"Isabella Kirei admin ****
juga kan? tlg di post dong" komentar seorang ikhwan mengomentari poster
sebuah acara yang saya share di akun pribadi sebuah jejaring sosial. Aku diam
sejenak. Terhenyak. Somehow merasa ada yang menekan dadaku. Sakit. Dan ini
bukan yang pertama.
Sebelum kejadian itu, ada
kejadian lain yang lebih menyesak dada. Di sebuah grup organisasi. Seorang
ikhwan menanyakan admin sebuah akun, dengan dalih enggan mengkonfirm sebuah
akun yang nggak jelas siapa orangnya. Sampai di situ, semua fine. Tapi membaca
komentar selanjutnya dari thread tersebut. Membuat mata perih, ingin sekali
bertanya.. “tidakkah kalian sadar, ada akhwat di grup ini?” Ah, mereka mungkin
sadar tentang itu. A thing that they didn’t realize is, that somehow they might
annoyed, even hurt someone with those sentences they laugh about. Hurting in the
way, that would never understand.
Mereka berkomentar, "jika ikhwan akan diberi.... jika akhwat akan di....."
Mereka berkomentar, "jika ikhwan akan diberi.... jika akhwat akan di....."
***
“They’re just kidding, Bel!”
sebagian kecil hatiku mencoba menghibur diri. Tapi suaranya lemah. Tidak bisa
mengobati luka.
Ada yang masih bingung, tulisan
ini akan dibawa kemana? Sekedar untuk dibaca kah? Ok. Let me make it clear.
Though I don’t promise you to understand about this.
Ini perihal hijab. Perihal
batasan antar-lawan jenis. Perihal fitrah seorang wanita. Adalah seorang
wanita, khususnya muslimah.. fitrahnya ingin “tersembunyi”. Merasa aman berada
di dalam rumah, meski ia bisa keluar rumah. Berjalan dan sholat di shaff belakang,
meski ia bisa berada di depan. Bersuara lirih, meski ia bisa bersuara lantang. Berlindung
di balik hijab, berpakaian tertutup, menunduk dan menjaga izzah dan iffah kami.
Adalah fitrah seorang wanita,
seorang muslimah khususnya. Tidak terlalu dominan, meski ia bisa mendominasi.
Tidak banyak mengenal wajah atau nama mereka yang bukan mahramnya, meski ia
bisa dengan mudah mengenal, bahkan mengghafal mereka. Adalah fitrah kami, tidak
ingin dikenal wajah, bahkan nama.. oleh mereka yang bukan mahram kami.
Dan tentu menyakitkan rasanya,
harus “terpaksa” keluar dari hijab. Maju ke depan. Menunjukkan kepada dunia,
satu demi satu kemampuan yang bisa kami lakukan. Dan akhirnya dunia tahu, bahwa
ternyata diantara kami ada yang baik kemampuan kepemimpinannya, baik kemampuan
orasinya, baik kemampuan menyusun stategi, dll.
“Apa yang salah dari semua itu?” Mungkin ada yang bertanya
seperti ini.
“Bukankah itu bagus, dunia jadi tahu bakat mereka,” atau berkomentar
seperti ini.
Ijinkan aku menjawabnya. Tidak.
Tidak ada yang salah. Hanya saja saat ini, tanpa kita sadari.. ya, mungkin
sebagian dari kami juga tidak menyadarinya. Hanya saja saat ini, sedikit demi
sedikit rasa “sakit” itu hilang. Lalu dikemanakan fitrah kami? :’( Padahal
dengan itu, Allah hendak melindungi kami. Dengan rasa malu, rasa “nyaman”
berada di balik hijab.. Allah hendak melindungi kami.
***
Silahkan memilih setuju atau tidak setuju dengan opini di
atas. Tapi cobalah mengerti, tolong hargai usaha kami untuk tetap berada pada
batasan-batasan fitrah kami. Jangan paksa kami untuk keluar dari hijab, maju ke
depan, kemudian menunjukkan pada dunia “kehebatan” kami.
Ah, tentang paragraf pembuka
tulisan ini. Katakanlah aku terlalu sensitif, sehingga prasangka buruk
menghampiriku. Tentang paragraf pembuka tulisan ini, bisa jadi adalah sebuah
alibi atas kekecewaan pada diri. Bahwa usaha diri untuk “bersembunyi”, ternyata
tak menuai hasil yang diharapkan.
“Wanita sholeha itu tidak suka mengenali dan dikenali,
Tidak suka memandang dan dipandang,
Di bibirnya tidak meniti nama-nama lelaki,
Dan di bibir lelaki tidak meniti namanya”
— quotes
Maaf, jika ada hati yang terluka karena tulisan ini. Maaf,
karena kembali menulis tentang hal ini.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya