masker aneka warna |
Ini cerita tentang aku, bell's palsy dan masker.
***
Berawal sejak tanggal dua belas Agustus lalu. Terhitung tepat dua bulan karena sekarang 12 Oktober 2014.
Sore di tanggal tersebut, Allah menakdirkan aku untuk terjatuh dari motor. Ujung gamis ku terpaut dan terpelintir ke dalam rantai motor, sedangkan adikku sedang mengendarai motor dengan cepat. Aku jatuh terguling, bagian gamis yang terpelintir akhirnya robek. Entah berapa putaran aku tergelincir, yang jelas kepalaku terbentur keras hingga helm yang kukenakan retak.
Singkat cerita, dari kejadian tadi aku mengalami dua hal : (1) Telinga kananku berdarah, karena pendarahan yang terjadi di kepala bagian belakang terlingan (2) Bell's Palsy, wajah sebelah kananku tidak dapat merespon secara normal. Baca lebih lengkap tentang Bell's Palsy disini.
Namun dari kejadian tadi, aku memetik dua syukur juga :
(1) Helm yang tidak ku kunci qadarullah tetap terpasang di kepala ku sehingga benturan keras tidak menghancurkan tulang tengkorak ku, namun membuat helm tadi retak dan menganga.
(2) Jalan yang merupakan tempatku terguling saat itu tidak ramai. Sehingga qadarullah aku tidak tertabrak motor/mobil atau apa pun setelahnya.
***
Tentang Bell's Palsy, yang satu ini tidak terdeteksi di awal. Meski H+1 kejadian mamah dan mba ita menanyakan mengapa saat aku berbicara bibirku miring ke kiri. Aku pikir, itu karena saat itu aku sedang sariawan dua lingkaran tepat di tengah bibir bawah. Semua orang dirumah percaya dengan alibiku, sampai akhirnya mbah menolak alasanku. "Bukan, itu pasti bukan karena sariawan", kira-kira begitu sanggahnya saat aku hendak pamit ke Bandung (17/8).
Singkat cerita, aku mulai pakai masker, periksa ke dokter dan mendapat obat. Karena harus menetap di Bandung mengingat kuliah sudah mulai, fisioterapi di Bandung dan aku menikmati hari-hari ber-masker di Bandung.
Memakai masker adalah salah satu anjuran dari Mba (lupa namanya *maaf) di Fisioterapi Bumi Medika Ganesha. Sebenarnya ada satu saran lagi, menggunakan kacamata, namun aku langsung menolak. Selama menggunakan masker banyak teman-teman yang heran, namun tidak banyak yang memberanikan diri berbicara. Beberapa mengira aku sedang berlatih memakai cadar. Deep inside my heart.. "Iya pengen juga... tapi belum diizinin..". Itulah mengapa setiap temanku bertanya, "nanti kalau udah sembuh dibuka Bell?", aku menjawab dengan anggukan. Bagiku, saat ini perintah orang tua masih yang pertama. Apalagi, aku termasuk yang memegang pendapat bahwa mengenakan niqab/cadar itu sunnah.
Hari berlalu. Aku begitu nyaman menggunakan masker. Di kelas, dosen tidak ada yang sinis atau melarang. Di saat rapat organisasi atau kegiatan unit, rasanya nyaman that they don't see my face, senang karena mengurangi non-mahram untuk mengenali wajahku di kepanitiaan dengan beberapa wajah baru. Jujur merasa sangat aman dan nyaman, walau ini belum ada apa-apanya dibanding cadar.
Satu pekan sebelum Idul Adha, Allah memberikan jawaban doa orangtua dan keluargaku. Wajahku terlihat normal, mataku sudah bisa menutup sempurna, saat tersenyum bibir kananku juga naik mengimbangi yang kiri. Namun saat itu, aku belum mau melepas masker. Aku hanya melepas masker saat diajak makan bersama. Agak ribet jika tetap menggunakan masker saat makan.
"Kenapa belum dilepas Bell? Kan udah ga keliatan?" tanya seorang teman. Karena...
**bersambung **to be continued
***
Allahua'lam bishowab. Maha Suci Allah.. Segala Puji Hanya Milik Allah. Dan Hanya Allah yang dapat membolak-balik hati manusia.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya