Seseorang menuliskan, bahwa ia rindu, tapi tidak tahu pada siapa. Membaca kalimatnya membuatku teringat sebuah kutipan dari buku biografi Umar bin Abdul Aziz, di Bab Terakhir, dengan sub-heading bertajuk "Jiwa yang Merindu".
***
Ia (Umar bin Abdul Aziz) berkata,
"Sungguh, aku memiliki jiwa yang mencintai kerinduan. Tiap kali mencintai sesuatu, aku akan merindukan sesuatu yang di atasnya lagi, dan sungguh Allah subhanahu wata'ala telah Melihatku sedangkan aku di Madinah waktu itu sebagai seorang pemuda di antara para pemuda lain. Lalu jiwaku merindukan ilmu dunia Arab maka aku pun memenuhi keperluanku. Kemudian jiwaku merindukan Fathimah binti 'Abdul Malik maka aku memperistrinya. Selain itu, ketika aku merindukan kepemimpinan maka aku berhasil menguasai dunia dan merindukan kekhilafahan yang tidak ada sesuatu pun yang lebih tinggi daripadanya. Akhirnya, jiwaku pun merindukan apa yang di hadapan Allah di akhirat."
***
Kerinduan yang memenuhi jiwa Umar rahimahullah melahirkan amal, sehingga Allah memberikan padanya penawar rindu tersebut. Kemudian ia memenuhi jiwanya lagi dengan kerinduan lain yang lebih tinggi. Lagi, dan lagi. Sampai akhirnya ia menemukan kerinduan terakhir yang mengisi tiap relung jiwanya. Kerinduan akan akhirat, rindu pada apa yang di hadapan Allah di akhirat. Dan yang terakhir ini, juga terlahir dalam amal, kemudian Allah memberikan penawarnya, lagi. Sebuah kematian, penawar yang pahit, tapi ampuh. Karena kematian adalah gerbang menuju kehidupan yang hakiki.
Lalu aku bertanya-tanya. Bagaimana dengan kita? Kerinduan terhadap apa yang ada di jiwa kita? Bisa jadi kita juga merindukan kedekatan dengan Allah, jiwa kita terlahir dalam fitrah, merindukan Rabbnya. Adakah kita abai pada rasa rindu tersebut? Meletakkannya di laci paling bawah, tertutup dan terkubur oleh tumpukan-tumpukan rindu lain yang nilainya maya dan semu.
Lalu aku menulis ini, seolah ingin menjawab kalimatnya, namun bukan untuk dibaca orang lain. Kutulis ini, sebagai pengingat diri, agar tidak lupa, ada kerinduan yang harus kita pupuk, yang penawarnya akan pasti hadir. Lebih pasti dari kehidupan itu sendiri.
Aku menulis ini, untuk mengingatkan diri. Bahwa benar, kita boleh merindukan siapa pun, atau apapun, itu manusiawi. Seperti Umar yang rindu pada ilmu dunia Arab, juga fathimah binti Abdul Malik, juga kekhilafahan. Kamu pun boleh rindu. Tapi jadikan rindu itu merekah dalam amal dan doa, agar diberikan penawarnya oleh Allah, kemudian... Semoga di "akhir cerita" jiwa kita dipenuhi kerinduan padaNya, pada akhirat, pada apa yang di hadapan Allah di akhirat, dan kita menghadap padaNya dalam keadaan terbaik. Aamiin.
Allahua'lam.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya