Follow Me

Wednesday, January 8, 2020

Ekspektasi Dibalik Sebuah Tanya

Bismillah.
#fiksi



Ia melangkah memasuki kamarnya, kemudian menutup pelan pintunya. Digerakkannya pelan gerendel yang berada di atas pegangan pintu, memindahkannya ke posisi kunci. Kakinya pelan menyeret tubuhnya untuk duduk di dipan kecil berukuran 2x1 meter. Ia mendesah nafas pelan, sembari mendengarkan rintik hujan di luar sana. Hujan malam itu tidak cukup deras untuk meredam tangis yang hendak pecah, ia akhirnya memilih menyalakan kipas angin, kemudian kembali berselimut diatas tempat tidurnya, menumpahkan emosi dan sesak di dada yang sedari tadi ia tahan.

Otaknya mengulang-ulang diskusi sore itu dengan ayahnya. Diskusi yang menyenangkan seperti biasanya. Sampai sebuah pertanyaan dilayangkan padanya. Pertanyaan retoris, yang seharusnya cukup dijawab dengan kata ya.

"Bukankah begitu seharusnya kita belajar Al Quran? Tidak cuma membaca, tapi juga mengetahui artinya, menelaah tafsirnya, dan yang terpenting... mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari."

Entah ia yang terlalu overthinking, tapi di telinganya, pertanyaan itu bukan sekedar pertanyaan. Ada ekspektasi di balik pertanyaan itu. Ada tuntutan, ada desakan dan tekanan. Maka ia tidak segera menyetujuinya, ia justru berdalih.

"Idealnya memang begitu, tapi setiap orang punya jalan hijrahnya masing-masing. Ada tahapannya, ada step-stepnya. Ada yang baru bisa membiasakan membaca setiap hari, ada yang baru bisa sekedar menghafal tanpa mengerti artinya."
Ayahnya yang sudah sering berdiskusi dengannya tahu betul, bahwa fakta tersebut disajikan sebagai pembenaran, sebagai alasan yang membuat anaknya berada di zona nyaman, meski tahu bagaimana idealnya berinteraksi dengan quran. Satu dua argumen berhadapan, hingga akhirnya ia yang kalah dan mengakui. Benar, memang benar begitu, seharusnya bukan cuma membaca, bukan cuma menghafal, tapi juga mencari tahu arti dan maknanya, menelaah tafsirnya, dan yang lebih penting lagi, mengamalkannya.

Diskusi berakhir, dan ia kembali ke kamar dengan mata yang terasa panas, dan dada yang terasa sesak.

***

Suara adzan magrib membangunkannya, matanya yang lelah setelah menangis terbawa kantuk, dan ia tertidur sekitar lima menit. Kepalanya sedikit sakit, senada dengan kondisi hatinya yang masih merasa pilu.

Sore itu ia memilih berselimut dingin hujan dan dingin terpaan kipas angin, dan tangis yang luruh itu... mungkin karena rasa bersalahnya atas dosa yang menggunung. Atau karena berat beban ekspektasi orangtuanya padanya. Pertanyaan ayahnya tadi sore, seolah menekannya, mendesak dan memojokkannya.

Kemana perginya ayat-ayat yang kau baca dan hafalkan?
Kemana perginya ayat-ayat yang kau pelajari? 

Pertanyaan itu, dan ekspektasi dibaliknya, seolah menikam dirinya berkali-kali. Karena ia pernah menghancurkan ekspektasi orangtuanya sekali, membuat mereka kecewa dan terluka. Maka saat ia melihat ekspektasi baru di mata, ucapan, dan di gerak dan tindak laku kedua orangtuanya, ia seolah diserang ketakutan yang begitu raksasa. Ia tahu rasa sakitnya mengecewakan orang-orang yang begitu disayanginya. Ia tahu kesalahan dan dosanya karena telah mengecewakan mereka. Maka sungguh, ia tidak ingin mengulanginya lagi.

Dan ketika ekpektasi itu hadir, dan pertanyaan itu didengarnya, pundaknya seolah menerima beban yang begitu berat.

Ia tahu posisi dirinya, ia tahu kewajiban dirinya. Ia juga ingin begitu, betapa indah jika ayat yang kita baca, kita pelajari, bisa dengan mudah menjelma dalam amal. Tapi kenyataannya tidak semudah itu... Seperti ulat yang ingin segera bermetamorfosis menjadi kupu-kupu dalam waktu semalam, ia hanya seekor ulat, masih ada banyak fase dan tantangan yang membentang untuk menjadi seindah kupu-kupu.

Adzan magrib selesai bersamaan dengan basuhan terakhir di kaki kirinya. Ia mengangkat tangannya, membisikkan doa pelan. Sebulir air hangat turun bersamaan dengan air sisa wudhu. Hatinya memohon pada Zat yang mampu mendengar isi hati setiap makhluk-Nya, semoga ia diselamatkan dari api neraka, semoga ia bukan termasuk orang-orang munafik, dan semoga... ia mampu menjadi seorang anak yang menyejukkan mata kedua orangtuanya, bukan sebaliknya.

The End.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya