Aku pernah berpikir bahwa aku termasuk orang yang mudah mendengarkan. Sampai aku dihadapkan fakta bahwa aku ternyata juga begitu banyak berbicara. Bahwa ada orang lain yang lebih ingin didengarkan dibandingkan aku.
Maka hari itu meski ada begitu banyak kata yang ingin kuucapkan, aku diam dan belajar lagi mendengarkan. Belajar benar-benar mendengarkan dan bukan mendengar untuk menjawab.
Hari itu, kutenangkan diriku yang juga ingin didengarkan. Kukatakan pada diriku, suatu saat kau akan rindu untuk mendengarkan. Barangkali justru orang lain sosok yang selama ini menahan lidah dan tidak mengucapkan banyak kata.
Lalu ia berhenti berbicara. Kembali ke kesibukannya. Dan aku memulai percakapan dengan diriku, sembari menanam tekad akan menuliskan tentang topik ini. Bahwa semua, ya, semua orang ingin didengarkan.
Aku bersyukur Allah memudahkan jemariku untuk menulis. Menulis sudah seperti teman baik yang setia menemaniku. Seperti yang kuulang-ulang saat harus mendeskripsikan diri. Aku, Bella, berteman dengan kata kala nada tak mau menyapa. Ada banyak momen aku ingin berbicara dan didengarkan. Dan menulis menyediakan keduanya. Ya, dengan menulis aku berbicara, pun merasa didengarkan.
Jika ada yang bertanya, kok bisa menulis membuatmu merasa didengarkan?
Entahlah, mungkin karena karakter/kepribadianku. Dari beberapa tes kepribadian aku termasuk yang melihat ke masa depan, mempunyai imajinasi. Itulah mengapa saat menulis, aku biasa membayangkan aku sedang berbicara kepada seseorang. Siapapun itu. Bisa jadi diriku di masa yang datang, atau orang yang sengaja/tanpa sengaja lewat dan berkunjung ke blog ini.
Ah, tiba-tiba aku jadi ingat. Tahukah bahwa membaca juga bisa menghadirkan perasaan didengarkan dan dimengerti? Aneh memang, tapi aku pernah merasakannya. Rasanya seperti penulis buku tersebut mendengarkanku, merasakan juga apa yang aku rasakan. Buku yang kubicarakan di sini, buku non fiksi. Aku pernah menuliskannya di sini, judulnya kalau tidak salah ingat: Buku Itu Membacaku. (Mungkin nanti kuedit kuberi linknya)
Apakah literasi memang bisa begitu? Karena itu bentuk komunikasi juga?
Atau tidak semua orang merasakan didengarkan dari membaca dan menulis?
Pernah seseorang bercerita bahwa ia berhenti menulis karena merasa satu arah. Ia lebih suka bercakapan langsung dengan manusia sungguhan. Saat itu aku masih memotivasinya untuk tetap menulis sih. Walaupun aku pun setuju, bahwa tetap berbeda, tentu rasanya jauh lebih menyenangkan jika ada orang yang mau mendengarkan kita. Karena seperti judul tulisan ini, semua orang ingin didengarkan.
***
Last but not least. Akan ada masa kita sangat butuh untuk didengarkan tapi tidak ada orang yang mau atau punya waktu untuk mendengarkan. Atau mereka punya waktu da mau mendengarkan. Tapi kita entah mengapa begitu sulit untuk mengucapkan kata.
Akan ada masa kita sangat butuh untuk didengarkan. Tapi sayangkan bahkan menulis tidak bisa menghadirkan rasa didengarkan. Kenapa? Karena saat itu yang ingin kita bicarakan begitu banyak dan kompleks. Kita ingin secara gamblang dan terang menceritakannya. Tapi kita juga tidak ingin semua bagian diketahui detailnya. Akhirnya yang keluar hanya kata-kata kosong yang tidak benar-benar mewakili apa yang ingin kita sampaikan.
Saat itu, mungkin, mungkin, kita harus belajar membahasakannya dalam bulir air mata. Bukan pada manusia yang tidak bisa mengartikan makna air mata hangat tadi. Tapi pada Allah Yang Maha Dekat. Hanya Dia Dzat yang bisa memahami bungkam bibir dan kaku jemari kita. Hanya Allah yang Esa, yang mampu memahami campuran emosi dan luka yang tersembunyi dan tak terlihat mata. Menangis lah di hadapanNya. Tidak apa. Kau boleh menjadi seseorang yang begitu lemah dan hina dihadapanNya. Allah knows your worst, He knows all your sins and the dark side of you, yet He is still loving you and waiting for you to call upon Him.
Kita semua ingin didengarkan. Dan Allah mendengarkan kita, kapan pun, di mana pun. We might be becoming so far away from Him. But Allah is near. Allah is near.
Allahua'lam.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya