Follow Me

Monday, April 6, 2020

Bercerita Tentang Orang Lain

Bismillah.

Tiga bulan pertama tahun 2020 blog ini ramping, cuma keisi beberapa tulisan. Jadi, rencananya april ini mau banyak diisi. Diisi apa ya? Yang paling mudah sebenarnya menulis tentang diri. Tentang kisah hari. Tapi kayanya bagian itu jatahnya diary.

Lalu aku kepikiran untuk bercerita tentang orang lain, orang-orang yang pernah/masih hadir dalam hidupku. Selain keluarga. Itu masih terkait diri, tapi ga semua tentang diri. Bagaimanapun saat kita menulis tentang orang lain, kita biasanya memakai sudut pandang yang subjektif, memori yang kita ingat tentangnya, mungkin berbeda dengan memori yang ia ingat tentang kita.

***

Aku akan memulainya lewat seseorang yang kukenali lewat tulisan. Blognya akhir-akhir ini sering diisi. Dan salah satu tulisan terakhirnya membuatku ingin bersuara.

Jadi, ia menuliskan tentang keinginannya menemukan teman hidup, tempat ia bercerita tentang hal-hal yang belum pernah ia kemukakan pada orang lain. Tempat-tempat yang ingin ia kunjungi, aktivitas yang ia ingin lakukan, visi hidupnya, pandangan hidupnya, dan banyak hal-hal lain. Tapi ia khawatir....

Satu hal yang saya khawatirkan adalah bahwa saya tidak menemukan teman hidup berbagi, berbagi tentang apa yang selama ini tidak pernah saya bagi pada orang lain, tentang trauma masa lalu, dan tentang masa depan dan nilai hidup yang ingin saya bangun.

Membaca tulisannya membuatku ingin bersuara dan memberi saran. Bahwa kekhawatiran itu ada karena ia menunggu orang lain, yang nama, rupa dan keberadaannya tidak ia ketahui. Yang kapan dan dimana mereka akan bertemu juga tidak diketahui. Itu yang pertama.

Kedua, apakah ia nanti bisa benar-benar berbagi semuanya, seperti yang ia inginkan? Atau akan ada proses menunggu lagi, karena tidak mudah membuka diri dan bercerita tentang semua, pasti ada step-stepnya, waktu adaptasi, dll.

Ketimbang menunggu sesuatu yang tidak pasti, dan khawatir sendiri, aku ingin memberinya saran mulai bercerita saja. Lewat tulisan. Ia bisa membuat surat dan bercerita tentang hal tersebut. Nanti, jika ia menemukan teman hidupnya, ia bisa menyerahkan surat tersebut satu per satu.

Karena bagiku, menyimpan semuanya sendiri itu tidak baik. Manusia membutuhkan ruang untuk bercerita. Kalau ia tidak bisa, atau tidak mau bercerita pada sembarang orang, ia harus bisa bercerita pada lembaran kertas, dan file-file dokumen. Dengan begitu kepalanya tidak akan cepat berat, dan dadanya akan lebih lapang. Karena hal-hal yang disimpan sendiri, akan mengendap dan bisa menjadi 'penyakit'.

***

Tapi tahukah? Sebelum sempat aku menuliskan saranku, sebelum kuberanikan diriku untuk bersuara, ia menulis sebuah postingan lagi di blognya. Sebuah tulisan yang membuatku tersenyum lega. Tenyata ia tidak semata-mata bergantung pada datangnya teman hidup seperti kondisi ideal yang ia inginkan. Ia menuliskannya... tentang trauma masa lalunya, tentang perasaannya saat itu dan perasaannya sekarang.

Pasti tidak mudah. Tapi ia menuliskannya. Dan aku bersyukur bisa membacanya dalam diam.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya