Bismillah.
#fiksi
Gia menekan tombol F5 berkali-kali, bibirnya mengerut ke bawah. Sudah lebih dari dua bulan website tersebut belum diperbarui, tidak ada tulisan baru. Ditutupnya layar laptop, tangannya beralih ke hp dengan casing berwarna merah bata. Aplikasi sosial media terbuka, Gia mengetikkan beberapa huruf, menuju sebuah akun. Jarinya berputar-putar sejenak di atas tulisan "follow". Tap. Satu ketukan, lalu tulisan tersebut berubah, seiring warna putihnya menjelma jadi biru. Dimatikannya layar hp tersebut, kemudian dilempar lembut ke kasur. Tangan dan badan Gia seolah terserang listrik, ia menggerakkan jemari dan kakinya tidak beraturan, bibirnya tertutup rapat seolah menahan getar pita suara yang mendesak ingin mengajaknya berteriak kecil.
Gia memutuskan untuk keluar kamar, dilihatnya tangga putih yang berada tepat di sebrang kamarnya. Dalam beberapa menit, ia sibuk meniti anak-anak tangga di kosannya. Dari lantai satu, ke lantai empat, kemudian turun, kemudian naik, lagi. Terkadang tempo langkahnya pelan, terkadang setengah berlari. Saat nafasnya sudah mulai tak beraturan, ia akhirnya duduk di anak tangga paling bungsu. Gia menutup kelopak matanya, mencoba mengatur nafas sembari memikirkan apa yang akhir-akhir ini sering menetap di kepalanya.
Suara langkah kaki membuat ia menengok ke belakang, refleks ia berdiri, memberi jalan. Perempuan yang baru melewatinya membawa panci kecil berisi wortel, kobis, daun bawang, dan beberapa perangkat masak lain.
"Mau masak sop?" tanya Gia.
"Mau bantu?"
Gia tersenyum kemudian bergegas mengikuti ke dapur kosan.
***
"Anggun, menurutmu, apa cara efektif supaya orang notice kita?"
Anggun yang sedang mencuci talenan dan pisau menutup keran air, ia memandang Gia yang berusaha menghindari kontak mata. Ujung bibir Anggun naik melihat gesture Gia.
"Siapa Gi yang pengen kamu buat notice kamu?" ledek Anggun.
"Eh, poinnya bukan siapa.." Gia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia seolah menyesal telah bertanya.
"Sop.. sopnya udah mateng Nggun," kali ini ia berhasil mengalihkan topik, berhasil menutupi perasaan gugup yang tiba-tiba menyergapnya.
Sop di mangkuk Anggun sudah habis, ia mengucap hamdalah pelan. Sebaliknya, sop di mangkuk sebrang masih setengah penuh, hanya di aduk-aduk oleh pemiliknya.
Anggun akhirnya buka suara, kali ini ia bertanya tanpa tatapan dan nada meledek. Ia menjelaskan, kalau ia harus tahu lebih detail untuk bisa menjawab pertanyaan yang diajukan Gia sesaat sebelum sop matang.
"Kan beda, cara biar dosen kita notice kita, atau bos, atau...", Anggun membiarkan kalimatnya tergantung. Gia meletakkan sendoknya, menghela nafas pelan, kemudian akhirnya memilih bercerita tentang perasaan dan pikiran yang akhir-akhir ini mengganggunya.
Ada seseorang, yang sebelumnya, bagi Gia melihatnya dari jauh sudah cukup. Cuma rasa penasaran, tertarik, kagum, semacam itu. Tapi entah mengapa, akhir-akhir ini Gia merasa sangat ingin agar orang itu sadar keberadaannya.
"Cuma pengen orang itu tahu, ada orang loh di sini,"
Anggun cuma bisa mengeluarkan suara "hmmm" panjang. Mencoba memahami perasaan Gia. Ia kemudian memberitahu Gia tidak bisa banyak membantu. Karena untuk urusan rasa tertarik dengan lawan jenis, interaksi, dll, ia tidak lebih tahu daripada Gia.
"Kamu udah coba ngelakuin sesuatu?"
"Baru follow akun sosmednya doang," jawab Gia sembari mengingat kejadian tadi, sebelum ia naik turun tangga kosan.
"Sebelumnya ga follow?" tanya Anggun heran. Anggun mengenal Gia sudah tiga tahun, tidak begitu dekat memang, tapi karena satu fakultas dan beberapa kali mengambil mata kuliah yang sama, ditambah tahun ini satu kosan, Anggun merasa terkejut. Ada warna baru yang ia lihat. Anggun kira, Gia tipe yang santai dan tidak strict tentang sosmed, beda dengan Anggun yang mengkhususkan sosmednya untuk girls only.
"Aneh ya?", Gia tertawa kecil. Gia sendiri juga merasa heran. Dengan yang lain, Gia dengan mudah follow sosmed selama ada mutual friend, dan akunnya ga nyampah. Tapi dengan orang itu... entah mengapa ia memilih untuk "menjaga jarak". Efek dari perasaannya sepertinya, ia takut, kalau perasaannya pada orang itu membesar dan tidak bisa dikendalikan. Ia juga takut orang itu tahu tentang perasaan tak bernama yang mekar di hati Gia, rasa yang ingin ia simpan sendiri saja.
Percakapan mereka berlanjut, Gia merasa sedikit bisa bernafas setelah bercerita pada Anggun. Tanpa terasa mangkuk sopnya kini sudah kosong.
***
"Komunikasi langsung," ucap Anggun sesaat sebelum menaiki tangga menuju kamar. Tidak ada cara lebih efektif dari komunikasi langsung, kalau kita ingin seseorang tahu keberadaan kita. Butuh keberanian memang, dan mungkin juga sebuah excuse, tapi setidaknya itu yang Anggun rasakan setiap kali ia jadi notice seseorang. Karena orang tersebut berkomunikasi langsung dengannya, face to face, atau mengirim private message.
"Anggun pernah ngerasa kaya gini juga?" tanya Gia pelan. Anggun tersenyum dan mengangguk, kemudian melempar sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang membuat Gia unfollow akun orang itu. Pertanyaan yang membuat Gia membaca ulang archive di website orang tersebut.
Kini pertanyaan Gia bukan lagi, "bagaimana caranya agar orang itu 'notice' keberadaannya". Pertanyaan yang harus ia jawab kini adalah, "kenapa ia tiba-tiba merasa tidak cukup sekedar melihat dari jauh?"
***
Gia sedang sibuk dengan pencarian jawabannya, tidak sadar, bahwa pertanyaannya mereplay sebuah kenangan di memori Anggun.
Sebuah SMS berisi nomer hpnya sendiri, pernah dikirim seseorang pada Anggun. Saat itu, ia hanya menjawab dengan sebuah tanda tanya. Dan memori lain, saat situasi dan alasan ada dan mendukung untuknya bertanya dan meminta bantuan, tapi ia memilih untuk mengirimkannya, karena takut orang lain notice akan keberadaannya.
Gia sedang sibuk dengan pencarian jawabannya, tidak sadar bahwa sebuah dm masuk ke sosial medianya, "Ini dengan Gia PM15?"
The End.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya