Follow Me

Sunday, October 28, 2018

Tangga Ketiga White Bamboo House

Bismillah.
#fiksi
Suara ketukan pintu membangunkan Niti. Jari tengahnya menggosok kelopak mata kanannya. Tuk tuk tuk.

"Ni...ti..." suara khas Aurora. Niti membuka pintu, hanya sedikit, cukup untuknya melihat wajah Aurora yang terbalut mukena parasut berwarna peach.

"Udah shubuh?" tanyanya. Niti menengok ke belakang, menunjukkan Aurora bekas mukena yang belum terlipat. Tadi Niti tertidur saat berdoa, baru sebentar, entah lima menit atau baru semenit, sampai pintu kamarnya diketuk. 

"Semalem ga tidur? Begadang bareng jemuran?" tanya Aurora. Niti menghela nafas pelan, sepertinya Aurora tidak berniat untuk segera pulang ke kamarnya. Ia membuka pintu lebih lebar, lalu berbalik dan duduk di sajadahnya, mengambil mukena dan mulai melipatnya. Aurora izin masuk kamar, lalu duduk di tempat tidur Niti yang penuh buku.

"Gimana mau tidur nyenyak, kalau tempat tidur penuh buku dan kertas-kertas gini?" Aurora mulai mengomel. Niti memilih membiarkan kalimat itu masuk kuping kiri dan keluar kuping kanannya. Ia mengambil gelas dan mengisinya dengan air di galon yang diujung bawahnya memiliki keran.

***

Aurora duduk di kamar Niti cukup lama, ia berdalih ingin menemani Niti agar tidak tidur setelah shubuh. Meski alasan sebenarnya bukan itu. Ia hanya butuh teman cerita, dan Niti entah sejak kapan selalu sedia telinga untuk ceritanya, mulai cerita kocak, cerita cinta, sampai cerita horror.

"Niti.. ajarin aku dong gimana caranya ga baper?" itu pertanyaan awal Aurora sebelum ia memulai ceritanya, Sabtu, 27 Oktober, ba'da shubuh.

"Kenapa, ada cowok yang bikin kamu baper?" tanya Niti yang matanya sudah tidak semengantuk sebelumnya. Rupanya meminum satu gelas air dingin cukup untuk menghilangkan kantuknya, meski semalaman ia tidak tidur. 

Aurora mulai bercerita tentang kakak tingkatnya, yang tiba-tiba chat dan bertanya kabar. Ia tahu ia tidak boleh baper dan berpikir yang aneh-aneh. Karena sebelumnya pernah juga ada kakak tingkat lain yang tiba-tiba chat juga, dan.. harusnya biasa saja.

"Tapi aku baper.. masa aku deg-degan ga jelas coba Ni.. ti.." ucapnya sambil meletakkan tangan kanannya di atas dada. Tingkah Aurora membuat Niti tersenyum, ini bukan yang pertama. Cerita baper Aurora hampir selalu berulang setiap bulan, dengan tokoh yang berbeda.

"Mana kakaknya balesnya lama, bikin aku mikir yang aneh-aneh. Trus ujung-ujungnya nyadar, kalau cuma mau nawarin kerjaan, mumpung aku masih pengangguran. Ih BT" penjelasan Aurora membuat Niti tertawa kecil. Aurora memandangnya, membuat ia pura-pura batuk.

"Maaf," ucap Niti pendek. Lalu fokus mendengar penjelasan panjang dari Aurora. Kalimat yang digunakan kakak tingkatnya, pikiran aneh yang melintas di otaknya, juga debar jantung yang normal.

"Aku tahu aku ga boleh baper, tapi... susaah. ujung-ujungnya berprasangka sendiri, kecewa sendiri." ucap Aurora, menyesali dirinya yang sering baper. Niti mencoba menenangkannya, bahwa wajar kalau perempuan baper, mungkin karena sudah masanya memikirkan peran kedua sebagai seorang perempuan.

"Ga ada yang salah dengan bapermu. Toh kamu bisa mengendalikannya. Kamu bisa kan buat alasan rasional lain, agar bapermu ga menjadi-jadi. Kamu ga sebaper itu kok ra. Kamu normal, wajar. Dan ga kesemua orang kamu baper." Aurora mengangguk-angguk. Merasa sedikit terhibur. Ia takut menjadi orang aneh yang apa-apa baper.

"Anggep aja kaya pms, siklus bapermu kurang lebih sama lah, sebulan sekali", Niti menggoda Aurora. Ia tersenyum lalu mengambil snack stik coklat, yang sudah agak mlempem karena semalaman terkena angin dingin di lantai 4.

Tak terasa percakapan mereka berlangsung satu jam lamanya. Aurora pamit pulang, turun kamarnya di lantai satu.

***

Seharusnya Niti tidur, memberikan jatah istirahat untuk tubuhnya, tapi percakapannya dengan Aurora membuat tangannya gatal untuk menulis. Dalam hitungan menit, ia membuka buku diary bersampul coklat, menulis paragraf pendek, kemudian tertidur sebelum berakhir menyelesaikannya.

Sabtu, 27 Oktober 2018

Ry, pecinta coklat yang tadi malam membuatku sejenak berhenti menulis datang lagi. Kali ini ia bercerita tentang kisah bapernya dengan salah satu kakak tingkatnya. Entah ini kakak tingkat yang keberapa yang pernah ia ceritakan padaku.

Tapi ry, mendengar ceritanya membuatku berkaca dan teringat saat-saat aku baper. Saat aku menyadari bahwa aku ga ada bedanya sama teman-teman lain seusiaku. Nyatanya aku perempuan dan aku bisa baper. 

Seperti suatu sore di Masjid Karpet Merah, saat seorang ibu bertanya namaku, aku kuliah dimana, dan ibu itu mulai bercerita tentang anaknya yang ternyata kuliah juga di kampusku. Aku tidak bisa tidak baper. Jujur saat itu aku bertanya-tanya, apa ini jalan menuju 'kesana'? Sampai ibu tersebut menyebutkan nama anaknya, dan

The End.

***

PS: Ceritanya, daripada tiap nulis fiksi bingung cari nama tokoh, bingung ngedeskripsiin tempat, mendingan dibuat konsisten aja. Jadi settingnya akan sama, di White Bamboo House. Sementara baru ada dua karakter, nanti mungkin bisa bertambah, liat nanti aja hehe. Oh ya, White Bamboo House ini rumah kosan empat lantai. Setiap lantai ada empat kamar, kecuali lantai satu, ada 5 kamar. *nanti mungkin deskripsi lainnya di cerita berikutnya hehe. 

PPS: meski satu tempat dan dengan karakter yang sama, bukan berarti cerita bersambung. meski ada sedikit sambungan. tapi beda sama cerbung yang alurnya satu. Ini semacam beberapa cerita pendek yang terjadi di satu setting dan karakter yang sama. itu aja. 

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya