Follow Me

Wednesday, November 7, 2018

Fake Smile, Fake Laugh

Bismillah.

Pertanyaanku tidak lucu. Pun jawabannya. Namun ia menambahkan huruf-huruf yang dibaca sebagai bentuk tawa. Aku terdiam, bingung harus berkata apa lagi. Aku tahu ia tidak baik-baik saja. Maka aku berusaha bertanya pertanyaan remeh, berharap itu bisa menjadi jembatan, hingga ia mau bercerita padaku. Tapi mungkin aku sebenarnya tidak benar-benar ingin mendengarnya. Aku hanya terpaku melihat senyum palsunya, tawa yang dibuat-buat meski tidak ada yang lucu.

***


Sejujurnya aku meragukannya. Beberapa hari yang lalu, saat ia tanpa sengaja tertangkap berbohong. Lebih tepatnya, tertangkap berhalusinasi.

Pikiran itu mungkin sudah jauh-jauh ia pikirkan. Mungkin tujuannya pergi ke sana bukan untuk bertemu temannnya, justru berharap bertemu orang lain. Sebelumnya, ia sudah memikirkan berbagai kemungkinan yang ada. Sampai hari itu tiba. Sekilas ia melihat sesosok yang mirip orang itu. Mungkin tidak mirip. Hanya karena orang itu sudah memenuhi otaknya, sekejap orang lain bisa menjadi mirip orang yang ingin ia temui.

Ia menundukkan kepalanya, meyakini sosok itu adalah orang itu. Sekilas, namun cukup untuk menangkap detail pakaian yang dikenakan. Perasaannya kalut, cemas, tidak karuan, ia berdiri bak patung di sana, dengan perasaan ombang ambing karena mengira sosok itu adalah orang yang ingin ia temui...

***

Kebohongannya Halusinasinya segera runtuh, hancur seketika, saat ada saksi lain yang juga berpijak tak jauh darinya. Ternyata yang ia pikir akan ditemui di sana, tidak ada. Sosok yang sekilas mirip itu, bukan orang itu. Lalu aku menyernyitkan dahi karena pernyataannya kini nilainya dusta. 

Aku tahu aku tidak boleh begini. Tapi jujur aku jadi meragu juga akan pernyataan-pernyataan lain darinya. Yang mana yang kebenaran dan fakta. Yang mana, dusta yang dilebih-lebihkan. Aku selama ini memandangnya sebagai sisi yang perlu dibantu, namun setelah keraguan itu... mungkinkah ia justru sisi yang tidak berhak dibantu?

***

Ia tersenyum, tapi hanya di teks. Tertawa, hanya di teks. Hatinya tidak baik-baik saja sejak kejadian itu. Wajahnya muram, menunduk. Ia tetap menjalani rutinitas harinya, namun pikirannya melayang jauh, ke hari-hari lampau saat hatinya pertama kali ditinggikan, lalu dijatuhkan dan percah menjadi kepingan-kepingan kecil.

Allahua'lam.

***

PS: Sebenarnya aku sama dengannya. Aku pernah salah mengira, seolah semua orang yang postur tubuhnya mirip adalah orang itu. Bedanya. Aku tidak punya luka sedalam lukanya. Bedanya, ia mempunyai luka yang dalam, berdarah dan dibiarkan menganga. Dijahitpun tidak, tiap hari mengundang infeksi baru.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya