#fiksi
"Sendiri saja?" pertanyaan itu berulang ia dengar. Awalnya ia kira cuma sebuah ekspresi keheranan, karena di sebuah toko yang lumayan luas, hanya ada dirinya, mengurus ini itu, sendiri. Jika pelanggan yang hadir lebih dari dua orang, bisa dipastikan ia kewalahan.
"Sendiri saja?" pertanyaan itu kini bernada iba. Kasihan, kok sendirian. "Tidak takut?" ucap orang asing yang lewat dan melihat kesendiriannya. Ia hanya menggeleng percaya diri. Langit memang sudah sore, nyala mentari sudah mulai meredup, siap berganti malam. Sekitar dua ratus meter, ada sebuah pemakaman, sebelum toko itu dibangun tanah itu dulu kebun yang menakutkan. Ada desas desus penampakan yang sering membuat pejalan kaki memilih memutar rute. Tapi ia bukan seorang penakut. Ia tahu, setan yang lebih menakutkan bukan yang menampakkan diri dengan rupa buruk dan menyerupai penggalan tubuh manusia. Setan yang lebih menakutkan adalah yang tersembunyi dan mengalir dalam nadi manusia, mengajaknya untuk bergelimang dalam dosa.
"Sendirian saja?" kali ini pertanyaan itu ia abaikan keberadaannya. Seolah hanya angin lewat. Tanpa ia sadari, pertanyaan itu bentuk sinyal 'kesempatan' bahwa modus kejahatan. Hari itu, ia seolah diingatkan agar tidak bermudah menjawab iya, saat pertanyaan itu hadir. Yang terjadi sudah terjadi. Beruntung Allah masih melindungi keselamatannya. Yang hilang, hanya materi yang tidak seberapa dibandingkan nyawa seorang manusia.
Setelah hari itu, ia berpesan pada dirinya. Jika ada yang bertanya, "Sendirian saja?" ia harus menjawab tidak. Bukan berbohong. Tapi sebuah teknik defensif. Lagi pula, ia memang sebenarnya tidak pernah benar-benar sendiri. Ada Allah yang dekat, dan Maha Melihat. Ada dua malaikat yang mencatat setiap yang ia lakukan. Baik dan buruk. Kecil dan besar.
The End.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya