Follow Me

Sunday, January 19, 2020

Menemukan Kembali Al Fatihah

Bismillah.
#matrikulasinakid #nakindonesia

Berapa kali membaca al fatihah? Begitu sering. Namun tidak banyak dari kita yang benar-benar memaknai kata perkatanya. Materi matrikulasi ketiga ini mengajak kita untuk menemukan kembali Al Fathihah, mengeja dan mengagumi keindahannya.


Surat Pertama (yang Turun)

Banyak dari kita tahu bahwa Al Fatihah adalah surat pertama Al Quran, surat pembuka. Tapi tahukah bahwa surat pertama yang turun (full) adalah Al Fatihah? Iqra, adalah ayat pertama yang turun. Tapi tidak semua ayat-ayat Al 'Alaq turun. Sedangkan Al Fatihah adalal surat yang pertama kali turun secara komplit, dari awal sampai akhir.

Ada perbedaan pendapat tentang ayat pertama dari Al Fatihah, apakah dari 'bismillah' atau dari 'alhamdulillah'. Tapi fokus materi ini bukan tentang itu. Ustadz Nouman akan mengajak kita menemukan kembali al fatihah mulai dari alhamdulillahi rabbil 'alamin. Bukan cuma tentang apa yang Allah katakan, tapi juga bagaimana cara Allah mengatakannya, serta opsi cara lain untuk mengatakan hal tersebut.

Mengapa Alhamdulillah?

1. Dari segi makna

Segala puji bagi Allah, begitu mayoritas kita menerjemahkan Alhamdulillah. Ada juga yang menerjemahkannya dengan 'thanks to Allah'. Dalam bahasa arab, pujian (praise) bisa diwakili oleh kata ''madhu dan terima kasih (gratitude) bisa diwakili oleh kata "syukru". Bagaimana dengan kata 'hamd' yang dipakai dalam frase alhamdulillah? Hamd mewakili keduanya, pujian dan syukur. Dan dua hal ini adalah hal yang berbeda.

Sekarang apa perbedaan pujian dan rasa terimakasih?

Kapan kita memuji sesuatu? Saat kita melihat atau merasa bahwa sesuatu/seseorang hebat, indah, menarik. Sedangkan terima kasih kita ucapkan jika seseorang membantu kita, atau mereka melakukan sesuatu untuk kita. Keduanya bisa dilakukan secara terpisah.

Kalau memuji tanpa berterima kasih, ibarat saat kita lihat bayi imut, atau mobil yang keren. Kita memuji, "ih unyuu..", "wah mewah mobilnya", tapi kita tidak berterima kasih pada bayi atau mobil tersebut.

Kalau berterima kasih tanpa memuji? Ada beberapa contoh di Quran. Pertama tentang Firaun yang membesarkan Nabi Musa. Firaun juga berhak dapat kata terima kasih, atas apa yang ia lakukan (merawat dan membesarkan Musa 'alaihi salam), tapi Firaun tidak pantas untuk dipuji. Perbuatannya menjajah bani israil, membunuh bayi laki-laki dan kedzaliman lain bukti bahwa ia sama sekali tidak pantas dipuji.

Contoh kedua, di surat Luqman, Allah menyebutkan agar kita tidak menuruti perintah orangtua untuk menyekutukan-Nya. Orangtua yang memaksa kita berbuat syirik memang tidak berhak mendapat pujian. Tapi lihat di ayat sebelumnya? Allah memerintahkan kita berterimakasih pada orang tua.


وَوَصَّيْنَا ٱلْإِنسَـٰنَ بِوَٰلِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُۥ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍۢ وَفِصَـٰلُهُۥ فِى عَامَيْنِ أَنِ ٱشْكُرْ لِى وَلِوَٰلِدَيْكَ إِلَىَّ ٱلْمَصِيرُ

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. [Surat Luqman (31) ayat 14]

Dari contoh-contoh itu, kita bisa tahu bahwa pujian dan rasa terima kasih adalah dua hal yang berbeda dan biasa digunakan secara terpisah.

Lalu bagaimana sikap kita pada Allah? Alhamdulillah adalah bukti bahwa kita seharusnya memuji sekaligus berterima kasih pada Allah.

Allah tidak menggunakan kata madhu dan syukr, tetapi Allah memilih diksi hamd satu kata yang bisa mewakili keduanya. Kalimat sederhana tapi tepat sasaran lebih baik daripada kalimat kompleks dan rumit.

Selain itu madhu dapat mencakup pujian palsu yang tidak tulus, sedangkan syukr merupakan sebuah reaksi yang dilakukan ketika orang tersebut sadar. Alhamdulillah hanya bermakna pujian dan syukur yang tulus dan tidak bersifat reaksi.

Juga, saat kita menyatukan dua kata dengan kata 'dan', orang bisa berhenti dan memilih salah satunya saja. Sedangkan frase "alhamdulillah" meniadakan pilihan tersebut, kita tidak bisa memilih salah satunya. Saat kita memuji Allah, maka kita juga berterima kasih padaNya. Begitu pula sebaliknya, kita berterimakasih pada Allah sekaligus memuji-Nya.

Sikap ini yang perlu dijaga oleh seorang muslim, sikap positif selalu memuji dan berterimakasih pada Allah. Seringkali kita mengucapkan alhamdulillah, namun sikap atau raut wajah kita menunjukkan sebaliknya. Saat terjebak macet misalnya. Kita mengucapkan alhamdulillah lalu mendesah nafas berat. Padahal seharusnya saat kita mengucapkan, "alhamdulillah macet", kita seharusnya yakin bahwa ada hikmah yang Allah titipkan dari macet tersebut. Dan bahwa kita terjebak macet artinya Allah memberikan kita nikmat memiliki kendaraan, atau nikmat bisa keluar rumah karena kita sehat dan tidak berbaring di rumah sakit.

2. Infomatif dan ekspresif

Ada yang familiar dengan frase "innal hamdalillah", biasanya sering diucapkan khatib. Inna artinya sesungguhnya, penekanan. Kalau sekilas, kita mungkin mengira innal hamdalillah lebih powerful ketimbang alhamdulillah. Tapi kalau kita lebih teliti, ternyata alhamdulillah lebih baik. Kenapa?

Karena innal hamdalillah, sifatnya hanya informatif. Memberitahu bahwa sesungguhnya pujian dan syukur hanya milik Allah. Selesai.

Sedangkan alhamdulillah mencakup informatif dan ekspresif. Alhamdulillah bisa bersifat informatif, karena saat orang lain mendengarnya, ia jadi teringat akan pujian dan rasa terima kasih kepada Allah. Namun juga bersifat ekspresif saat kita mengucapkannya sendiri. Saat kita seharian haus karena puasa, kemudian meminum setegak air, alhamdulillah. Kita mengekspresikan rasa puji dan syukur dengan kata alhamdulillah, bukan untuk menginformasikan orang lain. Tapi untuk menyalurkan rasa terimakasih dan pujian pada-Nya.

3. Tetap dan Tidak Membutuhkan Subjek

Selain frase "innal hamdalillah", ada lagi nih frase yang bisa kita dengar di ceramah/khutbah, "nahmaduhu wa nasta'inuhu". Bedanya apa? Bedanya hamd di alhamdulillah adalah kata benda (noun/ism) sedangkan di frase nahmaduhu adalah kata kerja (verb/fi'il).

Mengapa Allah memilih kata benda bukan kata kerja?

Pertama karena kata kerja terkait dengan waktu, kalau di bahasa inggris kita mengenal past tense verb, present verb, future verb, atau bisa juga disebut v1, v2, v3. Maka kata kerja terkait dengan waktu, saat mengucapkan nahmadullah, kita memuji dan bersyukur pada Allah saat ini, tapi bisa jadi kemarin dan besok kita tidak begitu. Sedangkan saat kita mengucapkan alhamdulillah, artinya pujian dan rasa bersyukur sepanjang waktu, tidak terikat kemarin, hari ini atau esok.

Kedua, kata kerja membutuhkan subjek. Tidak bisa tidak. Sedangkan Allah tidak membutuhkan siapapun. Meski manusia, atau dari malaikat, atau dari gunung dan burung-burung yang berterbangan, tidak memuji dan bersyukur pada Allah, semua itu tidak menghilangkan fakta bahwa milik Allah pujian dan syukur. Alhamdulillah.

Ketiga, bahkan jika kita menggunakan kata kerja perintah, ihmadullah, itu akan membuka opsi bahwa kita bisa memilih tidak melakukannya. Karena itu, pilihan menggunakan bentuk kata benda termasuk salah satu yang harus kita ingat saat kita mendengarkan atau membaca 'alhamdulillah'.
Allah did not talk about praise in a way that depend on us, he didn't put the ball in our court. He said, whether you do it or not, who cares? It's still there. Alhamdulillah is still there. It's still there forever, it will be there forever. Human beings will come and go, generations will come and go, this world will come and go, the hamd of Allah will still be there. It's a matter of fact. - Nouman Ali Khan

3. Mengapa bukan Lillahilhamd?

Gak akan saya jelasin di sini, karena panjang. Tapi teasernya gini, ada dua jenis kalimat, kalimat biasa, sama kalimat di luar kebiasaan. Susunan yang tidak biasa berarti 'hanya', penafikan terhadap yang lain. Dari sini, kita jadi bisa tahu, kenapa al fathihah yang kita baca tiap shalat dimulai dengan alhamdulillah. Dan juga kenapa bunyi lafal takbir setiap idul fitri/idul adha "Allahuakbar walillahilhamd". (Klik di sini untuk nonton penjelasannya.)

Perkenalan Pertama dengan-Mu

Kalau di sebelumnya kita baru bahas sepenggal awal frase alhamdulillah (alhamd), sekarang kita ke bagian akhir (lillah).

Al Fatihah, surat pembuka, artinya yang pertama kita baca dari Quran. Ini sesi perkenalan pertama. Kalau kenalan sama orang, apa yang pertama kita ucapkan? Halo, perkenalkan saya seorang blogger. Nope. Urutannya tidak begitu. Kita menyebutkan nama kita, baru kemudian peran/profesi kita, baru kemudian sedikit tentang sifat kita.

Begitulah Allah mengenalkan kita kepada-Nya. Allah memulai dengan menyebutkan nama-Nya.  Baru kemudian Allah memberitahu peran pertama yang harus kita ingat mengenai diri-Nya.

Selain tentang urutan perkenalan, kata Allah juga dipilih karena kita tidak hanya memuji dan bersyukur akan salah satu saja sifatnya. Kita tidak hanya memuji dan bersyukur karena Allah karena Arrahman atau Alghoffur, atau Alhakim. Tidak. Kita memuji dan bersyukur kepada Allah bukan hanya pada sebagian sifat dan asma-Nya.

Lanjut ke sesi perkenalan ya. Jadi kita sudah kenal nama nih. Kemudian Allah menyebutkan satu kata penting yang harus kita ingat mengenai-Nya. Bahwa Allah adalah rabbil 'alamin. Kata "rabb" di sini mencakup banyak makna:

  • al-malik (the owner, pemilik), artinya kita adalah milik-Nya, we're His property
  • al-murobbi (someone who ensures the growth), Allah tidak hanya memiliki kita kemudian membiarkan kita, tapi IA peduli, merawat dan mengurus kita, memastikan kita agar 'tumbuh' menjadi lebih baik.
  • al mun'in (the one who give gift), Allah ga cuma memiliki dan merawat kita, tapi juga memberikan kita hadiah, meski kita tidak melakukan apa pun yang membuat kita berhak mendapatkan hadiah tersebut. Our eyes, our hands, oxygen we breath.
  • al qayyim (the one who makes sure it stays together), ga cuma tiga hal di atas. Allah juga memastikan agar kita tidak hancur berkeping-keping. Karena tanpa 'perawatan dan pengawasannya', kita dengan hancur dan 'selesai', bahkan satu detik pun, kita tidak bisa hidup tanpa Allah Al Qayyim. (the blood circulation, our hearts that's beating, etc)
  • as sayyid (someone who has full authority), orang yang memiliki tapi tidak punya wewenang penuh tidak bisa disebut rabb. Seperti orang punya tanah, tapi ga bisa bebas bangun apapun, karena harus sesuai dengan peraturan tata kota.


Would it be the same?

Izinkan kututup resume kali ini dengan sebuah pertanyaan refleksi. Setelah ini... setelah kita menemukan kembali (rediscovering) alfatihah, baru sebuah frase pembukanya memang, baru alhamdulillah, tapi dari sini, apakah akan sama? Apakah akan sama rasanya saat kita mengucapkan alhamdulillah. Apakah kita masih akan melafalkannya di bibir, tanpa memasukkannya ke hati di setiap takbir shalat kita? Apakah kita bisa menghidupkan semangat positif yang dibawa satu frase istimewa yang Allah pilih sebagai perkenalan-Nya tersebut?

Semoga Allah memberikan kita ilmu yang bermanfaat, serta amalan yang diterima. Aamiin.

Allahua'lam.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya