Qadarullah, atas izinnya aku beranikan diri untuk berhenti diam. Ragu aku bersuara, awalnya lirih dan terdengar menggumam. Namun satu dua hal membuatku berani bersuara lebih jelas. Aku masih sama, masih belum bisa menjadi teman yang baik. Masih sering egois dan sibuk memikirkan diri sendiri. Tapi aku berusaha berjalan, berusaha berhenti diam.
Saat berhenti diam, aku mendengar responnya. Saat mulai bersuara aku sering bertanya-tanya pada diri, apakah kalimat yang kusampaikan salah? Apakah suaraku terlalu bising dan membuatnya menutup telinga? Apakah berhenti diam adalah pilihan yang tepat?
Sesekali aku merasa sia-sia. Rasanya berhenti diam tidak mengubah apa pun, tidak berdampak, tidak berikan efek positif. Namun terlalu lama diam juga tidak membantu. Maka aku akan berusaha tetap begini. Berhenti diam dan mulai bersuara, meski sering pelan, lirih, dan dipenuhi keraguan.
***
Di masa saat urusanku-urusanku, dan urusanmu-urusanmu, tidak mudah untuk berhenti diam. Seperti kata seseorang, yang berani 'gerak' cuma sedikit. Aku jawab, tidak mudah bersuara dan bergerak "ikut campur" urusan orang lain. Sekalipun orang tersebut adalah orang yang kita sayangi. Karena memang ada seninya, bagaimana tetap peduli dan simpati, tanpa menghakimi dan menuntut. Karena memang, sekalipun ingin bergerak dan bersuara, seringkali keinginan itu terhempas kesibukan masing-masing.
Doa memang hadiah terindah yang bisa kita berikan pada teman dan saudara kita. Tapi itu bukan satu-satunya jalan. Maka kita diminta berusaha juga. Dengan bersuara. Dengan bergerak mendekat. Membantu semampunya. Mengingatkan diri sembari mengingatkannya.
Allahua'lam.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya