Follow Me

Thursday, July 9, 2020

The Hands of A Beggar

Bismillah.

-Muhasabah Diri-

Pernahkah kau menyentuh tangan seorang pengemis? Biasanya kita hanya memberi uang receh, tanpa benar-benar menyentuh tangan pengemis tersebut. Meletakkan uang di plastik kresek, atau gelas plastik yang mereka bawa.

***


Tangan kita adalah salah satu indra yang menyimpan memori. Indra yang aktif untuk membantu kita mengenali benda tanpa perlu melihat. Kita bisa mengenal bentuk, tekstur, suhu, kepadatan, dan banyak informasi lain dari indra peraba tersebut.

Aku tidak akan bicara dari segi sains, aku hanya ingin berita tentang tangan seorang pengemis. Aku menyentuhnya secara tidak sengaja, hanya beberapa detik, tapi yang sekejap itu masih melekat di memori, menggerakkan hati dan jemariku untuk menuliskannya.

***

Ada dua pengemis buta yang beberapa kali lewat di depan kios kecil kami. Sepertinya suami istri. Berbeda dengan pengemis lain yang bajunya kusam dan tampilannya kotor. Mereka berdua termasuk rapi dan terlihat bersih. Sang suami biasanya jalan di depan sang istri. Sang istri mengikuti dengan membawa kantong kresek hitam. Oh ya, sang istri mengenakan kerudung.

Jalanan antar kios baju di pasar termasuk sempit. Mungkin sekitar setengah meter, atau lebih. Normalnya satu orang saja yang bisa berjalan, tidak bisa berdua bersebelahan. Atau bisa sih, tapi sulit. Apalagi terkadang ada orang lain yang hendak lewat dari arah yang berbeda. Belum lagi, dagangan baju, rok, celana yang memenuhi sisi-sisi jalan.

Setiap mereka berjalan, aku tidak bisa tidak memperhatikan mereka. Sang bapak yang di depan dengan tongkatnya. Sang ibu, berjalan tanpa tongkat. Tangannya meraba awang-awang, memastikan ia tidak menabrak dagangan atau tiang, tembok.

Hari itu, aku melihat mereka hendak melintas lagi. Malu sebenarnya mengakuinya, tapi entah sejak kapan aku termasuk yang apatis terhadap pengemis. Mungkin aku termasuk yang sering menolak memberi jika ada pengemis. Berbeda dengan ibu dan ayahku. Tapi hari itu aku memutuskan untuk memberi sekeping uang. Kumasukkan ke tas kresek hitam yang dipegang sang istri. Kepingan itu masuk tanpa suara. Aku hendak fokus lagi dengan hal lain, tapi tanganku tanpa sengaja menyentuh tangannya.

Tangan ibu pengemis buta itu dingin. Lebih dingin dari suhu jemariku. Sentuhan yang sebentar itu membuatnya berhenti, ia menyadari keberadaanku. Aku saat itu hanya berkata pelan, "sudah bu". Memberi isyarat agar ia bisa lanjut berjalan. Ku lihat suami ibu itu sudah berjalan lumayan jauh. Aku takut mereka terpisah. Keduanya tidak bisa melihat.

***

Dua pengemis itu sudah pergi, aku masih terduduk memikirkan tangannya. Hari itu baru menyadari bahwa ada cacat di tangannya. Hari itu aku menyadari bahwa tangannya bersih dan dingin. Hari itu membuatku sadar, bahwa aku perlu mengubah persepsiku tentang pengemis, bahwa aku tidak boleh apatis pada mereka.

Apa ceritanya sudah selesai? Aku juga pikir sudah selesai. Tapi belum ternyata. Qadarullah, siang itu aku bertemu lagi ibu pengemis itu. Duduk di lantai masjid tempat aku biasa shalat dzuhur. Mungkin sedang menunggu suaminya yang sedang shalat di area shalat laki-laki. Aku melihat tangannya meraba-raba lantai yang lebih dingin dari suhu tangannya. Merasakan jeda antar keramik, juga penanda dari lakban hitam yang beberapa waktu lalu dipasang sejak masuk fase new normal.

***

Sampai kemarin aku belum melihat kedua pengemis itu lagi, hanya reka ulang kejadian hari itu masih lekat di kepala.

Lewat kejadian itu, aku ingin bertanya pada diri... would you sent your warmth to the coldness in the hands of a beggar?

Sungguh, bukan mereka yang membutuhkan kita. Justru kita yang membutuhkan mereka.

"When you help someone, you are not honouring them; they are honouring you. You've helped them only in the dunya, which is nothing to Allah, but they have help you in akhirah, which is everything." - Nouman Ali Khan

Allahua'lam.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya