Follow Me

Wednesday, June 12, 2019

Keep A Distance

Bismillah.

#banyakcurhat #gakpenting #skipajaplis

Sebuah ajakan bertemu masuk, di grup kelas. Tempatnya tidak jauh. Waktunya memang malam sih, habis magrib. Memang ada saudara dari Jakarta yang sedang dalam perjalanan ke rumah. Tapi seharusnya, aku bisa saja hadir, sekedar menyambung silaturahim meski sebentar. Tapi aku diam saja, hanya menyimak dalam diam. Sembari bertanya-tanya pada diri, mengapa aku memilih tidak memenuhi ajakan itu.

Karena 'status'? Rasanya tidak. Karena pertanyaan 'mengapa' yang mungkin dilontarkan? Sepertinya bukan tidak. Toh sebelum-sebelumnya sudah pernah berada di situasi yang mirip. Dan, biasa-biasa saja.

Atau karena aku merasa tidak ada yang 'dekat'? Mungkin...

Lalu aku bertanya-tanya, tentang sahabat, mengapa jumlahnya cuma sedikit. Padahal di masa itu, sepertinya semua kenal dan dekat. Lalu aku membaca tentang character development. Jadi menengok ke masa lalu. Sepertinya aku tahu. Karena aku yang menjaga jarak. I keep a distance. *Bener ga sih bahasa inggrisnya? hehehe. Jaga jarak lebih tepatnya. Entah yang bener bahasa inggrisnya keep a distance atau apa. Mungkin kapan-kapan bisa dibahas di New Leaf hehe.

Momen itu jadi pengingatku, tentang pandanganku terhadap kata teman. Bagaimana orang lain mungkin tulus, namun aku memilih untuk berjarak. Hasilnya? Hanya ada beberapa teman yang masih keep contact, selebihnya, mungkin mereka menganggapku ga asik, atau terlalu berjarak, atau memang tidak bisa berbaur. Atau mereka tidak pernah berpikir begitu, mereka hanya mengira aku sibuk, jadi jarang bisa hadir.

***


Beberapa setelah itu aku merasa 'kesepian'. When I look back, rasanya aku memang seorang outlier, outsider, angka ganjil, whatever it is called. Aku ingat lagi memori, sejak kapan aku menjaga jarak. Aku ingat, saat aku 'menuliskan' di otakku, bahwa teman-teman yang main sama aku, yang ketawa dan asik ngobrol di depanku, bisa jadi sedang menyembunyikan pisau dan siap menyerangku dari belakang. Pemikiran bahwa pada akhirnya, it was all fake. Ya, mereka nggak menjauhiku layaknya drama sekolah yang membahas pengucilan salah satu siswa. Mereka bahkan yang mendekatiku, meski aku menjaga jarak. Tapi ada udang dibaliknya. 

Lalu, lewat rencana-Nya, aku menemukan buku diary lawasku. Aku kira isinya hanya diary saat SD. Tapi ternyata, sebagiannya aku isi juga saat sudah lulus SD.


Aku membacanya loncat-loncat, ga berurutan. Geli sendiri, sebel karena tulisannya alay jadi susah dibaca, juga geleng-geleng kepala karena banyak bahas tentang cinta. Wkwkwk. "Dasar anak kecil, tau apa kamu tentang cinta nak."

***

Tertulis di bagian atas, tanggal 3 September *tahunnya rahasia hehe. It's Ramadhan and I talk about my new class. Kelas baru setelah kenaikan. Ada angka-angka dan aku banyak skip, ga baca. Sampai nomer ke 5. Sebuah kalimat ditulis dengan font lebih besar. Tamen bian le. Bahasa mandarin yang diromanisasi. Dari situ aku baca sampai bagian terakhir. Baru kemudian membaca nomer 4, 3, lalu poin 2.

Lalu pertanyaanku tentang perasaan enggan memenuhi ajakan bertemu seolah menemukan jawabannya. Aku menangis, sembari membaca memori lama yang kutulis dengan bahasa hiperbol. Setelah puas berempati dan simpati pada diriku di masa lalu, aku bertanya-tanya pada diri. Apa boleh ya, diary jadi jalan kita mengingat hal buruk yang dilakuin orang lain? Apa ini artinya, aku bukan orang yang pemaaf, karena hal 'kecil' masih aku catet, dan membacanya masih membuatku menangis. Serta menjadi pembenaran, dan pengusir perasaan kesepian. Kalau sebelumnya, aku merasa bersalah, karena aku yang menjaga jarak. Tapi membaca tulisan itu, aku jadi merasa benar, mungkin memang baiknya aku tidak datang hari itu. Mungkin itu sebabnya, seolah aku selama ini sendiri, dan pertemanan yang dulu manis, kini terasa hambar. Karena memang manisnya hanya di permukaan saja.

***

Entah hikmah apa yang ingin Allah titipkan. Aku yakin Allah tidak menginginkan aku untuk mengingat-ingat hal buruk dan membuatku makin menjauh dari teman-teman yang bisa jadi lebih baik dari pada diriku di mata-Nya. Bukan itu.

Apa mungkin, Allah ingin aku mengeja ulang definisi teman, dan agar aku belajar menyusun kembali kepercayaan (trust issue) yang hancur saat itu? Seolah Allah tahu aku sudah lebih dewasa, aku bisa melihat dari sudut pandang yang lebih luas. Bahwa ada misunderstanding di sana, bahwa saat itu aku buru-buru terbawa emosi, tanpa mau berusaha terlebih dahulu untuk mengerti keseluruhan situasinya. Dan bahwa hal kecil itu, seharusnya tidak membuatku keep a distance pada semua orang.

Menulis ini mengingatkanku pada sesi konseling di sebuah bangunan di selatan GKU Timur. Seorang ibu dengan rambut abu-abu yang melepas kaca matanya agar bisa menghapus air mata saat mendengarkan kisahku. Pesannya padaku, bahwa aku harus belajar mempercayai orang lain, karena itu penting untukku melanjutkan hidup. Ketulusan hatinya sampai ke hatiku. Pesan itu tidak masuk telinga kanan dan terlupakan. Kata-kata baik itu masuk ke hatiku, dan mungkin Allah ingin mengingatkanku lagi tentang ini. Bahwa aku harus memastikan, aku sudah menyelesaikan hal penting tersebut, sebelum aku memasuki fase kehidupan selanjutnya. *tiba-tiba otakku memunculkan lirik ost dragonball, kehidupan kedua wkwkwk.

***

Panjang ya? Ada yang berhasil baca sampai selesai tanpa skip? Hehe. I wish nobody did that but myself. Tapi.. just in case ada.. *please bell, jangan campur-campur bahasanya, kamu bukan orang jaksel wkwkwk.

Ini ada sedikit kutipan dari buku Madarijus Salikin, meski ga nyambung semoga ini sedikit memberi 'makna' atas terbuangnya waktumu membaca tulisan ini.

....seperti yang dikatakan Al-Hasan atau selainnya, "Zuhud di dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta, tetapi engkau lebih meyakini apa yang ada di Tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika ada musibah yang menimpamu, maka pahala atas musibah itu lebih engkau sukai daripada engkau tidak ditimpa musibah sama sekali."
Good night~

Allahua'lam. 

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya