Follow Me

Friday, April 12, 2013

Fitrahnya


"Isabella Kirei admin **** juga kan? tlg di post dong" komentar seorang ikhwan mengomentari poster sebuah acara yang saya share di akun pribadi sebuah jejaring sosial. Aku diam sejenak. Terhenyak. Somehow merasa ada yang menekan dadaku. Sakit. Dan ini bukan yang pertama.

Sebelum kejadian itu, ada kejadian lain yang lebih menyesak dada. Di sebuah grup organisasi. Seorang ikhwan menanyakan admin sebuah akun, dengan dalih enggan mengkonfirm sebuah akun yang nggak jelas siapa orangnya. Sampai di situ, semua fine. Tapi membaca komentar selanjutnya dari thread tersebut. Membuat mata perih, ingin sekali bertanya.. “tidakkah kalian sadar, ada akhwat di grup ini?” Ah, mereka mungkin sadar tentang itu. A thing that they didn’t realize is, that somehow they might annoyed, even hurt someone with those sentences they laugh about. Hurting in the way, that would never understand.

Mereka berkomentar, "jika ikhwan akan diberi.... jika akhwat akan di....."

***

“They’re just kidding, Bel!” sebagian kecil hatiku mencoba menghibur diri. Tapi suaranya lemah. Tidak bisa mengobati luka.

Ada yang masih bingung, tulisan ini akan dibawa kemana? Sekedar untuk dibaca kah? Ok. Let me make it clear. Though I don’t promise you to understand about this.

Ini perihal hijab. Perihal batasan antar-lawan jenis. Perihal fitrah seorang wanita. Adalah seorang wanita, khususnya muslimah.. fitrahnya ingin “tersembunyi”. Merasa aman berada di dalam rumah, meski ia bisa keluar rumah. Berjalan dan sholat di shaff belakang, meski ia bisa berada di depan. Bersuara lirih, meski ia bisa bersuara lantang. Berlindung di balik hijab, berpakaian tertutup, menunduk dan menjaga izzah dan iffah kami.

Adalah fitrah seorang wanita, seorang muslimah khususnya. Tidak terlalu dominan, meski ia bisa mendominasi. Tidak banyak mengenal wajah atau nama mereka yang bukan mahramnya, meski ia bisa dengan mudah mengenal, bahkan mengghafal mereka. Adalah fitrah kami, tidak ingin dikenal wajah, bahkan nama.. oleh mereka yang bukan mahram kami.

Dan tentu menyakitkan rasanya, harus “terpaksa” keluar dari hijab. Maju ke depan. Menunjukkan kepada dunia, satu demi satu kemampuan yang bisa kami lakukan. Dan akhirnya dunia tahu, bahwa ternyata diantara kami ada yang baik kemampuan kepemimpinannya, baik kemampuan orasinya, baik kemampuan menyusun stategi, dll.

“Apa yang salah dari semua itu?” Mungkin ada yang bertanya seperti ini.

“Bukankah itu bagus, dunia jadi tahu bakat mereka,” atau berkomentar seperti ini.

Ijinkan aku menjawabnya. Tidak. Tidak ada yang salah. Hanya saja saat ini, tanpa kita sadari.. ya, mungkin sebagian dari kami juga tidak menyadarinya. Hanya saja saat ini, sedikit demi sedikit rasa “sakit” itu hilang. Lalu dikemanakan fitrah kami? :’( Padahal dengan itu, Allah hendak melindungi kami. Dengan rasa malu, rasa “nyaman” berada di balik hijab.. Allah hendak melindungi kami.

***

Silahkan memilih setuju atau tidak setuju dengan opini di atas. Tapi cobalah mengerti, tolong hargai usaha kami untuk tetap berada pada batasan-batasan fitrah kami. Jangan paksa kami untuk keluar dari hijab, maju ke depan, kemudian menunjukkan pada dunia “kehebatan” kami.

Ah, tentang paragraf pembuka tulisan ini. Katakanlah aku terlalu sensitif, sehingga prasangka buruk menghampiriku. Tentang paragraf pembuka tulisan ini, bisa jadi adalah sebuah alibi atas kekecewaan pada diri. Bahwa usaha diri untuk “bersembunyi”, ternyata tak menuai hasil yang diharapkan.

“Wanita sholeha itu tidak suka mengenali dan dikenali,
Tidak suka memandang dan dipandang,
Di bibirnya tidak meniti nama-nama lelaki,
Dan di bibir lelaki tidak meniti namanya”
quotes
Maaf, jika ada hati yang terluka karena tulisan ini. Maaf, karena kembali menulis tentang hal ini.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya