Disarankan membaca bagian satu dan bagian dua-nya dulu.
***
`Maaf, pulsa yang anda miliki tidak
mencukupi untuk melakukan panggilan ini. Pulsa yang anda miliki sebesar....` kutekan tombol merah pada handphoneku. Pulsaku habis karena kupakai
beberapa kali untuk menelpon teman-temanku. Meminta pendapat tentang masalah
yang satu ini. Rasanya tiga pendapat yang kudengar dari ketiga temanku belum
cukup bagiku. Masih susah untuk menemukan kesimpulannya.
Fatimah. Salah satu teman yang pendapatnya membuatku semakin bimbang.
Aktivis dakwah di kampus itu jelas-jelas tidak setuju dengan begalan. Dengan
menggebu-gebu ia menerangkan betapa hal itu adalah sebuah dosa besar. Walaupun
kita tidak percaya pada rejeki yang katanya dihadirkan barang-barang begalan
yang berupa alat-alat dapur. Atau yang sering disebut Brenong Kepang. Tapi
mengadakan begalan merupakan mengadakan kemusyrikan besar-besaran bagi
orang-orang yang percaya mitos itu.
Namun, ia tetap memberiku tanggung jawab untuk menyelesaikan masalahku
sendiri. Untuk mengambil pendapatku sendiri sebagai keputusan. Masih kuingat
jelas kalimat panjangnya sebelum menutup telpon dariku.
“Wi, tapi semua keputusan nantinya ada di tanganmu. Maka pikirkanlah
masak-masak. Ada benarnya bahwa begalan itu adalah salah satu sarana
kemusyrikan. Tapi tak salah kalau kamu menuruti kehendak ibumu. Kalau hanya itu
yang bisa menyenangkan hatinya saat harus melepasmu untuk membangun keluarga
sendiri. Surga di telapak kaki Ibu, wi. Mungkin Allah swt. mau memberikan maaf
untuk masalah yang satu ini. Karena Ia Maha Pengasih lagi Maha Bijaksana. Aku
percaya kamu akan mengambil keputusan terbaik. Apapun itu.” Aku mengangguk
yakin. Ya.. inilah keputusan yang kuambil........
***
Alunan gending Kricik-kricik memenuhi rongga telingaku. Begalan sudah
dimulai. Kupasang mata dan kupingku tajam agar aku dapat menyimak nasihat dari
begalan. Ibu tersenyum padaku. Matanya berkaca-kaca seolah tak ingin melepasku.
‘Aku juga bu... Aku tak ingin pisah...’
Nasihat-nasihat yang dilambangkan dengan alat-alat dapur pedesaan kusimak
dengan baik. Mulai dari Ian [1]dan Ilir [2] yang berarti bahwa sepasang
suami istri harus bisa membedakan yang baik dan yang buruk. Cething [3], lambang bahwa kita sebagai masyarakat tidak bisa berbuat
semaunya. Dan masih banyak lagi. Yang jelas, kini aku mengerti. Betapa halusnya
perasaan orang-orang terdahulu, sehingga cara menyampaikan nasihat atau
petuah-petuah diwujudkan dalam lambang-lambang tadi. Sayang sekali banyak yang
keliru mengartikan upacara adat ini. Mereka-mereka yang menganggap barang hasil
begalan membawa berkah. Andai saja mereka tau kalau itu adalah sebuah dosa....
Pyar... kendi seketika pecah saat sang pembegal
memukulnya dengan pedang kayu. Aku memantapkan hatiku. ‘Bu, aku sudah siap
melaju ke dunia yang sebenarnya...’ (selesai)
[1] anyaman bambu yang panjang dan lebarnya satu meter
[2] kipas anyaman bambu
[3] tempat nasi
***
[1] anyaman bambu yang panjang dan lebarnya satu meter
[2] kipas anyaman bambu
[3] tempat nasi
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya