Follow Me

Tuesday, August 4, 2020

Beri Aku Jarak dan Waktu

Bismillah.

#fiksi




"Beri aku jarak dan waktu," ucapnya.

"Aku ingin sendiri," itu kalimat yang terakhir ia ucapkan kepadaku. Membuatku terpaksa mundur dan menjauh darinya. Mungkin ia butuh ruang dan waktu yang cukup untuk bernafas, untuk berpikir, untuk mengurai berbagai masalah yang menumpuk dan saling berkaitan bak benang kusut. Aku pun pernah merasakan seperti itu, setiap orang kadang memang membutuhkan itu bukan?

***

Dua, tiga hari berlalu. Aku masih melihat pintunya tertutup. Di pintunya tertera tulisan, "jangan ganggu". Aku tidak tahu persisnya berapa jarak yang ia minta, juga waktu yang ia butuhkan. Yang aku tahu, pintu yang tertutup itu sudah cukup menjadi penanda, bahwa aku belum cukup jauh darinya, dan belum cukup memberinya waktu.

Sebulan yang lalu, sebelum ia berkata 'ingin sendiri', ia memang tampak berbeda. Wajahnya yang biasanya beku terlihat lebih hangat dengan ukiran senyum tipis. Ia bahkan sering bertukar obrolan basa-basi. Jujur aku heran tapi juga senang dengan perubahannya. Ia saat itu tampak lebih manusiawi, seolah hatinya hidup lagi. Sebelumnya ia seperti mesin atau robot tanpa hati, duduk di sampingnya saja mengalirkan hawa dingin. Seperti saat kita duduk di bawah AC.

Bulan lalu ia tampak berbeda. Sebelumnya ia sibuk dengan pekerjaannya saja. Tapi bulan kemarin, ia selalu menawarkan bantuan tiap kali aku terlihat riweh atau kesulitan. Seperti saat keningku berkerut, dan aku berulangkali menghembuskan desahan nafas kesal karena komputerku ngadat. Ia mau bertanya, dan memberiku saran solusi. Aku saat itu hanya bisa mengangguk meski tidak mengerti, karena baru pernah ia seperti itu. Bukan cuma padaku, ia juga begitu pada semua orang. Menawarkan membuat kopi saat melihat yang lain menguap saat kami mengejar deadline projek. Bahkan berinisiatif mengajukan diri mengerjakan tugas tambahan yang sebenarnya bukan spesifikasinya.

Satu bulan ia seolah mencair bersama musim panas tahun ini. Tapi sejak tanggal 1 kemarin, bibirnya kembali datar. Keramahan itu seolah dibawa pergi angin entah kemana. Kami semua kaget, tapi tidak ada yang berani bertanya di depan. Hanya bisik-bisik di belakang.

Aku selalu benci bisik-bisik di belakang, aku tahu rasa sakitnya saat sebuah rumor tersebar, merebak, dibumbui berbagai jenis racun. Aku pernah mencicip luka saat semua orang berbicara di belakangmu, dan tidak ada yang berani bertanya langsung. Entah apa alasan mereka. Tetap saja, itu tidak benar.

Maka meski aku juga takut dengan suhu dinginnya. Aku mulai mencari-cari momen dan tempat yang tepat untuk bertanya.

"Apa ada masalah?" Tanyaku sembari mempercepat langkahku. Saat itu semua orang berjalan lambat, tapi ia dengan langkah kaki panjangnya bergegas, seolah tidak ingin seirama dengan langkah kami.

Ia mendadak berhenti, membuatku mengikutinya, dan hampir kehilangan keseimbangan, seperti saat duduk di mobil dengan kecepatan tinggi lalu rem diinjak. Hukum inersia kah? Ah, bukan itu poinnya.

Ia menggeleng. Kemudian melanjutkan langkah panjangnya. Aku saat itu tidak berusaha mengejarnya, apalagi saat melihat tatapan tajam yang lain dari belakangku. Aku memilih menjelaskan, bahwa aku bertanya mengapa ia buru-buru, dan ia menjawab tidak ada apa-apa dengan gelengannya. Kemudian bisik-bisik itu dimulai lagi. Tentang perubahannya, tentang keanehannya sejak awal mereka bertemu dengannya, dll. Aku saat itu akhirnya berbohong ada yang tertinggal, agar tidak perlu mendengarnya.

***

Malam itu kami mengejar deadline projek. Semua orang sibuk dengan tugasnya, beberapa saling membantu bahkan menyalahkan, tensi naik, stress, semua lelah, begitupun ia. Kulihat ia duduk dengan wajah dingin di depan layar. Sesekali ia terkantuk, gelas kopinya kosong, tapi ia seperti tidak ingin beranjak mengisi ulang.

Hati-hati, aku mendekati mejanya, kutawarkan untuk mengisi ulang gelas kopinya. Ia menolehkan sedikit wajahnya ke arahku, jemari tanganku tiba-tiba dingin. Ia menggeleng. Kemudian berdiri, meraih gelasnya dan melangkah ke pantry kantor.

Aku sebenarnya tidak berniat mengikutinya. Sejak awal aku memang hendak menuju pantry dan mengisi ulang gelasku dengan teh hangat manis. Sejujurnya aku cuma manusia biasa, aku kesal dengan responnya. Egoku menyuruhku untuk balik ke mejaku dan melanjutkan pekerjaan saja. Agar tidak perlu satu ruangan dengannya saat ia membuat kopi dan aku membuat teh. Tapi aku merasa tidak salah apa-apa. Mengapa aku yang harus menghindarinya?

Aku paksa kakiku untuk melangkah ke tujuan awal, wajahku aku keraskan, ingin kutunjukkan bahwa aku tidak mengikutinya. Tidak ada suara kecuali suara air panas yang mengalir dari teko listrik ke gelasnya. Aroma kopi merebak, harumnya membuatku melunak. Perasaan kesal tadi ikut menguap bersama asap panas kopinya. Ia mendekatkan teko listriknya ke arahku.

Aku kira ia akan segera pergi ke mejanya, tapi ia masih berdiri di sampingku, seolah menungguku selesai menuangkan air panas ke gelasku. Aku saat itu hendak mengaduk gula, saat ia berbicara tanpa konteks. Dua kalimat pendek yang beberapa hari ini mondar-mandir di otakku.

"Beri aku jarak dan waktu,"

"Aku ingin sendiri."

***

Sejak malam itu, tiba-tiba meja kerjanya pindah ruangan. Ia kini menghuni ruangan kecil yang tadinya menjadi gudang berkas. Berkas-berkas di ruangan itu bertumpuk di tempat meja kerjanya dulu berada. Pintu itu ditutup, tak cukup ditutup, dibubuhi juga kalimat "jangan ganggu". Pagi ini aku bertanya pada Pak Boss, khawatir ia pindah meja kerja karena aku beberapa kali mencoba bertanya tentang ia yang kembali dingin. Kata Pak Boss, ia dapat tugas projek baru kilat, sendiri, selama 2 pekan.

Aku kini tahu meja kerjanya yang berpindah tak ada kaitannya dengan ucapannya malam itu. Tapi aku tidak bisa berbohong, beberapa kali sehari aku mencuri pandang ke pintu tertutup itu. Juga ke kardus tak bernyawa yang tertumpuk di tempat ia dulu duduk dengan wajah datar.

The End.

***

Epilog.

Suara ketukan kecil membangunkannya. Ia mengusap matanya pelan sembari berjalan ke pintu. Pintu terbuka, namun tidak ada siapapun di sana. Tidak ada suara kecuali hanya helaan nafasnya. Peneranganpun, hanya sebuah lampu kecil di meja ketiga baris kedua. Mungkin pemilik meja itu sengaja membiarkannya menyala untuknya, atau mungkin saja ia hanya lupa mematikannya. Entahlah. Ia menyalakan lampu ruangan, memastikan memang tidak ada orang. Ia matikan lagi lampunya, menyisakan cahaya lampu kecil di meja itu.

Memorinya mengajak ia mengingat suatu malam saat ia berkata pada pemilik meja itu. Bahwa ia butuh jarak dan waktu. Bahwa ia ingin sendiri. Ia menghela nafas lagi, lebih keras dari yang sebelumnya kini. Ia kembali keruangan, berkemas pulang. Saat menutup pintu, ia melihat tulisan 'jangan ganggu', ia menghela nafas lagi, kali ini pelan dan halus.

"Aku ingin sendiri?" ucapnya bergumam pada diri sendiri. Pertanyaan itu ia jawab sendiri dalam benaknya, 'Aku tidak ingin sendiri. Aku butuh jarak dan waktu, untuk berdua.'

'Aku merindukan dua rakaat tanpa terkantuk atau menguap. Dua rakaat fokus menghadapNya, dan bukan dengan pikiran yang mengawang. Dua mungkin terlalu banyak, satu saja. Aku butuh sebuah sujud, dengan hangat air mata di pipi'.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya