Follow Me

Tuesday, February 6, 2018

More Powerful, Than A Mere Small Talk

Bismillah.
#fiksi

"I made a mistakes", ucapmu, tertunduk. Aku melepas earphone di telinga kiriku, menyiapkan kedua telingaku untuk mendengar pengakuannya.

"Aku mengucapkan kalimat yang salah, dan temanku berhenti membalas pesan-pesanku. She pushed me away," jelasmu. Aku menghadapkan badanku ke arahmu, kamu... memandang jauh ke langit yang semakin gelap, mungkin pertanda akan hujan.

"Kalimat apa? Apa kamu yakin, ini bukan prasangkamu saja? Mungkin temanmu cuma butuh waktu untuk sendiri, seperti kamu sering memilih tidak menjawab pesan dariku saat sedang ingin sendiri," kulihat selapis kaca tipis di bola matamu. Kelopak matamu bergetar, berusaha menahan agar air tidak jatuh. Ini memang ruang publik.

"Aku berkata padanya, dosaku mungkin lebih banyak. Hanya saja Allah menutupinya. Aku bilang, aku malu karena seolah aku orang baik, padahal aslinya dalemnya busuk", kamu menengadahkan wajahmu, melihat ke langit-langit. Aku tahu, bukan itu sebenarnya, kamu cuma sedang berusaha agar air matamu ditelan balik lagi, dibantu gravitasi.

Aku menghela nafasku pelan, memandang ke lantai sejenak. Aku kaget saat menemukanmu menghadap ke arahku, tatapan kami beradu, ada ekspresi geram yang kubaca dari wajahmu, dari caramu membungkam rapat bibirmu, wajahmu kaku, seolah menahan amarah. Aku mundur, duduk lebih jauh darimu.

"Jangan pasang muka kaya gitu dong, ngeri" ucapku jujur.

"Aku harus gimana Di?" suaramu lemah, aku salah membaca ekspresi wajahmu. Bukan geram, bukan, tapi ekspresi pias karena prasangkamu benar. Kamu menelungkupkan wajahmu di atas lipatan tangan, di depan laptopmu yang terbuka, namun layarnya hitam, karena sudah mati.

Aku jadi salah tingkah. Kamu mungkin salah mengucap kalimat pada temanmu, tapi aku, salah karena sebuah helaan nafas pendek.

***

Kamu masih menelungkupkan wajahmu, mungkin menangis tanpa suara. Aku berusaha menenangkanmu mengatakan ini itu, tapi sepertinya belum berhasil membuatmu bangkit dari posisi tertutup tersebut.

"Kamu ga tidur kan San?" tanyaku akhirnya, karena rasanya sudah hampir satu jam aku mengoceh sendiri.

Kamu mengangkat kepalamu, menghapus beberapa jejak air di pipimu. Matamu merah, ujung hidungmu merah, kelopak mata dan hidungmu membengkak karena tangis.

"Ada tissue Di?" ucapmu ringan, membuatku panik dan menggeledah tas laptopku. Aku menggeleng, kamu tersenyum, entah karena apa. Mungkin melihatku panik hal yang lucunya baginya. Senyumku tanpa sadar ikut mengembang, karena senyummu meyakinkanku kamu baik-baik saja.

Kamu mengeluarkan tissue dari tasmu, membersihkan sisa-sisa air mata yang tertinggal di rongga hidungmu. Kemudian bertanya padaku, dengan nada begitu tenang, seolah badai telah berhenti di pikiranmu.

"Kamu bener Di, kalimatku salah, tapi yang sudah terucap ga bisa dibalikin. Yang sudah lalu, bahkan satu detik yang lalu, ga bisa diubah dan ga bisa diulang. It's beyond our control," ucapmu, seolah meresume apa yang aku ocehkan selama kurang lebih satu jam.

"Kamu juga bener Di, temenku mungkin butuh space untuk sendiri. Dan mungkin kalimatku bukan satu-satunya alasan dia ga bales pesanku," aku mendengarkan dengan pandangan lembut padamu. Kamu, tentu saja tidak melihat ke arahku, kamu meresume ocehanku, sembari melihat ke luar, yang sudah dihiasi gerimis. Mendungnya benar, pertanda hujan. Bukan pertanda yang lain.

"Jadi... yang bisa aku lakuin sekarang, buat temenku, cuma doa kan Di? Aku ga bisa lagi jadi temen yang dengerin rutinitas harinya, aku ga bisa tanya hari ini dia makan lauk apa, aku ga bisa tanya apa dia baik-baik saja, ga bisa bertukar pesan, cuma bisa satu arah.."

Aku mengikuti arah pandanganmu, melihat orang-orang di luar yang mulai menepi, sebagian membuka payung, sebagian berlari, sebagian menutup kepalanya dengan tangan.


"Ya, doa. Tapi buka 'cuma' San, doa is a powerful thing you do for her right know." ucapku.

"That's right. Doa is actually more powerful than my mere small talk with her", ucapmu. Aku saat itu masih fokus ke warna warni payung yang lewat satu persatu di luar sana. Tidak sadar, kamu saat itu memandangiku sembari berdoa dalam hati, 'Allah... berkahilah hidup orang yang duduk di sampingku ini'

"Hujan Di," ucapmu, aku menoleh karena kalimatmu aneh. Aku jelas tahu kalau sedang hujan, aku melihat dan mendengarnya juga. Mata kami beradu sedetik, mungkin bahkan tidak sampai sedetik, hanya beberapa milidetik, sampai kamu beranjak dan pamit pergi.

"Nitip laptop ya, aku mau doa buat temenku",

"Kenama?", aku salah memilih kata tanya. Maksudku... kenapa kamu harus pergi, kamu kan bisa berdoa di sini, mengangkat tanganmu dan berdoa dalam hati. Maksudku... kemana, kamu mau pergi.

Kamu tertawa kecil karena kesalahanku. Namun tidak berhenti untuk menjawab tanyaku, kamu melangkah saja menjauh, ke arah barat daya. Hujan semakin deras, dan aku terpaku melihat sosokmu mengecil dan semakin kecil.

The End.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya