Jarang-jarang nulis tentang ini. Tapi sementara, tulis dulu saja, publish pun tak mengapa, nanti... bisa dibalikin lagi ke draft.
***
Berawal dari akhir ramadhan, saat aku seharusnya berusaha fokus meraih kemuliaan 10 hari terakhir. Ada rasa yang menelisik di hati, perasaan rindu? Entahlah. Mungkin lebih tepatnya perasaan seolah ada yang hilang, ada yang hendak hilang.
Kemudian Ramadhan berakhir. Rasa rindunya sudah memudar. Berganti dengan perasaan lain. Perasaan biru karena merasa harus melepaskan sesuatu, sesuatu yang sedari awal sebenarnya belum pernah ada di tanganku. Seolah mungkin memang sudah saatnya melepaskannya. Bahwa rasa yang dulu pernah berubah warna berkali-kali, ternyata cuma seperti sfi yang lain.
Aku merasa harus melepaskannya. Karena saat merunut ulang tulisan-tulisan, aku menemukan kejelasan, mana yang fakta, dan mana yang fiksi.
Padahal tidak ada yang berubah. Aku masih tetap sama, di sini, dalam diam dan jarakku. Tapi mengapa rasanya, aku benar-benar harus melepaskannya? Padahal wujudnya tidak berada di tanganku, tapi mengapa aku merasa harus mengirimnya jauh sebelum benar-benar merasakan hadirnya?
Padahal sedari dulu sudah tahu, tapi mengapa sekarang merasa berat?
Ada dua kata, dan ide-ide aneh terkaitnya, tapi aku cuma bisa maju sedikit, untuk kemudian berhenti. Karena aku paham, aku cuma bisa melangkah sampai di sini, bahwa aku tidak akan pernah melalui garis, dan merekatkan jarak yang terbentang. Karena seperti judul tulisan ini, kesimpulan yang kuambil adalah melepaskan, bukan sebaliknya.
Terakhir, saat menulis ini, bukan berarti aku sudah melepaskan. Tulisan ini hanya sebuah bukti, akan perasaan biru dan juga usahaku untuk melepaskan.
PS: Aku kira aku akan menuliskannya lebih gamblang, tapi ternyata aku kembali mengabstrak. Maybe because the feeling is originally abstract, like... how can I say goodbye to the things that never been there?
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya