color paint (Photo by David Pisnoy on Unsplash) |
Baca bagian pertamanya, Juni, Bulan Kampanye LGBT
Lalu, jika kita memilih tidak setuju, apa artinya kita akan membenci dan mengucilkan mereka yang tenggelam di dalamnya?
***
Ini yang sering orang-orang anggap bias. Seolah ketika kita memilih sikap untuk menentang LGBT, tidak setuju dan menolaknya, seolah artinya kita akan bersikap semena-mena pada mereka yang tenggelam di dalamnya.
Menulis ini aku teringat dua hal, yang aku temui saat di Bandung.
Pertama, saat hadir sebuah kajian, dan mengisi adalah ustadz yang pernah mencicipi gelapnya hal tersebut. Ustadz tersebut, dulu salah seorang laki-laki yang pernah menyukai sesama jenis. Namun ia bangkit dan berhijrah. Aku tidak ingat persisnya, apa acara tersebut diadakan untuk umum, di ruang utama/selasar paving block salman, atau... acara tersebut ada di acara KISMIS (Kamis Inspirasi) di sekre Aksara Salman. Yang aku ingat, sedikit penjelasan jalan hijrah ustadz tersebut. Dan pernah tenggelam, bukan berarti akhir cerita. Seharusnya tidak menjadi alasan untuk berdiam diri. Karena sebenarnya pada setiap penyakit, Allah menyediakan obatnya.
Yang kedua, pengamen waria yang biasa bernyanyi di jalan gelap nyawang. Setiap kali berpapasan, aku selalu berusaha mengingatkan diri, bahwa ada cerita dibalik sosok mereka. Mengapa mereka memilih berpakaian seperti itu. Kejadian penuh luka, yang membuat mereka mencari uang seperti itu. Awalnya mereka korban dari kezaliman, lalu mereka merasa tidak bisa memilih, akhirnya pasrah untuk tenggelam dalam gelapnya hal tersebut.
Aku juga teringat sebuah video viral, tentang seseorang yang memilih menjadi laki-laki lagi, setelah sebelumnya selalu menutupi diri dengan topeng dan nama perempuan. Dari sana kita belajar, bahwa yang mereka butuhkan bukan justifikasi, atau penghakiman, atau telunjuk, dan tatapan sinis. Tidak mudah memang, tapi kalau kita bisa mengambil sikap yang benar untuk mereka yang tenggelam, mungkin akan terjadi perubahan menjadi lebih baik. Bukan cuma pada diri mereka, tapi juga pada diri kita.
***
Sebenarnya, untuk masalah mengambil sikap pada yang tenggelam di dalamnya, aku cuma bisa berteori. Aku belum pernah secara langsung inisiatif berinteraksi, dan mengajak diskusi. Aku cuma yakin, bahwa seperti Allah yang mengirimkan Luth untuk mengingatkan kaumnya, sebelum adzab itu turun karena kaumnya menolak dan mendustakan peringatan tersebut. Seperti itu pula kita seharusnya. Bukan langsung menjustifikasi. Harus ada pengingat yang disampaikan, dengan hikmah, dengan kasih sayang. Bukan kecaman karena kebencian.
***
Bulan juni ini, katanya bulan kampanye. Maka ketimbang sekedang menjadi penonton yang dijejali "pelangi" oleh mereka, bagaimana jika kita juga menjawab kampanye mereka? Tell them our side of story, our choice, our value.
Jangan sampai karena kita diam, banyak yang terbawa arus informasi dan opini, bahwa seolah-olah kampanye 'pelangi' yang mereka gemakan itu baik. Padahal kenyataannya justru sebaliknya.
Allahua'lam bishowab.
***
Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya