Follow Me

Saturday, February 3, 2018

I Don't Believe People

Bismillah.
#fiksi


"Aku ga percaya sama manusia, Ri" ucapnya padaku. Kalimat dengan nada serius itu, kutampik dengan kalimat bercanda, semoga bisa sedikit menghangatkan suasana yang seolah beku karena keseriusan Yana.

"Bagus dong Yan, kita mah harus percaya sama Allah aja", mungkin pilihan kataku yang salah, padahal nada sudah aku buat secair mungkin. Yana mengangguk pelan dan tersenyum tipis. Seolah responku bermakna serius. Ya, meski bener sih.

"Kenapa emang Yan?" ucapku, setengah hati aku mengikuti suhu beku-nya Yana.

"Rianti..", suara Yana yang memanggil nama depanku membuatku skak mat, aku tidak mungkin mencairkan percakapan ini.

"Orang mungkin bertanya-tanya, apa yang membuat aku ga percaya orang. Trauma apa, pernah ditipu uang berapa banyak emang, sampai segitunya ga percaya orang", ucapnya.

"Trus..?" kata favoritku, kalau aku sudah mati kutu karena keseriusan Yana.

"Padahal aku ga pernah ngalamin yang kaya gitu. Aneh memang. Cuma hal kecil aja padahal, yang terjadi di masa lalu. Tapi aneh, efeknya sampai sekarang. Kalau kata psikolog, harus segera diobatin."

Memoriku teringat, saat Yana curhat pertama kali, tentang pertemuannya dengan seorang Ibu Psikolog di kantornya, yang biasa menyeleksi calon karyawan yang akan bekerja di sana.

"Lo harus belajar percaya sama orang, gimana nanti kalau lo nikah, dan ga bisa percaya sama orang. Nikah itu butuh saling percaya dan komunikasi"

Memoriku berhenti bernostalgia, saat kulihat Yana tersenyum sinis.

"Kenapa?" tanyaku takut, kalau-kalau aku salah sikap.

"Aneh aja diriku Ri.. ngaku ga percaya sama manusia. Ini? Ucapan psikolog dipercaya terus sampai sekarang,"

"Yang kamu percaya bukan orangnya, buktinya Yana ga minta tolong atau bantuan dari psikolog itu. Yang Yana percaya itu ucapannya aja, karena itu fakta, bahwa menikah itu, komunikasi penting, dan saling percaya itu super penting."

"It's different, acknowledge the truth in somebody's speech and trusting that person", jelasku.

"Rianti, why are you so smart?" tanya Yana, entah mengejekku, atau memang serius memujiku.

"I'm not trying to show off my English, sorry", ucapku riang karena suhunya tidak lagi beku, hampir cair.

"Seneng deh, punya temen kaya kamu Ri," ucap Yana ringan. "Gombal," ujarku sembari meninju pelan lengan kiri Yana.

"Ralat. Ga seneng ding," ucap Yana. Aku menurunkan kedua ujung bibirku, merasa kesal juga, karena kalimatnya di ralat.

"Ralat, bukan seneng, tapi bersyukur banget, Allah baik ngirim Rianti ke dunia buat jadi sahabat Yana yang ga asik," ucapnya, masih ringan.

Aku tersenyum, dalam hati mengakui kalau Yana memang ga asik, terlalu serius. Tapi untukku yang terlalu sering bercanda, Yana adalah sahabat yang baik, yang sering mengingatkanku tentang banyak hal.

"Yana...", ucapku ragu. Yana mengubah ekspresi wajahnya, seolah bertanya kenapa?

"Aku ada deadline laporan nih besok? Bangunin jam 3 ya? Mataku udah berat gini habis dengerin obrolan seriusmu," ucapku kemudian tertawa, naik ke kasur dan menarik selimutku.

Yana menaikkan nada suaranya, mengomel ini itu yang intinya memarahiku karena tidak mengerjakan apa-apa dari sore.

"Wan an", ucapku. Yana menghentikan ocehannya, keluar kamarku dan mematikan lampu kamarku. "Jangan lupa baca doa", ucapnya sembari menutup pintu kamarku.

The End

***
rust? atau faith? atau reliance? ah.. ngoceh apa ini bell. Hide ps-nya ya? ok.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya