Follow Me

Thursday, October 25, 2018

Tangga Keempat White Bamboo House

Bismillah.
#fiksi

Semilir angin malam menepuk pelan pipi Niti. Tempat itu selalu menjadi tempat favoritnya, saat udara di kamar kosnya yang berukuran 3x2 terasa begitu sumpek. Lantai empat, lantai teratas kosannya di desain khusus untuk menjemur pakaian. Setengahnya beratap, setengahnya lagi tanpa atap. Di sana, Niti bisa melihat dengan jelas beberapa atap rumah di sekitar kosannya. Juga melihat langit malam, yang seringkali hanya gelap awan, tanpa bintang dan bulan.

Malam ini sepertinya Niti berniat lama di sana. Ia berbekal kursi pendek, meja lipat, juga senter yang diletakkan di kepalanya, serta tas yang isinya beberapa buku dan alat tulis.

Ia memulai dengan mengambil buku bersampul coklat, sepertinya buku agenda. Dibukanya halaman yang ditandai pita pembatas. Ia membaca diarynya, dua hari lalu, satu pekan sebelumnya. Sampai akhirnya ia menge-klik ballpointnya, dan mulai menuliskan tanggal dan jam hari itu.
Jumat, 26 Oktober 2018. 22.40
Ia kemudian tenggelam dalam pikirannya dan mulai merangkai kalimat demi kalimat, menceritakan harinya, perasaannya, pikirannya, pada 'teman imajinasi' yang ia sama 'Ry' dari kata Diary.

***

Ry, beberapa pekan ini aku tidak baik-baik saja. Mencoba bangkit, lagi, lagi. Berkali-kali jatuh, tapi bodohnya aku masih tidak juga belajar dari rasa sakit yang meninggalkan jejak.

Tapi hari ini Jumat, dan hari Jumat selalu saja bisa mengingatkanku tentang rahmah-Nya yang lebih besar, lebih luas daripada dosa hambaNya yang hina dina ini.

Seperti siang tadi, saat dua orang anak kecil meminta air minum. Mereka tidak mengamen, pun tidak menengadahkan tangan untuk mengemis. Aku saat itu sedang berdiri di depan kosan hendak pergi bertemu teman. Lalu mereka mendekat, salah satunya, yang lebih kecil, berkata pelan namun cukup jelas terdengar. "Bu, boleh minta air minum". Aku menengok ke arah dua bocah yang mengenakan kaos hitam bernoda tanah atau pasir

Aku meminta mereka menunggu. Aku masuk lagi ke kosan, naik buru-buru ke lantai 2, membuka kunci kamarku, mencari botol air mineral kosong yang masih bersih, kemudian mengisinya dengan air galon. Aku bergegas menutup kembali pintu kamar dan menuruni tangga, takut mereka menunggu terlalu lama. 


***

"Lagi nulis diary?" suara khas Aurora, penghuni lantai satu membuat Niti berhenti menulis sejenak. Niti kemudian mengisyaratkan pada temannya itu untuk tidak mengganggunya dengan desis pendek dan tegas. Ssst.

Niti melanjutkan menulis satu dua kalimat dengan ballpoint berwarna birunya. Sampai ia menyadari Aurora berusaha membaca tulisannya. Niti menatap Aurora, yang hanya tersenyum karena berhasil menarik perhatian Niti.

Niti menutup menutup buku diarynya. Sedetik kemudian ia mengambil snack stik berlapis coklat di salah satu ujungnya. Aurora mengambilnya, kemudian ia menjauh dan menikmati pemandangan malam sambil menyantap 'sogokan' dari Niti.

***

Air minum dalam botol plastik itu sudah kuberikan pada mereka. Lalu mereka berjalan menjauh, aku juga, ke arah berbeda. Setelah mereka berlalu, aku terus memikirkan kejadian itu. 

Ry, dua bocah cilik itu seolah bentuk Allah mengingatkanku bahwa aku masih diberi kesempatan berbuat baik. Meski dosaku kian hari makin menenggelamkan diriku. Aku jadi teringat kisah Nabi Musa, saat ia berlari atas kesalahannya, kemudian ia melihat dua perempuan yang kesulitan menahan ternaknya agar tidak mendekat ke sumber air, karena di sana penuh sesak laki-laki asing. Nabi Musa 'alaihi salam memandang itu sebagai kesempatan untuk berbuat baik.

Jika Nabi Musa yang mendekat dan meraih kesempatan berbuat baik itu. Aku... dua bocah itu yang datang padaku.

Ry, dua anak itu juga mengingatkanku, bahwa mereka lebih butuh air minum daripada uang receh. Sama seperti kita yang lebih butuh petunjuk (huda) dari-Nya daripada kebutuhan makan dan minum. 

Sampai saat ini, aku masih menyesal membiarkan mereka pergi hanya dengan sebotol air minum. Padahal seharusnya ada hal lain yang bisa kuberikan. Entah itu uang yang tidak seberapa, atau makanan ringan yang hampir selalu ada di tasku.

Ry, ternyata aku cuma segitu. Tidak terbiasa untuk bersedekah. Seharusnya aku bisa memberi lebih dari sekedar air minum. Tapi aku... TT Mungkin tebalnya kerak dosa ini penghalangnya.

Aku.. harus benar-benar bertaubat, bukan pura-pura kembali namun mengulang kesalahan yang sama.

Doakan aku ry. Bye. Ada penikmat coklat yang menanti aku berhenti menulis di sini. See you later.

_Niti @tangga keempat white bamboo house

***

"Kenapa sih rajin banget nulis diary?" suara Aurora mendekat, seiring suara langkah kakinya.

Niti tidak menjawab pertanyaan Aurora. Ia mematikan senter di kepalanya. Aurora mengembalikan snack Niti, yang tinggal setengah.

"Ga bisa tidur Ra?"

Aurora memasang muka masamnya. Ia kemudian protes karena pertanyaannya tidak dijawab.

"Emang kalau kamu tahu alesanku rajin nulis diary, kamu mau mulai nulis juga?" tanya Niti sinis. Aurora menggeleng.

"Penasaran aja, habisnya setiap aku ga bisa tidur, pasti nemu kamu di sini, nulis diary. Kenapa ga nulis di kamar?"

"Gapapa. Pengen aja"

***

Percakapan keduanya berlanjut, dengan suara lirih namun masih tertangkap telinga. Mereka pernah ditegur penghuni lantai tiga, karena mengobrol keras-keras malam hari. Udara makin dingin membuat Aurora pamit pergi duluan. Niti masih menetap di sana, jaket tebal yang ia kenakan, cukup untuk membuatnya bertahan satu jam lagi di sana. Ia belum ingin masuk kamar, kelopak matanya belum berat.

Ia mengambil sebuah buku bersampul biru. Senter di kepalanya diajak bekerja lagi. Matanya menelusuri satu demi satu kalimat, hanyut dalam cerita bacaan tersebut. Sesekali ia mengusap pipinya, yang terasa dingin karena berkali-kali diterpa angin malam.

The End.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya