Follow Me

Wednesday, November 1, 2017

Coba Tebak!

Bismillah.
#fiksi

"Coba tebak!" katamu, menyodorkan sebuah kertas.
"Yang mana, yang lebih mirip aku," jelasnya pendek, kemudian berlalu dan mengucapkan kata-kata yang sama dan membagikan kertas yang sama ke orang lain.

***

Kertas tersebut berisi dua tulisan narasi yang yang bersebelahan. Aku yang tadinya memandang kertas dalam orientasi potrait, segera menggeser kertas ke orentasi landscape.

Kupandangi narasi pertama, dengan persegi bergaris biru membatasi luar tulisan narasi sebelah kiri. Ya, aku tinggal di negara, yang terbiasa membaca tulisan dari kiri ke kanan, kebanyakan negara seperti itu, kecuali sebagian lain. 
Aku sering berada di keramaian, saat di keramaian aku merasa lebih aman. Setidaknya, aku tidak bermaksiat kepada Allah dalam sunyi sendiriku. Aku lebih merasa aman, adzan yang terdengar saat aku di luar rumah, somehow membuat langkahku lebih ringan ke masjid terdekat ketimbang saat aku di rumah saja dan tidak beraktivitas di luar. Oh ya, merasa aman sebenarnya tidak sama dengan merasa nyaman. Meski aku aman lebih banyak di luar dan berinteraksi dengan banyak orang, aku tidak merasa nyaman. Aku seorang introvert

Kubaca narasi kedua, alias narasi disebelah kanan, dengan garis berwarna merah yang membatasinya, bentuknya bukan persegi, persegi yang ujungnya tidak lancip.

Aku sering menyendiri, berada di rumah, jauh dari keramaian, itu semua membuatku merasa aman. Setidaknya, aku tidak bermaksiat kepada Allah dalam ramai riuh kebanyakan orang. Aku lebih merasa aman, adzan yang terdengar saat aku di dalam rumah, somehow membuat langkahku lebih ringan ke masjid terdekat ketimbang saat aku bersama banyak orang, aku lebih sering menunda dan larut pada aktivitas. Oh ya, merasa aman sebenarnya tidak sama dengan merasa nyaman. Meski aku aman lebih banyak di dalam rumah menyendiri dalam sunyi, sebenarnya aku tidak merasa nyaman. Aku seorang extrovert

"Udah beres baca? Gimana? Tebak aku yang mana? Merah atau biru? Biru atau merah?" aku tersenyum mendengar kalimat tanyanya. Kamu memang mengenalku, tahu bahwa aku visual, sensitif terhadap warna dan bentuk yang terlihat di selembar kertas tersebut.

"Atau ada yang bingung dari kedua tulisan itu? Ada yang mau ditanya?" tanyamu lagi, karena aku justru tersenyum dan bukannya menjawab pertanyaan pertamamu.

"Sulit milih salah satu, ga bisa nebak aku. Kamu tuh... salah satu orang yang ga mudah ditebak," ucapku. Kau mengerucutkan bibirmu, mungkin karena kalimat yang kupakai terdengar seperti gombal atau kalimat 'modus'. Kamu berlalu, bertanya ke yang lain, untuk menebak, yang mana yang lebih pas untukmu, yang mana yang lebih mirip kamu.

Kudengar respon orang lain terhadap pertanyaan tebakkan yang unik darimu, mereka bertanya ini survei atau dalam rangka apa, ada juga yang tanya tentang nama font yang kamu pakai. Aku mencari pena di meja kerjaku, membalik kertas yang kamu berikan tadi, dan menuliskan pendapatku, tebakanku.

*** 

"Ini," aku menyerahkan kertas itu kepadamu saat hendak pulang. Kamu menyernyitkan dahi melihat panjangnya tulisanku, tulisan tanganku yang tidak indah dibaca.

"Gak bisa ya? Tebak salah satu aja? Aku ga minta penjelasan kok." ucapmu memintaku memberikan jawaban yang lebih to the point.

"Tebakanku ada dua. Mungkin kamu dua-duanya. Atau bahkan bukan dua-duanya," ucapku. Raut wajahmu menggambarkan kekesalanmu, karena jawabanku aneh dan tidak sesuai yang ia minta.

"Baca aja, kalau mau tau penjelasannya," tangkasku kemudian meninggalkanmu yang mungkin akan semalam suntuk mencoba membaca tulisanku yang acak adut. Aku tersenyum, merasa puas karena sudah membuatmu 'marah'.

***

words on paper (from unsplash)

Tebakanku: dua-duanya kamu. Kamu yang introvert, yang sering memaksa dirimu ikut organisasi ini itu, untuk terjaga ibadahmu, dan juga terjaga dari maksiat dalam sunyi. Tebakanku, dua-duanya kamu. Kamu yang ekstrovert, yang sering memaksa dirimu menyendiri di sudut kamar, untuk terjaganya ibadahmu dan juga terjaga dari maksiat dalam ramai. Ya, dua-duanya kamu, yang ambivert. Mungkin kamu bingung, bagaimana caranya, agar saat dirimu introvert, kamu bisa menikmati kesendirianmu, dalam ibadah yang terjaga, dan maksiat yang terhindar. Ya, dua-duanya kamu, yang ambivert. Mungkin kamu bingung, bagaimana caranya, agar saat dirimu extrovert, kamu bisa menikmati kebersamaanmu dengan ramai, dalam ibadah yang terjaga, dan maksiat yang terhindar.

Tebakanku: dua-duanya bukan kamu. Kamu seorang introvert, yang bisa menyendiri dari sunyi, namun ibadahmu tetap terjaga, juga tetap terhindar dari maksiat. Jadi deskripsi merah bukan kamu. dua-duanya bukan kamu. Kamu seorang extrovert, yang bisa membersamai keramaian, namun ibadahmu tetap terjaga, juga tetap terhindar dari maksiat. Bahkan kamu bisa mengajak yang lain beramal kebajikan juga mencegah kemungkaran. Jadi deskripsi biru bukan kamu. Dua-duanya bukan kamu.

Tebakanku: mungkin dua deskripsi itu justru bisa jadi tentangku. Kamu pasti marah membaca ini, mengira diriku kePD-an hehe. Bukan itu, aku bukan menuduhmu menulis tentang diriku. Aku sedang memujimu, bagaimana seorang penulis yang baik itu, yang bisa menulis hal-hal yang mengena di hati. Yang membuat pembaca bergumam pelan, "kok ini aku banget sih". Terimakasih tebak-tebakan uniknya siang ini. J

The End.

***

PS: Termotivasi menulis ini, teringat materi menulis prosa yang semalam dibagikan oleh Mba Dian di grup Serdadu Aksara. Ini quotes yang saya suka dari beliau, tentang pentingnya keseimbangan dialog dan narasi, satu hal yang masih harus aku pelajari lagi dan lagi.
"....seimbang antara narasi dan dialog. Kalau kebanyakan narasi, orang bisa bosan. Kalau kebanyakan dialog, orang akan lebih sulit merasakan situasi secara keseluruhan." -Dian Yuni Pratiwi
PPS: Sebenarnya masih bingung, mau nulis bahasan ini di fiksi atau di non fiksi. Ada banyak yang harus dibahas, yang ga bisa digambarkan di fiksi. Sementara fiksi dulu, nanti.. kalau aku merasa masih perlu nulis lagi tentang ini, mungkin aku buat bahasan non fiksi-nya juga.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya