-
Ditulis saat duduk di kelas 11, atau SMA kelas 2.
Kalau tidak salah, ditulis untuk mading Ulul
Albab (ROHIS SMA 1 Purwokerto). Silahkan dibaca.. :)
***
***
Mentari bersinar terang. Teriknya
menyengat bumi. Hari yang cerah walau tak secerah raut wajah manusia-manusia
yang sedang beraktivitas. Keringat-keringat yang bercucuran dari dahi mereka
menandakan betapa panas siang ini. Banyak yang mengeluh akan cuaca yang
akhir-akhir ini bisa sangat panas lalu kemudian hujan deras. Namun banyak juga
yang tak ambil peduli, melakukan aktivitas mereka dengan senyum di bibir. Seolah
tak ada sesuatu yang aneh dengan cuaca.
Begitu pula dengan Ali, ia tidak peduli.
Tidak merasa beruntung mempunyai kamar ber-AC hingga ia tak merasa kepanasan.
Bibirnya enggan tersenyum walau akhir-akhir ini orang tuanya memanjakannya
dengan hadiah-hadiah. Ia sudah bosan. Selalu. Selalu ia mendapatkan perlakuan
istimewa setiap keluarganya menempati rumah baru, wilayah baru, suasana baru.
Ini kepindahannya yang ke 15 sejak ia dilahirkan sampai sekarang.
Seharusnya ia terbiasa dengan adaptasi
ini itu yang harus dilakukannya setiap kali mereka pindah rumah. Tapi Ali
tidak. Dia tetap Ali yang susah menyesuaikan diri di lingkungan baru. Tidak
bisakah orangtuanya mengerti tentang ini? Atau mungkin mereka memang tidak mau
mengerti.
***
Sudah seminggu lebih Ali menuntut ilmu
disebuah SMA ternama di kota
pindahannya, namun belum ada satupun teman yang ia dapat. Mungkin bukan
salahnya kalau ia belum bisa bergabung dengan mereka. Sungguh, Ali cuma butuh a
lot of time untuk beradaptasi dengan semua suasana baru ini. Siswa-siswa yang
menggunakan bahasa jawa dalam keseharian, guru yang lebih banyak bersenda gurau
dibanding mengajar atau yang bangga jika siswa-siswanya takut padanya, mata
pelajaran dengan pengantar bahasa Indonesia, dan lain-lain.
Ali memilih tuk menyendiri, pergi ke
mushola kecil atau perpustakaan di sekolahnya setiap jam istirahat. Menunaikan
sholat duha, atau membaca buku-buku fiksi. Dan di mushola itulah ia bertemu
Akbar, siswa kelas IPS 3. Tentu saja Akbar yang menyapa Ali dahulu. Bertanya
banyak hal walau jawaban Ali cuma sepatah dua kata. Ada sesuatu yang membuat Akbar tertarik untuk
bersahabat dengan Ali. Sesuatu yang dipertanyakannya hari ini,
“Jujur Li, aku heran.. ternyata ada
orang Jakarta
yang rajin sholat macam kamu! Padahal… pasti susah untuk istiqomah sholat 5
waktu di Jakarta.
Godaannya kan
banyak. Kok kamu bisa?”
“Kebiasaan sejak kecil,” ujar Ali. Ali
terkekeh dalam hati. ‘Ya.. mungkin karena aku baru satu semester tinggal di Jakarta. Mungkin ceritanya
akan lain kalau aku tinggal di sana
lebih lama.’ bisiknya dalam hati. Diam-diam ia bersyukur, coba kalau Allah
tidak menyayanginya. Mungkin ini adalah hikmah yang dapat ia petik.
***
Tak terasa setahun sudah terlewati,
masa-masa adaptasi Ali telah terlampaui. Sejak bersahabat dengan Akbar, ia
lebih mudah untuk membuka diri. Akbar menjelaskannya tentang segala hal tentang
SMA mereka. Menjadi translator setiap kali ia tidak mengerti arti sebuah kata
berbahasa jawa. Semuanya terasa indah, hingga badai itu datang
memporak-porandakan harinya.
“Ayah yakin menerima tawaran pindah ke Bandung?” tanya Bunda
sedikit berbisik. Takut Ali mendengarnya.
“Apa yang bisa membuat Ayah tidak yakin,
Bunda?” Ayah balik bertanya, menatap Bunda dengan kasih sayang.
“Ayah yakin Ali bisa menerima semua ini?
Dulu saja, ia mogok bicara pada kita 2 minggu waktu kita baru pindah,” Bunda
cemas. Sungguh menyiksa kalau melihat anak semata wayangnya membisu. Matanya
memancarkan kepedihan mendalam setiap ia menutup mulut pada mereka.
BRAK! Suara pintu yang terbanting
menyadarkan mereka kalau Ali baru saja melintas. Dengarkah ia tentang
kepindahan mereka ke Bandung? (bersambung)
***
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya