Bismillah..
Seorang akhawat bertanya dengan kesal. "Ini mau sampai jam berapa?"
"Rapatnya", tambahnya memperjelas.
Wajahnya kusut, ia mendengus kesal sembari menekan tuts keyboard hingga bersuara cukup keras. Yang ditanya (seorang ikhwan), dengan selow menjawab sekenanya. Ia tidak menangkap nada kekesalan dari pertanyaan si akhawat.
"sampai jam 9 aj
memang mau ad acra
?"
Akhawat tadi mendengus kesal. "Bukan itu!!" Teriaknya dalam hati. Diliriknya jam di layar komputernya, 20.35. Sudah setengah jam lebih ia terpaksa harus chat berdua dengan seorang ikhwan. Hatinya menangis, ia tidak suka keadaan seperti ini. Ia tidak tahu harus menyalahkan siapa, atau apa. Yang ia tahu, ia tidak suka harus berkhalwat dengan seorang ikhwan. Meski itu untuk membahas LPJ divisinya. Meski itu via dunia maya.
***
Sejak awal, ia sudah mencoba mengutarakan isi hatinya. Bahwa ia tidak suka berada di sana. Berada di sebuah tim kecil yang berisi 8 orang. Bukan. Bukan karena pekerjaan yang menuntut ia setiap hari menatap layar komputer. Bukan. Tapi karena kejadian serupa di atas, acap kali terjadi.
Akhawat tadi kini membiarkan bulir hangat itu mengalir membasahi wajahnya. "Biarlah, toh mereka tak melihatnya." hiburnya dalam hati. Sekali lagi, untuk ke sekian kali.. grup chat yang berisi 8 orang itu, yang dominan muncul.. justru namanya. Ia tahu ia sedang melukai dirinya sendiri. Tapi sungguh, bukankah egois jika ia memilih untuk diam, di saat yang lain tidak ada yang bersuara?
Taktaktak. Satu demi satu poin-poin yang harus diisi di LPJ ia coba uraikan. Sesekali ia melihat ke arah jam di layar komputernya. Sebentar lagi. "Sebentar lagi selesai." Hiburnya lagi.
ke depannya tim kita brp org sih?
Rasa sesak di dadanya akhirnya muncul lewat pertanyaan simpel yang sungguh, sama sekali tidak nyambung dengan bahasan percakapan saat itu. Sungguh, ia ingin sekali tetap berada di sana. Tapi luka ini sudah terlampau perih untuk kembali dilukai.
"Ijinkan aku pergi teh," ucapnya lirih. Berharap korwatnya memaklumi keputusannya. Ia tahu ia egois. Karena toh bisa jadi semester depan kondisinya tak seperti sekarang.
"Ijinkan aku pergi," ucapnya lirih. Jika saja orang lain mendengar kisahnya. Mungkin mereka hanya akan tertawa, atau tersenyum tipis, atau tidak ambil peduli. Kemudian berucap, "ah ia hanya bercanda". Mereka tidak tahu, keinginan itu sudah cukup bulat untuk akhirnya di ambil. keputusan itu, sudah cukup matang untuk kemudian disantap.
***
#fiksiku
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya