Follow Me

Tuesday, July 16, 2019

Mungkin, Seperti Ini Rasanya

Bismillah.

Seperempat abad sudah berlalu. Bukan waktu yang singkat, tapi di mataku, rasanya masih baru awal mula. Seperempat abad, ditambah satu tahun. Kemudian lingkungan dan orang sekitar berbisik, seolah aku sudah amat sangat tua untuk mememikirkan diri sendiri saja.

Satu dua hari, beberapa pekan berlalu. Awalnya hanya bisikan, lama-lama berubah menjadi kata-kata yang membuat diri tertekan. Sampai aku bertanya-tanya, "mungkin, seperti ini rasanya..." yang dialami oleh perempuan-perempuan lain juga, yang mungkin jauh lebih dewasa daripadaku, yang tuntutan sosial menyesak dada dari segala penjuru.

Mungkin, seperti ini rasanya... padahal sebenarnya tidak ada yang salah. Atau sebenarnya ada yang salah? Tapi yang jelas, jika bisikan kalimat tersebut terus diserap tanpa saringan, akibatnya hanya akan berupa kesedihan dan tekanan bathin. Seolah apa yang sudah kita lakukan sia-sia. Seolah apa-apa yang kita capai tidak berarti. Lalu mulailah kita bertanya-tanya, mengapa kita begini, sedangkan orang lain begitu. Dan jika diteruskan, tentu hanya akan mengundang bermacam kenegatifan lainnya.

***


Jika mungkin, seperti ini rasanya... mari kita sejenak menjeda, memberikan jarak antara tekanan dari luar, untuk mencari ketenangan dalam kesendirian. Bukan sendiri yang berarti seorang diri, tapi sendiri, untuk berdialog dengan tulus pada Yang Maha Mendengar.

Kita merendahkan diri sebagai hamba-Nya, kemudian bertanya dengan santun. "Ya Rabb, Engkau yang menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Masing-masing diberi kelebihan dan kekurangan. Masing-masing diberi peran yang berbeda, Dan masing-masing diberi jalan hidup yang unik, yang sama-sama dipenuhi ujian untuk membuktikan siapa yang jujur dan yang dusta imannya."

Kita menyapu lapisan kaca di bola mata, kemudian mengadu, "Ya Allah, mengapa orang-orang seolah menuntut banyak padaku, sedangkan aku seorang hamba yang lemah dan tak berdaya. Seolah jika aku tidak memenuhi standar sosial tersebut, aku lebih layak hilang tertiup angin sepoi. Apa aku.. yang salah menyerap kalimat-kalimat yang penuh tekanan tersebut? Atau memang, ada yang salah pada diriku?"

Kita menundukkan kepala, namun mengangkat tangan tinggi, mengemis pada-Nya, "Tunjukkan dan bimbing hamba ke shiratal mustaqim. Hilangkan kesedihan hamba. Hadirkan ketenangan di hati hamba. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui apa yang ada di hati hamba."'

***

Mungkin, seperti ini rasanya... dan aku kira, ada banyak yang juga merasakan hal yang sama. Zaman berubah, waktu terus berlari. Terlepas entah kita perempuan atau laki-laki. Terlepas dari tekanan yang menyerang dari luar. Mari ingat lagi peran utama kita sebagai hamba. Budak-Nya.

Biarkan bisikan-bisikan itu bising. Biarkan kalimat-kalimat itu mencoba melukai. Kita tetap berusaha tegak, berjalan. Tegak, mengabdi pada-Nya, fokus pada firman-Nya. Karena kita hidup bukan untuk memenuhi harapan orang-orang, atau ekspektasi sosial. Kita hidup untuk memenuhi peran kita sebagai hamba-Nya, berusaha meraih ridha-Nya. Semoga kelak, dimatikan dalam keadaan terbaik, bersama orang-orang yang taat, diizinkan memasuki jannah-Nya, kemudian berjumpa wajah-Nya. Aamiin.

Allahua'lam.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya