Follow Me

Friday, November 9, 2012

Pecahnya Kendi di Pernikahanku (bagian 2)

*Biar nyambung.. baca bagian 1 dulu ya :)

Mentari pagi menelusup dari jendela rumahku. Menghangatkan tubuh yang kedinginan karena baru selesai mandi. Ibu dan Mboke sedang sibuk di dapur. Akupun akan menyusul dalam kesibukan itu. Puluhan tempe mendoan mentah berjajar di lantai. Kubuka satu persatu dengan cekatan. Tak lupa kupisahan sampah daun dan sampah kertasnya. Selintas bayangan percakapan ibu dan Bu Tati menghentikan pekerjaanku. Kulayangkan pandangan ke sekeliling dapur. Sekedar ingin memastikan ibu sedang sibuk sekali atau tidak. Masalahnya, ada yang ingin kutanyakan.




 “Bu,..” panggilku lirih. 

Apa, Wi?? Wis rampung apa?”[1] jawab ibu tanpa menoleh kearahku.\
Dereng, Bu. Mmm... Dewi badhe nyuwun pirsa.”[2] Jawabku ragu-ragu. 
Takon apa?”[3]
Begalan.” Jawabku singkat. Ibuku menoleh ke arahku. Kerutan di keningnya bertambah. Sepertinya ibu tidak mengerti dengan pertanyaanku. ‘Apa harus kujelaskan?’
Bu, Begalan punika napa??”[4] jawabku sedikit berbohong. Sedikit.. karena sebenarnya aku sudah tau tentang Begalan walau cuma sedikit.
Oalah.. anak jaman saiki. Dewi.. dewi.. kowe iku wong Banyumas tulen. Masa begalan bae ora ngerti?”[5] ibu menggelengkan kepalanya mendengar penjelasanku. Aku cuma tersenyum. Karena penyataan ibu tadi tak bisa kutolak. Memang kenyataannya, kalau anak-anak jaman sekarang enggan mengenal lebih jauh tentang budayanya sendiri. Sudah menjadi kebiasaan anak muda untuk menjauhi yang bersangkutan dengan budaya daerah.

Walaupun begitu ibu tetap menjelaskanku seluk beluk begalan. Semua tentang begalan. Bahkan tak lupa dua sejarah yang mengatakan pertama kali munculnya tradisi begalan di Banyumas. Yang pertama mengatakan bahwa tradisi begalan lahir ketika Prabu Pulebahas melamar Putri Ciptoroso dari kadipaten Pasir luhur. Sedangkan yang lain mengatakan bahwa begalan mulai ada dan dilaksanakan turun-temurun, setelah peristiwa Adipati Banyumas ngunduh pengantin. Yaitu setelah pernikahan putra Adipati Banyumas melangsungkan pernikahan dengan putri Adipati Wirasaba, Dewi Sukesi.

Aku terkagum-kagum mendengar pengetahuan Ibu pada tradisi Banyumas yang satu ini. Sepertinya ibu cocok kalau dijadikan duta Pariwisata Kabupaten Banyumas. Dari penjelasan ibu tentang begalan. Ada satu yang membuatku tak suka. Akhir dari pertunjukan itu. Saat para penonton berebut ikut mengambil barang-barang begal. Karena kekeliruan sebagian besar orang yang menganggap barang yang diperoleh dari hasil begalan itu membawa berkah. Sesuatu yang dibenci Tuhanku, Allah swt.
***
Ini sudah dua hari setelah lamaran dari Mas Yudi. Dan beberapa menit setelah adu mulutku dengan ibu. Aku benar-benar tak bermaksud untuk bertengkar dengan ibu. Aku hanya menyampaikan pendapatku, tentang begalan yang rencananya akan dilaksanakan pada pernikahanku sendiri. Wajar kan kalau aku angkat bicara?? Lalu mengapa ibu harus mengurungku? Ibu memang boleh saja emosi karena aku menentang kehendak ibu. Tapi ibu tidak berhak mengurungku dirumah seharian seperti ini. Aku perlu pergi... pergi untuk menenangkan pikiranku. Pergi.. untuk sekedar menanyakan pendapat temanku tentang ini. Tidak bolehkah??

Ibu sedari tadi belum keluar dari kamarnya setelah perdebatan denganku. Aku sedikit khawatir. ‘Apa ibu sakit hati??’ aku cuma bisa berharap. Semoga saja itu tidak terjadi. Aku tak bermaksud melukai hati ibu. Aku kan cuma menyampaikan pendapat!! Disaat seperti ini aku masih saja bisa keras kepala. Salah satu sifat yang diturunkan ibu.

“Mba Dewi... makan siang dulu, masakannya sudah siap!” panggil Mboke. Kulangkahkan kakiku berat hati.
“Mbok,, ibu marah banget ya sama dewi?” tanyaku pada Mboke yang sudah puluhan tahun mengabdi pada keluargaku. Mboke menggeleng.
“Ibu iku penyabar, wi.” Mboke berusaha mengingatkanku.
“Terus, kenapa ibu mengurungku?? Aku kan ingin pergi. Eh, kunci pintunya disimpan ibu. Memangnya dewi harus keluar lewat jendela, biar dikira maling?” curhatku pada mboke. Mboke cuma tertawa kecil.
“Dewi.. dewi.. kowe iku lagi dipingit. Dadi ora olih lunga maring ngendi-ngendi.”[6] Tutur mboke sambil berlalu meninggalkanku. Oh iya aku baru ingat tentang adat dipingit[7] di pernikahan adat Jawa. Astaghfirullah.. kenapa aku harus su’udzon pada Ibu?? (bersambung)
***
[1] Apa Wi? Udah selesai?
[2] Belum Bu.. Mm.. Dewi mau tanya.
[3] Tanya apa?
[4] Bu, Begalan itu apa?
[5] Oalah.. anak zaman sekarang. Dewi.. dewi.. kamu itu orang Banyumas asli. Masa begalan aja nggak tau?
[6] Dewi.. dewi.. kamu itu lagi dipingit. Jadi tidak boleh pergi kemana-mana.
[7] Budaya Jawa bahwa calon pengantin tidak boleh keluar rumah

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya