#fiksi
Banyak orang yang memilih fiksi sebagai cara ia mengungkapkan hidup yang ingin ia rasakan. Karakter utamanya dia, lalu keinginannya, diwujudkan di dunia fiksi.
Tapi... ada juga yang sebaliknya, ia justru membuat karakter fiksi, yang berkebalikan dengannya. Mungkin sang penulis ingin merasakan, bagaimana rasanya memiliki sifat/karakter yang bukan dia. Bagaimana rasanya punya kebiasaan yang jauh dari kebiasaan dirinya di dunia nyata.
Aku mengenal dua jenis penulis fiksi tersebut.
Yang pertama, namanya Finda. Ia punya mimpi untuk melanjutkan kuliah di Eropa, lebih tepatnya di Inggris. Realitanya, Finda mengalami kesulitan dan kemungkinan ia mewujudkan impiannya, tipis. Maka Finda memilih menulis sebuah fiksi, kisah bersambung tentang seorang gadis yang berjuang untuk kuliah di Inggris, serta petualangannya saat akhirnya karakter fiksi tersebut berhasil pergi ke Inggris, bukan sebagai mahasiswa, namun justru sebagai pengantar surat. Karakter fiksi yang Finda buat di kisah tersebut, sangat mirip Finda. Postur tubuhnya, sifatnya, kebiasaannya, bahkan gaya bahasanya saat berdialog dengan karakter fiksi lain.
Aku juga mengenal penulis fiksi jenis kedua. Namanya Tiwi, berbeda dengan Finda yang membuat kisah bersambung. Tiwi lebih sering membuat kisah pendek. Flash fiction. Namun kalau pembaca kenal Tiwi di dunia realita dan memperhatikan karakter fiksi yang menjadi peran utama kisah yang ditulisnya. Ada satu kesamaan dari sekian banyak karakter fiksi tersebut. Karakter fiksi tersebut selalu bertolak belakang dari Tiwi. Postur tubuhnya, sifat-sifatnya, dll. Contohnya, karakter fiksi buatan Tiwi selalu sesosok misterius, yang sangat sulit terbaca kondisi hatinya, apakah karakter fiksi tersebut sedih, atau senang, tidak terbaca oleh tokoh lain, kecuali yang diberitahukan oleh Tiwi kepada pembaca. Realitanya, Tiwi adalah seseorang yang sangat ekspresif. Saat ia senang, semua orang bisa melihatnya. Nada suaranya yang semakin nyaring dengan intonasi ceria. Derap langkahnya yang seperti anak kecil baru bisa berjalan dan memakai sepatu yang berbunyi. Begitu juga saat Tiwi marah atau sedih, sangat mudah terbaca. Saat Tiwi marah atau sedih, ia akan banyak menundukkan wajahnya, nada suaranya mendadak rendah, volume suaranya juga mengecil diiringi intonasi tegas dan serius. Tiwi saat marah, akan menjadi Tiwi yang sangat ceroboh, ia dengan mudah menjatuhkan kertas di meja kerjanya, tersandung tempat sampah, dan kecerobohan lain yang mengundang perhatian banyak orang. Tiwi saat sedih, ia seolah tidak berada dimana ia bertapak. Sunyi, bergerak sangat hati-hati, seolah ia ingin keberadaannya tidak diketahui siapapun.
***
Berbicara tentang menulis fiksi, aku juga menulis fiksi. Kamu tahu, aku termasuk golongan pertama atau yang kedua?
Apa aku lebih mirip gaya menulis Finda, atau lebih mirip Tiwi? Atau bukan keduanya?
The End.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya