Follow Me

Sunday, August 16, 2020

Benarkah Luka Pengasuhan?

Bismillah.



Ada yang berubah. Paradigma/perspektifku tentang frase "luka pengasuhan" berubah.

***

Sebelumnya aku cuma tahu dari kabar yang beredar saja. Jadi luka pengasuhan itu semacam innerchild dari proses pengasuhan waktu kecil. Karena innerchild penyebabnya bukan cuma dari pengasuhan bisa juga dari kejadian di masa lalu kita, kalau case aku, dari pertemanan saat SMP. Bahkan, pernah baca juga, innerchild bisa jadi masa lalu ga harus waktu masa kecil, bisa jadi beberapa tahun yang lalu. Dan satu lagi, innerchild bisa jadi positif, jangan disempitkan jadi negatif ya hehe.

Oh ya, karena tulisan ini gak fokus ke innerchild, silahkan cari definisi dan hal-hal lain tentang innerchild di tempat lain hehe. Googling, atau baca buku, nonton video di youtube, dll.

Balik ke topik awal. Persepsiku dan paradigmaku tentang "luka pengasuhan" berubah. Dulu pas tahu sedikit tentang luka pengasuhan, aku jadi sering sok tahu.

Aku pernah menyimpulkan, bahwa rasa insecure seorang anak perempuan terhadap fisiknya, merasa tidak cantik, tidak PD, dll, itu salah satunya karena luka pengasuhan. Jadi pas kecil ga ada yang memujinya cantik, dan itu berefek sampai dewasa. Dewasa jadi cari penerimaan di tempat yang salah, biasanya ke lawan jenis.

Kesimpulan tersebut mungkin ga sepenuhnya salah. Tapi aku punya kesalahan fatal, tolong jangan ditiru. Jadi pernah aku dapet curhat dari temen, juga melihat rasa insecure-nya, aku lalu menjustifikasi bahwa sikapnya yang sekarang itu karena luka pengasuhan. Aku salah. Aku terlalu cepat menjatuhkan justifikasi seolah kesalahan itu berada di orangtuanya. Sampai.. sampai suatu waktu Allah berbaik hati memberitahuku kesalahanku.

Jadi waktu itu diskusi pekanan di grup wa NAK Indonesia. Lalu salah seorang anggota membagikan video, judulnya Mitos Luka Pengasuhan. Videonya boleh banget ditonton di sini:


Videonya cuma 15 menitan tapi jleb! Seketika aku berasa di skak mat, diam dan malu sendiri. Ini balik lagi ke konsep proaktif di 7 habits. Jangan sampai pengetahuan kita yang super sedikit tentang frase "luka pengasuhan" membuat kita mudah menyalahkan orang lain. Harusnya yang pertama dilakukan itu menyalahkan muhasabah diri.

Jujur kaya ditampar, sadar woy Bell! Siapa kamu, tahu ceritanya cuma cuplikan, cuma satu keping puzzle saja. Tapi sudah berani menyalahkan orang lain, orangtua orang lain. TT. Astaghfirullah. Maafkan aku...

Dari situ aku jadi belajar untuk lebih berhati-hati menyimpulkan. Apalagi aku gatau apa-apa. Lebih baik diam dan menyimak. Gak usah ikut bicara tentang "luka pengasuhan". You don't know anything, let's just be quiet and listen.

***

Oh ya, saat menulis ini, aku juga teringat sebuah percakapan di grup wa lain. di grup wa LYS (Love Yourself) Jateng.

Jadi qadarullah pas banget beberapa hari setelah nonton video tersebut, bahasan tentang luka pengasuhan naik di grup LYS Jateng. Dan aku akhirnya ikutan share link itu. Because I feel more people should watch this video before they speak about those phrase.

Terus ada salah satu yang meresponku,

Mungkin mbak Bella belum pernah ya dapat KDRT dari orang tua? Aku kalau mau cerita vulgar sangat mengerikan. Tapi sudahlah buat aku sendiri saja. Buat pembelajaran aku saja. Dan cukup aku saja yang merasakan. Jangan anak-anakku.
Aku jawab, aku memang belum pernah merasakan atau menyaksikan KDRT dari orang lain, entah itu tetangga, atau membaca kasus KDRT secara serius. Makanya sekarang aku memilih untuk diam dan menyimak untuk pembahasan tentang luka pengasuhan.

Dari respon beliau, aku jadi tahu. Bahwa bukan berarti luka pengasuhan itu tidak ada. Karena nyatanya memang ada. kekerasan yang melampaui batas, yang luka fisiknya mungkin sudah tak terlihat, tapi luka di jiwa masih menganga sehingga ini akan memberi efek buruk, jika yang bersangkutan memiliki anak. Itulah tujuannya, mengapa ada buku tentang membasuh luka pengasuhan. Untuk orang-orang yang benar-benar berjuang mengobati luka yang mungkin tidak bisa dipahami oleh orang lain kecuali dirinya dan Allah.

Tapi di sisi lain, kita juga harus paham perspektif lain. Bahwa jangan sampai kita mengkambing hitamkan orangtua, atas apa yang menjadi kesalahan kita. Karena sungguh, setiap orang akan ditanya masing-masing. Kita tidak bisa menyalahkan orang lain, saat sebenarnya kita sudah dewasa dan punya andil akan tanggung jawab diri kita.

Sebutlah case tentang rasa insecure dan percaya diri. Saat kita dewasa, seharusnya kita bisa belajar sendiri. Tentang Allah, bagaimana Allah menciptakan kita dan memperindah diri kita. Bahwa kecantikan itu sesuatu yang semu, hanya sebentar, sampai kulit kita keriput. Bahwa rasa percaya diri itu akan tumbuh bersama dengan pengetahuan kita. Saat kita belajar banyak hal, rasa percaya diri akan tumbuh. Bahwa Allah tidak memandang manusia dari hartanya, apalagi rupanya. Maka fokus kita bukan hanya memperbaiki apa yang tampak di luar, bukan hanya fisik kita. Tapi ketakwaan kita. Karena ketakwaan tersebut yang akan menyelamatkan kita dari api neraka. Ketakwaan tersebut yang akan bermanfaat di akhirat kelak, di kehidupan yang hakiki.

Terakhir, selamat belajar memperbaiki persepsi dan paradigma! Jangan malu untuk salah, wajar kamu manusia. Malu itu, kalau berhenti belajar dan nyaman dengan kesalahan. Malu itu, kalau tidak mau memperbaiki diri, atas kesalahan yang menghias hari. Malu itu, kalau tidak mau menyucikan diri, atas dosa yang menggunung. Semoga Allah memberikan kita petunjukNya, agar ketika kita salah, Allah beri tahu mana yang benar, agar saat kita tersesat Allah tunjukkan jalan yang benar. Seperti doa yang setiap hari kita langitkan. Ihdina ash-shirat al mustaqim.

Allahua'lam.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya