Bismillah...
Meski seringkali hanya bisa jadi penonton, namun setidaknya aku mencoba untuk melihat, dan bukan tutup mata.
Tulisan ini dibuat, agar tak ada sesal di ujung. Agar tak ada sesal, saat semuanya terlambat.
***
Hari Rabu, jam menunjukkan pukul tujuh lewat. Dan aku baru bergegas menuruni tangga, padahal kuliah hari ini dimulai pukul tujuh. Tidak, kali ini aku tidak menuju gerbang depan ITB kemudian ke labtek V. Hari ini adalah hari yang berbeda jika dibandingkan dengan hari kuliah lain. Aku bergegas melangkahkan kakiku menuju gerbang dekat parkiran SR.
Tap. Tap. Tap. Melewati jalur pejalan kaki. Sempat menoleh sejenak ke arah kiri, dan menemukan bangku itu kosong. Bahkan seekor kucing pun tak kulihat di sana. Pikiranku melayang ke semester lalu, saat masih sering kulihat kucing-kucing asik bermain di sini. Dan ibu yang biasa duduk di sini, apa kabarnya? Semoga Allah memberkahi umurnya.
Tap. Tap. Tap. Beberapa orang kulewati, beberapa lagi tak bisa kulewati. Terpaksa mengalah melambatkan langkah. Setelah papan pengumuman yang ke empat (*kalau tidak salah), aku lebih bebas mendahului orang-orang karena jalanan jauh lebih lebar dari yang tadi.
Jauh sebelum belokan, aku sudah menerka-nerka... 'apakah ia masih duduk? atau sudah mulai bekerja memilah sampah?'. Mendekati belokan, kulayangkan pandanganku ke arah tempat pembuangan sampah tanpa memperlambat langkahku. Tak ada. Aku tidak menemukan sosoknya. Kucoba menelisik lebih teliti. Tidak ada. :'( Somehow, ada ketakutan yang memenuhi dada. semoga ia baik-baik saja. batinku.
***
Di belokan itu, ada sebuah tempat pembuangan sampah. Dan di sana -jika kita mau titen (*apa bahasa indonesianya titen? mungkin jeli)- ada seorang ibu yang setiap harinya memilah dan mengumpulkan sampah. Ia datang pagi-pagi, sebelum pukul tujuh (*aku pernah berangkat pagi dan sudah kulihat ia di sana). Badannya kurus, tidak begitu tinggi. Pakaiannya lusuh seperti kebanyakan pengumpul sampah. Jika petugas sampah ITB belum mengantarkan sampah ke sana, ia sabar menanti sembari duduk. Ah, mungkin lebih tepatnya berjongkok.
Beberapa kali memperhatikan ibu itu, belum bisa membuatku tahu.. jenis sampah apa yang biasa ia kumpulkan. Aku pernah melihat ia memilah sampah kertas, pun sampah plastik. Ah, bagaimana diri bisa tahu jika tidak mendekat dan bertanya?
Jujur aku heran pada diri. Yang hanya bisa mengamati dari jauh.Tanpa kemudian melangkah lebih jauh. Hanya bertanya dalam diam. Sudahkah ibu itu sarapan? Berapa umur ibu itu? Dimana ia tinggal? Punya anak berapa? Apakah suaminya masih hidup? Sejak kapan ia rutin mengumpulkan sampah di ITB? Dan pertanyaan lain yang tak mungkin kutemukan jawabannya jika aku hanya menjadi penonton.
Dan kejadian kemarin (17/4), akhirnya membulatkan tekadku untuk sekedar menulis tentangnya. Semoga dengan tulisan ini, kita tergerak untuk tak hanya lalu lalang. Tak hanya merasa sibuk dengan tugas dan beban akademik yang memang banyak. Tak hanya merasa sibuk dengan kemahasiswaan dan keunitan. Tapi mencoba peka, memperhatikan sekitar.
Setidaknya, kepekaan ini akan membuat kita semakin malu. Untuk berjalan sombong di muka bumi. Karena ada orang-orang yang hidupnya lebih keras, namun tak menjadikan ia memilih untuk mengemis. Setidaknya, kepekaan ini akan membuat kita semakin malu. Untuk berjalan
sombong di muka bumi. Karena apalah arti ilmu yang kita kejar ini, kalau manfaatnya hanya untuk diri.
sudah ada yang nulis.. jyaa.
ReplyDeletenamanya Ibu Casmirah, usianya tahun ini 73 tahun.