Follow Me

Tuesday, March 13, 2018

Formulir

Bismillah.
#fiksi


"Aku kayanya alergi deh sama formulir. Rasanya horror gitu kalau harus ngisi formulir kosong," ucap Zima padaku. Aku mendengus, kesal pada Zima yang terbiasa melebih-lebihkan hal yang biasa.

"Dasar Mister Hiperbol," jawabku pendek. Aku tahu, setelah ini Zima akan menceritakan lengkapnya. Mengapa ia sampai menggunakan istilah alergi, bagian mana yang horror dari mengisi formulir kosong. Ia selalu begitu, Zima yang aku kenal hampir selalu begitu. Ia hampir selalu memulai sesi diskusi kami dengan kalimat nyentrik yang menarik perhatianku.

"Kara, I'm a girl, not bapak-bapak. Jadi panggilan yang tepat itu, Miss Hiperbol, bukan mister". Kalimatnya kujawab mengerucutkan bibirku, yang seharusnya diartikan oleh Zima, bahwa sebenarnya aku tahu perbedaan penggunaan mister, atau miss.

***

Zima seorang perempuan yang percaya diri. Ia berbeda dengan teman-temanku yang lain. Saat yang lain sibuk melukis make up di wajahnya, mengoles lipstik di bibirnya, Zima memilih menjauhi itu. Ia tidak terlalu cantik, bukan masuk standar cantik zaman now, tapi ia percaya diri dan tidak minder dengan penampilannya. Entah terlalu cuek, atau memang ia merasa cukup puas dengan pakaian dan kerudung yang rapi. Kata Zima, ia sudah sering mendapat pujian cantik dari orang tua dan sanak saudaranya, itulah yang membuatnya percaya diri dan tidak perlu pujian orang lain.

Tapi Zima seorang perempuan biasa. Ada hal-hal yang menjadi titik kelemahannya, juga kekuatannya. Hal-hal yang sering kali diminta untuk dituliskan dalam formulir kosong.

"Disatu sisi, aku tahu.. maksudnya untuk pendataan. Dan pendataan itu baik. Tapi di sisi lain, aku merasa tidak perlu memberikan dataku pada siapapun jika aku merasa tidak nyaman," ucap Zima. Aku tahu sebenarnya, formulir apa yang membuat Zima mengungkapkan hal ini.

"Aku juga gitu kok Ma, kadang suka sulit dan ragu untuk mengisi formulir. Misal kolom tanggal lahir, buat apa coba mereka tahu tanggal lahirku? Kalau cuma ingin tahu angkatan, ya tinggal tanya tahun masuk kuliah, atau tahun lulus kuliah. Kalau cuma ingin tahu umur, kan tinggal tanya tahun lahir. It's not like they would celebrate my birthday, ngapain juga tanya tanggal lahir," ucapku, meyakinkan Zima, bahwa tidak hanya ia yang kadang merasa malas dan enggan mengisi formulir.

"Bukan di pertanyaan tanggal lahir Ra, ada pertanyaan lain yang membuatku malas mengisi formulir kosong. Gatau kenapa formulir kosong, selalu mengingatkanku,.." ucap Zima menggantung.

"Mengingatkanmu?" tanyaku, berharap kali ini Zima meneruskan kalimatnya.

Aku ingat beberapa diskusi yang Zima mulai namun tidak Zima akhiri. Ia terkadang terlalu sulit mengungkapkan opini, pikiran dan perasaannya. Ia lebih suka memendamnya sendiri. Sebenarnya itu tidak masalah, kalau ia tidak memberiku kalimat menggantung. Kan nyebelin, bikin penasaran karena aku tahu awal kalimatnya, namun ia tidak pernah menyelesaikan kalimatnya.

"Apa? Formulir kosong mengingatkan Zima tentang apa? siapa? Cinta pertama Zima?" ucapku ngasal, jujur geram karena Zima diam terlalu lama, entah berpikir keras atau hendak pergi dan membiarkan kalimatnya menggantung.

***

Aku menaikkan tanganku, menarik otot lengan agar tidak kaku. Tidak cukup, aku berdiri mengayunkan tanganku ke kanan dan kekiri, melemaskan otot pinggangku yang kaku. Tugasku sudah selesai, alhamdulillah.

Detik itu, sesaat setelah rasa syukur kepada Allah atas tugas yang selesai, pikiranku mengajakku mengingat sore ini, kalimat lanjutan dari Zima.

"Kara... jujur aku sendiri sudah ragu, apakah sebenarnya aku sudah belajar menerima yang seharusnya diterima dan melepas yang seharusnya dilepas. Dan formulir kosong itu, seolah mengingatkanku. Bahwa mungkin... aku hanya berpura-pura sudah menerima, berpura-pura sudah melepaskan. Buktinya... bukankah kalau sudah menerima, seharusnya mudah saja aku mengisi kolom kosong itu? Tapi mengapa aku merasa sulit? Ini perasaan apa? Antara aku dan formulir? Apa karena aku malas? Atau enggan? Atau... aku malu mengakui, malu pada fakta yang seharusnya kuisi di formulir tersebut. Malu, minder, dan ingin sembunyi saja."

Saat itu.. aku ingat, saat mengucapkannya, dengan banyak jeda, matanya berkaca. Mata Zima berkaca, namun air matanya tidak jatuh. Sebentar saja berkaca, kemudian lapisan kaca di matanya seolah menguap begitu saja.

"Ra... bolehkah aku tidak mengisi formulir itu?" tanya Zima padaku akhirnya. Saat itu aku menggeleng. Kukatakan pada Zima, jangan menghindar. Ia bahkan belum membuka formulirnya, aku tahu kertas itu pasti masih tertutup, yang Zima lihat hanya belakangnya, yang putih kosong. Kalau Zima mau memberanikan diri, membaca formulir itu, berusaha mengisinya, ia pasti tahu...

***

'kolom pertanyaan itu sudah hilang', ucap Zima dalam hati. Kemudian seulas senyumnya menghias wajah Zima.

Masih ragu, Zima memberanikan diri mengambil pena dan mulai mengisi formulir tersebut. Dari kolom pertama, nama lengkap, ia eja dengan benar namanya, Khazimatu Nur Aini.

The End.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya