*Biar nyambung.. baca bagian 1 dulu ya :)
Mentari pagi menelusup dari jendela rumahku. Menghangatkan tubuh yang kedinginan karena baru selesai mandi. Ibu dan Mboke sedang sibuk di dapur. Akupun akan menyusul dalam kesibukan itu. Puluhan tempe mendoan mentah berjajar di lantai. Kubuka satu persatu dengan cekatan. Tak lupa kupisahan sampah daun dan sampah kertasnya. Selintas bayangan percakapan ibu dan Bu Tati menghentikan pekerjaanku. Kulayangkan pandangan ke sekeliling dapur. Sekedar ingin memastikan ibu sedang sibuk sekali atau tidak. Masalahnya, ada yang ingin kutanyakan.
Mentari pagi menelusup dari jendela rumahku. Menghangatkan tubuh yang kedinginan karena baru selesai mandi. Ibu dan Mboke sedang sibuk di dapur. Akupun akan menyusul dalam kesibukan itu. Puluhan tempe mendoan mentah berjajar di lantai. Kubuka satu persatu dengan cekatan. Tak lupa kupisahan sampah daun dan sampah kertasnya. Selintas bayangan percakapan ibu dan Bu Tati menghentikan pekerjaanku. Kulayangkan pandangan ke sekeliling dapur. Sekedar ingin memastikan ibu sedang sibuk sekali atau tidak. Masalahnya, ada yang ingin kutanyakan.
“Apa,
Wi?? Wis rampung apa?”[1] jawab ibu tanpa menoleh kearahku.\
“Dereng,
Bu. Mmm... Dewi badhe nyuwun pirsa.”[2] Jawabku ragu-ragu.
“Takon
apa?”[3]
“Begalan.”
Jawabku singkat. Ibuku menoleh ke arahku. Kerutan di keningnya bertambah.
Sepertinya ibu tidak mengerti dengan pertanyaanku. ‘Apa harus kujelaskan?’
“Bu,
Begalan punika napa??”[4] jawabku sedikit berbohong. Sedikit.. karena
sebenarnya aku sudah tau tentang Begalan walau cuma sedikit.
“Oalah..
anak jaman saiki. Dewi.. dewi.. kowe iku wong Banyumas tulen. Masa begalan bae
ora ngerti?”[5] ibu menggelengkan kepalanya mendengar penjelasanku. Aku cuma
tersenyum. Karena penyataan ibu tadi tak bisa kutolak. Memang kenyataannya,
kalau anak-anak jaman sekarang enggan mengenal lebih jauh tentang budayanya
sendiri. Sudah menjadi kebiasaan anak muda untuk menjauhi yang bersangkutan
dengan budaya daerah.
Walaupun
begitu ibu tetap menjelaskanku seluk beluk begalan. Semua tentang begalan.
Bahkan tak lupa dua sejarah yang mengatakan pertama kali munculnya tradisi
begalan di Banyumas. Yang pertama mengatakan bahwa tradisi begalan lahir ketika
Prabu Pulebahas melamar Putri Ciptoroso dari kadipaten Pasir luhur. Sedangkan
yang lain mengatakan bahwa begalan mulai ada dan dilaksanakan turun-temurun,
setelah peristiwa Adipati Banyumas ngunduh pengantin. Yaitu setelah
pernikahan putra Adipati Banyumas melangsungkan pernikahan dengan putri Adipati
Wirasaba, Dewi Sukesi.
Aku
terkagum-kagum mendengar pengetahuan Ibu pada tradisi Banyumas yang satu ini.
Sepertinya ibu cocok kalau dijadikan duta Pariwisata Kabupaten Banyumas. Dari
penjelasan ibu tentang begalan. Ada satu yang membuatku tak suka. Akhir dari
pertunjukan itu. Saat para penonton berebut ikut mengambil barang-barang begal.
Karena kekeliruan sebagian besar orang yang menganggap barang yang diperoleh
dari hasil begalan itu membawa berkah. Sesuatu yang dibenci Tuhanku, Allah swt.
***
Ini
sudah dua hari setelah lamaran dari Mas Yudi. Dan beberapa menit setelah adu
mulutku dengan ibu. Aku benar-benar tak bermaksud untuk bertengkar dengan ibu.
Aku hanya menyampaikan pendapatku, tentang begalan yang rencananya akan
dilaksanakan pada pernikahanku sendiri. Wajar kan kalau aku angkat bicara??
Lalu mengapa ibu harus mengurungku? Ibu memang boleh saja emosi karena aku
menentang kehendak ibu. Tapi ibu tidak berhak mengurungku dirumah seharian
seperti ini. Aku perlu pergi... pergi untuk menenangkan pikiranku. Pergi..
untuk sekedar menanyakan pendapat temanku tentang ini. Tidak bolehkah??
Ibu
sedari tadi belum keluar dari kamarnya setelah perdebatan denganku. Aku sedikit
khawatir. ‘Apa ibu sakit hati??’ aku cuma bisa berharap. Semoga saja itu tidak
terjadi. Aku tak bermaksud melukai hati ibu. Aku kan cuma menyampaikan
pendapat!! Disaat seperti ini aku masih saja bisa keras kepala. Salah satu sifat
yang diturunkan ibu.
“Mba
Dewi... makan siang dulu, masakannya sudah siap!” panggil Mboke. Kulangkahkan
kakiku berat hati.
“Mbok,,
ibu marah banget ya sama dewi?” tanyaku pada Mboke yang sudah puluhan tahun
mengabdi pada keluargaku. Mboke menggeleng.
“Ibu iku
penyabar, wi.” Mboke berusaha mengingatkanku.
“Terus,
kenapa ibu mengurungku?? Aku kan ingin pergi. Eh, kunci pintunya disimpan ibu.
Memangnya dewi harus keluar lewat jendela, biar dikira maling?” curhatku pada
mboke. Mboke cuma tertawa kecil.
“Dewi..
dewi.. kowe iku lagi dipingit. Dadi ora olih lunga maring ngendi-ngendi.”[6] Tutur mboke sambil berlalu meninggalkanku. Oh iya aku baru ingat tentang
adat dipingit[7] di pernikahan adat Jawa. Astaghfirullah.. kenapa aku harus
su’udzon pada Ibu?? (bersambung)
***
[1] Apa Wi? Udah selesai?
[2] Belum Bu.. Mm.. Dewi mau tanya.
[3] Tanya apa?
[4] Bu, Begalan itu apa?
[2] Belum Bu.. Mm.. Dewi mau tanya.
[3] Tanya apa?
[4] Bu, Begalan itu apa?
[5] Oalah.. anak zaman sekarang. Dewi.. dewi.. kamu itu orang Banyumas asli. Masa begalan aja nggak tau?
[6] Dewi.. dewi.. kamu itu lagi dipingit. Jadi tidak boleh pergi kemana-mana.
[7] Budaya Jawa bahwa calon pengantin tidak boleh keluar rumah
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya