#fiksi
"Aku nggak cari yang romantis," ucapnya membuatku memhembuskan nafas tak percaya. Aku kemudian menimpali kalimatnya dengan rentetan kalimat penyangkal.
"Mana ada yang ga mau dapet pasangan yang romantis, apalagi kita perempuan", kubenarkan letak kacamataku, kemudian melanjutkan, "dimana-mana, semua perempuan itu suka di rayu, suka digombalin, suka diperhatiin, suka diberi kejutan, suka yang romantis-romantis."
Ia tersenyum, seolah meledekku yang tiba-tiba kebawa emosi. "Memangnya, kalau cari yang romantis, tahu dari mana? Ada tesnya gitu?" ia tertawa kecil.
Aku kini paham kalimatnya, mengapa ia berkata tidak mencari yang romantis. Karena memang bukan itu prioritasnya. Selain itu, jika ia tahu orang tersebut romantis, karena sudah tebar 'kain gombal' sebelum halal, orang tersebut justru otomatis masuk blacklist.
"Tapi... kalau misal orangnya suka nulis, kan bisa ketahuan dia romantis atau ga?" tanyaku, masih ingin menggoyahkan pendapatnya. Ia menggeleng pelan, lalu menjelaskan padaku. Bisa jadi justru sebaliknya. Ada penulis yang tidak bisa menyatakan perasaannya melalui lisan, mengekspresikan melalui air mata, dan akhirnya memilih mengejanya dalam tulisan-tulisannya.
"Intinya, jangan menelan mentah-mentah tulisan orang lain. Tidak semua tulisannya menggambarkan dirinya. Kaya kamu," ia tersenyum seolah mengejekku. Wajahku berubah piasnya, karena kaget ternyata Tifa tahu aku suka menulis, dan juga sedikit tersinggung atas kalimatnya.
"Maksudku.. cerpen-cerpenmu bagus. Orang yang membacanya akan mengira kamu sudah pernah pergi menjelajah berbagai pulau di Indonesia, padahal kan..." penjelasannya membuatku tak jadi marah. Oh ternyata itu maksudnya.
Adzan magrib berkumandang saat kami membuka gerbang White Bamboo House, nama kosan kami. Percakapan sore tadi masih terngiang-ngiang di otakku. Jarang-jarang kami membahas tentang ini. Apalagi Tifa selama ini selalu diam jika anak-anak lantai 2 heboh membahas tentang cinta. Kerudung hitam panjang yang selalu ia kenakan, bahkan ketika keluar kamar kos, seolah menjadi dinding tinggi untuk mengobrol lepas dengannya. Tapi sore ini, dinding itu luruh. Saat kami tanpa sengaja bertemu di sebuah toko buku bekas.
Setelah membeli buku, kami shalat ashar di masjid terdekat, kemudian membeli jus dan membahas buku yang dibeli masing-masing. Ia membeli buku islami sedangkan aku membeli novel romance. Dari situ, percakapan berlanjut.
Awalnya aku ragu, dan agak minder karena genre bacaan kami berbeda. Namun ia tidak segan bertanya padaku novel favorit, pelajaran yang aku suka dari novel itu, juga karakter yang paling kuingat. Ia tidak terkesan meremehkanku juga tidak serta merta mengeluarkan ayat atau hadits untuk menghakimiku. Ia hanya bercerita tentang dirinya, mengapa ia membatasi membaca buku-buku fiksi, meski ia pernah suka. Tentang mengapa ia tetap mengenakan kerudung setiap keluar kamar, meski kosan kami perempuan semua.
Hal yang paling kuingat dari percakapan sore iti adalah tentang ia yang tidak mencari sosok yang romantis. Saat itu aku bercerita tentang karakter novel yang selalu memikatku, yang romantis, bukan lewat kata-kata tapi lewat sikapnya. Ia mengangguk pelan saat aku berpanjang lebar menceritakan karakter fiksi tersebut. Sampai sati kalimat itu terucap, dan aku jadi mendapat sudut pandang baru darinya.
Ia tidak mencari yang romantis. Baginya seseorang yang agamanya baik, akhlaknya baik itu cukup. Percuma romantis jika tidak membimbing menuju surgaNya. Terkesan klise, tapi bagiku, aku baru menemui pandangan seperti itu. Teman-temanku yang lain, ya.. cari yang agamanya baik, tapi juga mencari yang romantis seperti karakter fiksi yang biasa ada di novel, atau film. Sebenarnya, aku masih meragukan kalimatnya saat itu, sampai ia mengucapkan kalimat skak nat sebelum kami menaiki angkutan kota.
Setelah membeli buku, kami shalat ashar di masjid terdekat, kemudian membeli jus dan membahas buku yang dibeli masing-masing. Ia membeli buku islami sedangkan aku membeli novel romance. Dari situ, percakapan berlanjut.
Awalnya aku ragu, dan agak minder karena genre bacaan kami berbeda. Namun ia tidak segan bertanya padaku novel favorit, pelajaran yang aku suka dari novel itu, juga karakter yang paling kuingat. Ia tidak terkesan meremehkanku juga tidak serta merta mengeluarkan ayat atau hadits untuk menghakimiku. Ia hanya bercerita tentang dirinya, mengapa ia membatasi membaca buku-buku fiksi, meski ia pernah suka. Tentang mengapa ia tetap mengenakan kerudung setiap keluar kamar, meski kosan kami perempuan semua.
Hal yang paling kuingat dari percakapan sore iti adalah tentang ia yang tidak mencari sosok yang romantis. Saat itu aku bercerita tentang karakter novel yang selalu memikatku, yang romantis, bukan lewat kata-kata tapi lewat sikapnya. Ia mengangguk pelan saat aku berpanjang lebar menceritakan karakter fiksi tersebut. Sampai sati kalimat itu terucap, dan aku jadi mendapat sudut pandang baru darinya.
Ia tidak mencari yang romantis. Baginya seseorang yang agamanya baik, akhlaknya baik itu cukup. Percuma romantis jika tidak membimbing menuju surgaNya. Terkesan klise, tapi bagiku, aku baru menemui pandangan seperti itu. Teman-temanku yang lain, ya.. cari yang agamanya baik, tapi juga mencari yang romantis seperti karakter fiksi yang biasa ada di novel, atau film. Sebenarnya, aku masih meragukan kalimatnya saat itu, sampai ia mengucapkan kalimat skak nat sebelum kami menaiki angkutan kota.
***
"Kalau misal ada yang sama-sama baik agamanya, satu romatis, satu lagi nggak romantis, kamu pilih yang mana?"
"Kan udah dibilang, aku nggak cari yang romantis," Ia menjeda kalimatnya, "biar aku aja yang romantis."
Tifa mempercepat melambaikan tangan supaya angkutan berwarna oranye berhenti. Aku terdiam speechless dengan kalimatnya. Kalimat itu akan kupastikan tertulis di cerpenku yang berikutnya.
The End.
***
Keterangan : Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya