Sulit. Hehe. Bagiku sulit mengajak seorang introvert untuk diskusi, tanpa bertatap muka. Perlu digaris bawahi, ya.. sulit itu, karena jarak terbentang, dan komunikasinya harus dijalin via teknologi. Kalau bukan sang introvert yang memulai diskusinya, biasanya akan berakhir sebelum dimulai diskusinya. Mereka menahan jemari dan memilih memenuhi respon di pikirannya, dan aku.. yang menahan jemari, karena memilih mengambil selimut introvertku.
***
I'm an ambivert, begitu yang aku percaya dan yakini. Bisa jadi salah. Alasannya sederhana, karena dua kali tes MBTI hasilnya hampir sama persis, kecuali huruf E yang berganti I, dan sebaliknya. Juga dari hasil melihat pola komunikasiku, terkadang bisa seramai ekstrovert namun tidak jarang juga memilih menyepi sendiri.
Kehidupan pascakampus, salah satu yang menghilang adalah teman diskusi. Ada banyak hal yang ada di pikiranku, di hatiku, yang tak cukup diekspresikan dan dituang dalam sebuah monolog. Aku butuh respon, butuh orang lain yang memberikan warna baru, perspektif baru, termasuk yang bisa mendebatku kala yang memenuhi pikiran dan hatiku harus dikoreksi dan diperbaiki. Tapi... sulit memulainya. Dan mayoritas teman yang ingin kuajak diskusi itu... sosok introvert. Jadi... aku banyak salah tingkah sendiri.
Diskusi yang baik itu saat masing-masing pihak tertarik topiknya. Akan jadi pidato atau pembicaraan satu arah, jika hanya satu pihak yang tertarik topiknya. Maka aku menjadi silent reader blog dan sosial media sosok introvert, tempat unik yang dipilihnya mengeluarkan sedikit dari apa yang dipikirkan dan dirasakan. Jika ada topik yang aku ingin lanjut diskusikan, dan jika saat itu aku sedang mode ekstrovert, maka aku berani untuk japri dan mencoba memulai diskusi.
Tapi... berdasarkan pengalaman yaang sudah-sudah. Susah, sulit. Seperti yang kutuliskan di prolog, diskusinya berakhir sebelum dimulai. Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja. Seolah mereka berkata padaku, 'yang kutulis di sana, bukan untuk didiskusikan'. Akhirnya aku pindah mode introvert, lalu wacana untuk diskusi, ekspektasi bertukar pikiran lenyap saja. Introvert dan jawaban pendeknya, aku.. dan jemariku yang tertahan untuk melanjutkan kalimatku. Manahan jari, karena takut terkesan menginterogasi.
Berbeda, jika diskusi dengan sosok introvert terjadi di dunia nyata dan tatap muka. Karena aku bisa melihat setiap responnya. Aku tahu matanya menatap layar hp dan sedang sibuk dengan hal lain. Aku tahu bahwa mereka menyimak dan tertarik untuk lanjut diskusi. Perubahan mimik wajah, gerakan tangan, kata hm.. anggukan, kerutan di dahi. Aku tahu mereka merespon, dan aku bisa dengan tenang melanjutkan berbicara sendiri tentang sudut pandangku, sebelum aku bertanya pendapatnya dan memaksanya mengeluarkan kalimat dan suara.
***
Tapi sebenarnya tidak sesulit itu dan seringkali asik saja, mengalir, jika diskusinya dimulai dari sosok introvert. Ini berdasarkan pengalaman juga. Bagaimana mereka memulai diskusi, dan aku menanggapi, dan dari sana ada banyak hikmah yang bisa kurangkai dan kusalin di sini. Salah satunya, cerpen/cerbung Tanya di Ujung Jarak, itu hasil diskusi dengan salah satu sahabat introvert, yang dimodifikasi beberapa hal dan dijadikan kisah fiksi. Ah, jadi ingat, salah satu diskusi yang dimulai si introvert namun belum kurangkai hikmahnya di sini.
Tapi..tapi.. jadinya gitu deh, aku tidak bisa memilih topik. Ngikut aja, sama topik yang dibawa sang introvert.
***
Sebenarnya, aku tahu.. yang membuat sulit itu diriku. Karena harusnya aku tidak menahan jemariku, harusnya, kalau benar-benar ingin diskusi, aku tidak dengan mudah berganti mode introvert. Ya.. yang membuat sulit itu diriku, yang kesulitan berkomunikasi dalam jarak. I'm not good at LDR. Bahkan kalau dipikir lebih jeli lagi, sebenarnya bukan cuma komunikasi jarak jauh, aku... lebih banyak ragu untuk memulai diskusi. Harus ada yang membuka pintu dahulu. Hmm..
***
Kok endingnya jadi gini ya? Ga enak banget bacanya. Bukannya meramu kesimpulan, tapi justru menyalahkan diri. Gapapa sih, kalau itu bentuk introspeksi. Tapi kalau cuma menunjuk kesalahan tanpa memperbaikinya, buat apa? Cuma akan menumpuk perasaan negatif pada diri. Gak baik, dan ga boleh, membenci diri. Yang perlu dibenci itu.. bukan dirimu sendiri, tapi kesalahanmu, dosamu. Bahkan kekurangan diri, kelemahan diri, itu semua haadir bukan untuk dibenci, tapi untuk diatasi dan diterima. That we're just imperfect human being.
Allahua'lam.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya