Follow Me

Saturday, February 1, 2014

Air : "Aku Pulang!"

Bismillah..

Aku memeluknya erat, takut kalau ia bermain air dan bajunya basah lagi.

"Mamaz badhe mriksani mawon", ujarnya kepadaku, enggan aku pegangi. Akhirnya aku melepaskan pelukanku, membiarkan ia dengan girang memperhatikan Mba Ati mencuci gelas-gelas.

Mamaz Tristan, usianya baru 4 tahun, dipanggil mamaz karena ia anak pertama. Di usia yang masih belia itu, manusia, anak kecil, selalu bisa tertakjub pada hal hal kecil. Mungkin karena matanya belum melihat sebanyak apa yang sudah kita lihat. Atau karena, pikirannya masih bersih, masih polos, sehingga ia masih bisa melihat hal-hal yang seharusnya bisa dinikmati. Semacam keajaiban kecil yang mungkin seringkali kita abaikan.

Siang itu sama Mamaz girang sekali melihat air sabun itu mengalir memasuki lubang pembuangan air. Ia berceloteh tidak jelas dalam bahasa jawa. Aku yang memang jarang menggunakan bahasa jawa, hanya menanggapi celotehnya dengan senyum. "Tristan lagi cerita, 'airnya pulang'." ujar Mba Ati, melihat kebingungan di wajahku. Aku tertawa dalam hati, apalagi saat Mamaz ikutan menjelaskan tentang itu, "ondung, mulih".

"Iyaa.. deneng toyane ondung kabeh ya?"
"ih.. ih.., ondung koh" 
"niku... ondung niku.."

Ia terlihat sangat terhibur, takjub, melihat aliran air itu "pulang" menuju lubang tersebut. Diam-diam, aku ikutan mengamati aliran air, melihat bagamainana air berbusa itu menimbulkan balon-balon kecil yang kemudian pecah sendiri, entah karena suhu udara, atau karena terantuk dinding.

"onten busa ne koh, mba beya.. niko toyane ondung kabeh." Mamaz terus mengucapkan kata-kata yang sama, toya, dan ondung *read: kondur. Aku tersenyum tipis. Kembali diingatkan, bahwa seringkali kita, lebih tepatnya aku, sudah tidak bisa lagi menikmati hal-hal kecil.

***

Tentang air yg pulang, aku jadi ingat sebuah tulisan, aku menyimpannya. sayang aku lupa meng-copy  sumbernya. Kalau ada yang tahu sumbernya, silahkan komentar saja yaa..

***
Aku membayangkan bagaimana jika sungai-sungai mengkhianati natur-nya untuk kembali kepada laut: kemanakah mereka akan pulang?

Aku membayangkan sungai-sungai yang lupa jalan pulang, atau sengaja melupakannya, membendung dirinya sendiri dengan macam-macam penyumbat: batu-batu, sendal jepit, mainan anak-anak, pembalut, kantung plastik, botol Coca-cola, atau apa saja. Aku membayangkan airnya jadi kotor dan tergenang. Nyamuk-nyamuk bertelur di sana, kuman-kuman berkembang biak. Orang-orang membencinya, menjauhinya. Tapi pada akhirnya, sungai yang ‘amnesia’ dan keras kepala ini toh akan pulang juga. Barangkali matahari akan menguapkannya menjadi udara, kemudia gerombolan awan akan mengubahnya jadi hujan; Bagaimanapun ia akan mengalir lagi, dan demikianlah: Pada akhirnya ke laut juga.

Aku membayangkan sungai-sungai yang dicemari limbah dan sampah-sampah. Barangkali dirinya tak mau dikotori: Inginnya mengalir saja sebagai dirinya sendiri—yang bersih dan baik-baik—hingga akhirnya sampai ke laut. Tetapi susah juga memang: Perjalanannya yang panjang, pertemuannya dengan aliran-aliran lain, manusia-manusia yang bermacam-macam, desa-desa dan kota-kota dengan kehidupan tak terduga, membuatnya tak bisa menghindar dari ‘sampah dan limbah’. Tapi, jika ia terus mengalir: Aku tak pernah mendengar satupun cerita ihwal laut yang menolak sungai dengan latar belakang apapun untuk bermuara kepadanya. Jika ia terpaksa tersumbat, dan airnya yang kotor terpaksa tergenang: Seperti cerita sungai sebelumnya, pada akhirnya siklus hidrologi akan membuatnya kembali ke laut juga, kan?

Aku membayangkan sungai-sungai yang ‘bersih dan baik-baik’. Sungai-sungai yang dengan beruntung mengaliri desa-desa tempat tinggal orang-orang baik: Kadang-kadang ada ibu-ibu yang mencuci di sepanjang alirannya, anak-anak yang berenang dengan riang, juga cerita-cerita menyenangkan lainnya seperti kisah-kisah cinta remaja. Betapa bahagianya mereka, sungai-sungai ini, hidup mereka tenang—dan pada akhirnya bisa kembali dengan tenang: Ke laut.

Aku membayangkan laut sebagai tempat kembali yang demikian lapang dan baik hati: Ia selalu bersedia menampung semua sungai yang datang kepadanya. Sungai yang bersih dan tidak bersih, yang baik-baik atau yang sempat tersumbat, semua diterimanya: Semua jenis air seketika menjadi suci dalam dekapannya.
Aku membayangkan seorang alim dan baik hati yang diterima dalam dekapan Tuhannya. Aku membayangkan seorang pelacur yang memberi minum seekor anjing diterima dalam dekapan Tuhannya. Aku membayangkan pembunuh yang diampuni dalam perjalanan taubatnya diterima dalam dekapan Tuhannya. Betapa agung.

Aku membayangkan dan bertanya-tanya: Jika Tuhan digambarkan sedemikian bengis tak mau menerima sebagian makhluknya yang dianggap kotor dan berdosa, kemanakah sesungguhnya mereka akan kembali? Ke laut? Tentu saja tidak. Aku membayangkan Tuhan yang terlanjur diceritakan manusia dengan cara-cara yang salah dan menakutkan!

Kini, aku sedang tak membayangkannya, aku meyakininya dengan sungguh-sungguh: Tuhan lebih besar daripada laut, lebih luas dari semesta, lebih agung dari segalanya. Maka, tak usah ragu untuk kembali, tak usah merasa bukan siapa-siapa atau merasa terlalu berdosa, teruslah mengalir: Tuhan tak akan menolakmu dan akan selalu menerimamu!
 
Aku membayangkan akan menuliskan kalimat ini—mengatakannya seperti seorang teman yang duduk di sampingmu, merangkul pundakmu dan berkata: Mengalirlah… Sesungguhnya air bersih yang diam lebih busuk daripada air kotor yang mengalir...

***

Tentang air yang mengalir, sebuah hal menarik, yang sering kita abaikan. Gemericiknya, gelombangnya, dan arahnya yang selalu sama. Tentang air yang mengalir, jika frase 'let it flow' tidak kusukai dalam konteks menjalani hidup tanpa recana. Maka frase 'let it flow' tentu saja aku sukai dalam konteks "kembali kepada Allah, bertaubat".
Dari Abi Musa r.a. diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
"Sesungguhnya Allah SWT membuka "tangan"-Nya pada malam hari untuk memberikan ampunan kepada orang yang melakukan dosa pada siang hari, dan membuka "tangan"-Nya pada siang hari, untuk memberikan ampunan kepada orang yang melakukan dosa pada malam hari, (terus berlangsung demikian) hingga (datang masanya) matahari terbit dari Barat (kiamat)". Hadits diriwayatkan oleh an-Nasaai.

Allahua'lam.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya