Bismillah.
Pernah aku bertanya-tanya, tentang jarak yang terbentang. Komunikasi yang sunyi. Awalnya kubiarkan diriku berisik sendiri. Karena aku sebenarnya tidak mengapa, jika ia lebih suka diam. Biasanya memang begitu, aku bicara ia diam. Tapi jujur saat itu... diamnya terlalu lama, dan jarak yang terbentang seolah semakin bersekat-sekat. Pagar itu meninggi saja. Kini bukan saja tentang jarak tapi juga halangan.
Pernah aku bertanya-tanya, apakah berisikku mengganggunya? Maka kukurangi frekuensiku bersuara. Bukan aku ikut menjauh, sungguh bukan. Aku hanya takut ia terluka oleh suara parauku.
***
Tidak ada salahnya menunggu. Sepi ini, jarak ini, bahkan pagar-pagar ini, kelak akan sirna jika aku mau menunggu. Tentu bukan menunggu matahari terbit di sebelah barat. Namun menunggu, sembari terus mengisi waktu menunggu dengan mengufukkan untaian kalimat indah dalam hati. Setidaknya, parauku tidak membuatnya menutup telinga.
Tidak ada salahnya menunggu. Lihatlah, kemarin...setelah puluhan hari ia lewati dalam bungkam, ia akhirnya bersuara. Kalimatnya lirih, tak panjang, namun tidak bisa disebut singkat.
Tidak ada salahnya menunggu.
***
Menulis ini sembari tersenyum karena ia telah meluruhkan pagar penghalangnya. Jaraknya masih ada. Sunyi juga masih dominan menghias suasana. Namun ia sudah bersuara lagi, dalam barisan kata, tak singkat namun juga jauh dari panjang.
Tidak ada salahnya menunggu. Bila lewat menunggu kutemukan indahnya saat ini. Saat aku terlambat membaca pesanmu. Pesan yang kunanti satu bulan lamanya.
***
Tidak ada salahnya menunggu. Lagi.
***
PS: Tentang seorang ukhti nan jauh di mata
Pernah aku bertanya-tanya, tentang jarak yang terbentang. Komunikasi yang sunyi. Awalnya kubiarkan diriku berisik sendiri. Karena aku sebenarnya tidak mengapa, jika ia lebih suka diam. Biasanya memang begitu, aku bicara ia diam. Tapi jujur saat itu... diamnya terlalu lama, dan jarak yang terbentang seolah semakin bersekat-sekat. Pagar itu meninggi saja. Kini bukan saja tentang jarak tapi juga halangan.
Pernah aku bertanya-tanya, apakah berisikku mengganggunya? Maka kukurangi frekuensiku bersuara. Bukan aku ikut menjauh, sungguh bukan. Aku hanya takut ia terluka oleh suara parauku.
***
Tidak ada salahnya menunggu. Sepi ini, jarak ini, bahkan pagar-pagar ini, kelak akan sirna jika aku mau menunggu. Tentu bukan menunggu matahari terbit di sebelah barat. Namun menunggu, sembari terus mengisi waktu menunggu dengan mengufukkan untaian kalimat indah dalam hati. Setidaknya, parauku tidak membuatnya menutup telinga.
Tidak ada salahnya menunggu. Lihatlah, kemarin...setelah puluhan hari ia lewati dalam bungkam, ia akhirnya bersuara. Kalimatnya lirih, tak panjang, namun tidak bisa disebut singkat.
Tidak ada salahnya menunggu.
***
Menulis ini sembari tersenyum karena ia telah meluruhkan pagar penghalangnya. Jaraknya masih ada. Sunyi juga masih dominan menghias suasana. Namun ia sudah bersuara lagi, dalam barisan kata, tak singkat namun juga jauh dari panjang.
Tidak ada salahnya menunggu. Bila lewat menunggu kutemukan indahnya saat ini. Saat aku terlambat membaca pesanmu. Pesan yang kunanti satu bulan lamanya.
***
Tidak ada salahnya menunggu. Lagi.
***
PS: Tentang seorang ukhti nan jauh di mata
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya