Follow Me

Saturday, February 3, 2018

Pelajaran dari Tsufuk dan Putri Gading

Bismillah.

Selalu ragu untuk menulis ini. Sebagian hati, ini bersembunyi saja, meski merupakan anggota keluarga (Thifan) Tsufuk dan Putri Gading, saya bukan anggota yang baik. Akhir tahun 2011 mengikuti, namun pelaksanaanya muncul menghilang, tidak terhitung berapa kali berganti pembimbing, karena bandel dan sering bolos latihan. Tapi meski jarang hadir, bandel dan jarang berlatih, ada hal-hal yang membuat saya selalu rindu dan ingin bertahan menjadi anggota keluarga Tsufuk dan Putri Gading.

***

Eksibisi Nasional XV di IPB, Bogor. 25 November 2018. (dokumentasi pribadi Annisa Nurjannah)

Berbasis Keluarga dan Islami

Yang membuat Tsufuk, yang tadinya bernama Thifan Tsufuk, berbeda dengan beladiri lainnya adalah berbasis keluarga dan Islami.

Islami di sini, bukan sekedar latihan dan dipisah perempuan dan laki-laki. Karena jika sekedar tentang dipisah, bahkan beladiri taekwondo atau karate bisa saja buka praktik dengan dipisah. Selain latihan di pisah, seragam yang didesain khusus buat perempuannya, ada hal-hal lain yang membuatku memilih Tsufuk dan Putri Gading. Tsufuk dan Putri Gading mengetahui dan memahami perbedaan fitrah perempuan dan laki-laki, gerakan, jurus yang diajarkan berbeda. Jurus-jurus putri gading lebih banyak menangkis dan bertahan, sesuai dengan fitrahnya. Gerakan beladiri Putri Gading, juga tidak menjadikan badan perempuan jadi kelaki-lakian. Jika mayoritas perempuan yang ikut beladiri tubuhnya jadi lebih macho, cara jalannya jadi tidak seperti perempuan, berbeda dengan putri gading. Gerakan putri gading yang terkesan lembut, namun bisa mematahkan serangan musuh, sesuai dengan fitrah perempuan.

Selain itu, meski pelajaran utamanya adalah latihan beladiri, hadir dan berlatih putri gading/tsufuk juga sering diisi dan diingatkan tentang pentingnya menyeimbangkan gizi ruhani selain berlatih beladiri. Saya beberapa kali diingatkan pembimbing tentang sejarah, kalau orang dulu baru boleh berlatih thifan ketika sudah hafal quran, dan juga diwajibkan menghafal hadits. Pelan, tapi ngena, diingatkan lagi, rajin berlatih beladiri itu baik, tapi coba ingat lagi ibadah kita, interaksi dengan quran, hafalan, dll. Selalu diingatkan bahwa niat harus diperbarui, jika alasan dan niat berlatih Tsufuk dan Putri Gading cuma supaya sehat, ya yang di dapat hanya sehat. Jika alasan dan niat berlatih Tsufuk dan Putri Gading cuma untuk jago-jagoan, ya cuma itu yang di dapat. Diingatkan surat Al Anfal, perintah untuk mempersiapkan diri, baik secara fisik, ilmu maupun ruhani. Niatkan untuk ibadah, memenuhi perintah Allah untuk i'dad.

Selain Islami, Tsufuk dan Putri Gading berbasis keluarga. Kalau ada acara silaturahim, latihan gabungan, eksibisi pasti tidak asing kalau melihat keluarga-keluarga yang semuanya latihan Tsufuk dan Putri Gading. Dua pembimbing saya Teh Rurry dan Teh Erni, berserta suami dan anak-anaknya. Ada yang bertemu di Tsufuk kemudian menikah, ada yang istrinya aktif di Putri Gading, kemudian suaminya diajak latihan Tsufuk, begitu pula sebaliknya. Ada juga yang anaknya berlatih Tsufuk atau Putri Gading, kemudian orangtuanya ikut latihan. Itu juga salah satu hal yang membuat Tsufuk regenerasinya jalan. Pembimbing saya sering cerita bagaimana akhawat-akhawat Putri Gading, banyak yang aktif saat kuliah kemudian gugur setelah menikah. Namun setelah konsep keluarga di jalankan, perlahan mencari pembimbing putri gading tidak sesulit jaman dulu. Sekarang masih sulit sih, namanya juga minoritas, pasti banyak kurangnya. Banyak banget panggilan/kebutuhan pembimbing putri gading di berbagai tempat dan kota. Saya sering malu kalau baca itu di grup, mengingat saya memilih vakum terlalu lama.

Suatu Sore di Lapangan Utara Masjid Pindad

Salah satu kejadian yang masih melekat di otak saya. Ahad sore, jadwal latihan di Masjid Pindad, Kiaracondong. Usai berlatih, diberi waktu untuk istirahat sembari menunggu adzan magrib. Saya menegak beberapa mililiter air putih sembari melihat pemandangan yang unik. Kang Iman (Suami Teh Erni, pembimbing saya) terlihat mengajarkan basic pukulan depan ke anak-anak jalanan. Anak-anak tersebut mungkin usia TK sampai SD, memakai kaos berwarna hitam, kulit mereka yang sering terbakar sinar matahari terlihat lusuh. Tapi wajahnya bersinar, mungkin karena excited diajarkan dasar beladiri. Teh Erni melihat pandangan mataku yang terpaku ke arah utara, kemudian mengucapkan kalimat, yang kurang lebih intinya seperti ini, "anak-anak itu... banyak yang mengantri untuk mengajari mereka," aku mengalihkan pandanganku dari anak-anak jalanan menuju wajah teduh Teh Erni. "Kalau bukan kita yang mengajari mereka tentang islam, mengajari mereka tsufuk, maka orang-orang diluar sana berebut mengajari mereka tentang metal, mengajari narkoba, mengajari hal-hal yang tidak baik". Aku tertegun pada ucapan Teh Erni, juga pada Kang Iman, suami Teh Erni yang sedang mengajari anak-anak tersebut. Pandangan istri suami ini seolah menyatu, mungkin ini bukan pertama kalinya.

Awalnya anak-anak itu berkumpul dan melihat memperhatikan Kang Iman yang mengajar Tsufuk, atau sedang latihan mandiri, saya pribadi lupa, apakah ahad sore Kang Iman hanya mengantar dan menjaga anak-anak, sementara Teh Erni fokus mengajar putri gading. Tapi dari sana, Kang Iman mengajak anak-anak jalanan itu untuk ikut latihan. Pemandangan yang mungkin berbeda dari biasanya. Untuk ikut Tsufuk dan Putri Gading memang ada biaya administrasi dan biaya per bulan, biaya untuk seragam juga, dan memang tidak murah. Tapi pemandangan itu menunjukkan pada saya, bahwa biaya itu jauh-jauh lebih murah harganya, ketimbang pelajaran yang saya dapatkan dari Tsufuk dan Putri Gading. Dari sana, saya tidak cuma mendapatkan bimbingan tentang gerakan pukulan, tendangan, atau jurus. Tapi juga belajar lagi tentang i'dad, tentang keseimbangan raga dan iman, tentang kewajiban kita, untuk membawa dampak yang baik untuk masyarakat. Anak-anak jalanan itu punya hak untuk kita pedulikan. Seharusnya bukan sekedar uang koin yang kita berikan pada mereka TT. Malu menulis ini, saya belum bisa memberikan manfaat apapun pada orang lain. Cuma bisa menulis ini.. sementara cuma ini.

***

Saya bukan anggota Putri Gading yang baik, tapi semoga saya segera bisa aktif lagi menjadi anggota Putri Gading yang baik, bukan sekedar silent reader, bukan memilih diam dan lupa latihan mandiri. Ah... sungguh saya rindu Tsufuk dan Putri Gading, rindu, bukan cuma tentang latihan beladirinya, tapi juga nilai-nilai yang diajarkan selain gerakan pukulan, tendangan dan jurus-jurusnya.

Semoga Allah memberkahi kegiatan Tsufuk dan Putri Gading, semoga Allah membalas dengan balasan yang lebih baik untuk teteh-teteh yang pernah membimbing dan melatih saya. Teh Aya, Teh Rurry, Teh Erni, Teh Syifa, dan nama-nama lain yang tidak bisa disebut satu persatu.

Allahua'lam.

4 comments:

  1. ka.. ikut puteri gading daaerah mana?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dulu di Bandung. Fidah tinggal dmn? Ikut Putri gading juga?

      Delete
  2. Kak untuk putri gading apa dikenai batasan umur?
    Apa untuk smp bisa mengikuti putri gading?

    ReplyDelete

ditunggu komentarnya