Follow Me

Monday, November 12, 2012

Pecahnya Kendi di Pernikahanku (bagian terakhir)

Disarankan membaca bagian satu dan bagian dua-nya dulu.
***
`Maaf, pulsa yang anda miliki tidak mencukupi untuk melakukan panggilan ini. Pulsa yang anda miliki sebesar....` kutekan tombol merah pada handphoneku. Pulsaku habis karena kupakai beberapa kali untuk menelpon teman-temanku. Meminta pendapat tentang masalah yang satu ini. Rasanya tiga pendapat yang kudengar dari ketiga temanku belum cukup bagiku. Masih susah untuk menemukan kesimpulannya.

Fatimah. Salah satu teman yang pendapatnya membuatku semakin bimbang. Aktivis dakwah di kampus itu jelas-jelas tidak setuju dengan begalan. Dengan menggebu-gebu ia menerangkan betapa hal itu adalah sebuah dosa besar. Walaupun kita tidak percaya pada rejeki yang katanya dihadirkan barang-barang begalan yang berupa alat-alat dapur. Atau yang sering disebut Brenong Kepang. Tapi mengadakan begalan merupakan mengadakan kemusyrikan besar-besaran bagi orang-orang yang percaya mitos itu.
Namun, ia tetap memberiku tanggung jawab untuk menyelesaikan masalahku sendiri. Untuk mengambil pendapatku sendiri sebagai keputusan. Masih kuingat jelas kalimat panjangnya sebelum menutup telpon dariku.
“Wi, tapi semua keputusan nantinya ada di tanganmu. Maka pikirkanlah masak-masak. Ada benarnya bahwa begalan itu adalah salah satu sarana kemusyrikan. Tapi tak salah kalau kamu menuruti kehendak ibumu. Kalau hanya itu yang bisa menyenangkan hatinya saat harus melepasmu untuk membangun keluarga sendiri. Surga di telapak kaki Ibu, wi. Mungkin Allah swt. mau memberikan maaf untuk masalah yang satu ini. Karena Ia Maha Pengasih lagi Maha Bijaksana. Aku percaya kamu akan mengambil keputusan terbaik. Apapun itu.” Aku mengangguk yakin. Ya.. inilah keputusan yang kuambil........
***
Alunan gending Kricik-kricik memenuhi rongga telingaku. Begalan sudah dimulai. Kupasang mata dan kupingku tajam agar aku dapat menyimak nasihat dari begalan. Ibu tersenyum padaku. Matanya berkaca-kaca seolah tak ingin melepasku. ‘Aku juga bu... Aku tak ingin pisah...’
Nasihat-nasihat yang dilambangkan dengan alat-alat dapur pedesaan kusimak dengan baik. Mulai dari Ian [1]dan Ilir [2] yang berarti bahwa sepasang suami istri harus bisa membedakan yang baik dan yang buruk. Cething [3], lambang bahwa kita sebagai masyarakat tidak bisa berbuat semaunya. Dan masih banyak lagi. Yang jelas, kini aku mengerti. Betapa halusnya perasaan orang-orang terdahulu, sehingga cara menyampaikan nasihat atau petuah-petuah diwujudkan dalam lambang-lambang tadi. Sayang sekali banyak yang keliru mengartikan upacara adat ini. Mereka-mereka yang menganggap barang hasil begalan membawa berkah. Andai saja mereka tau kalau itu adalah sebuah dosa.... 
Pyar... kendi seketika pecah saat sang pembegal memukulnya dengan pedang kayu. Aku memantapkan hatiku. ‘Bu, aku sudah siap melaju ke dunia yang sebenarnya...’ (selesai)
***

[1] anyaman bambu yang panjang dan lebarnya satu meter
[2] kipas anyaman bambu
[3] tempat nasi

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya