Follow Me

Monday, October 8, 2018

Mendiamkan ; Hajr

Bismillah.

Allah merencanakan semuanya, dengan matang, untukku. Semua 'kebetulan' yang hadir di hariku, memojokkanku dan bertanya, bisakah kamu mengambil hikmahnya? Bisakah kamu mengamalkan jika ilmunya sudah kau ketahui?

***

Setelah keluar dari persembunyian (akhir tahun 2016), kemudian perlahan berusaha memetakan masalah diri dan mengambil keputusan besar (sampai akhir tahun 2017), kembali ke Purwokerto, adaptasi dengan rutinitas baru, sampai akhirnya berinteraksi lagi dengan orang selain keluarga. 

Di lingkungan baru itu, aku mengenal beberapa sosok manusia yang membuatku belajar banyak hal. Aku sering marah sendiri, curiga sendiri, sebel sendiri, terutama saat Allah memperlihatkan sisi buruk mereka. Saat itu, rasanya ingin orang-orang itu keluar saja dari hidupku, atau aku yang keluar saja dari hidup mereka, jalan pintas memang, dan kali ini aku tidak punya kuasa. Jadi pilihan selanjutnya adalah mendiamkan, sebisa mungkin menutup diri. Bukan tidak mengobrol sama sekali, komunikasi tetap jalan, tapi hanya hal yang perlu dan memaksa. Selain itu, aku sibuk sendiri dan mereka sibuk sendiri.

Sampai qadarullah, kajian Bulughul Maram di masjid dekat rumah sampai di hadits ke 24, hadits mengenai mendiamkan saudara muslim, yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub Al Anshari. Sekitar tiga atau empat pertemuan baru selesai membahas satu hadits tersebut. Selama rentang waktu itu, berbagai "drama" terjadi di rutinitas yang mengharuskanku berinteraksi dengan orang yang tidak aku sukai. Ditambah, qadarullah baca buku Mizanul Muslim yang membahas tentang ukhuwah. Lengkap sudah 'kebetulan' yang Allah rancang untukku.

Pertemuan pertama, Ustadz Abdullah Zaen fokus menjelaskan kisah periwayat hadits tentang mendiamkan /hajr tersebut. Nama aslinya, bagaimana saat Rasulullah tinggal bersama beliau, sifat dan sikap baiknya, sampai akhir hayatnya, ia dikuburkan jauh dari kampung halamannya.

Pertemuan selanjutnya, dibahas tentang dua sebab mendiamkan seseorang, apakah itu karena urusan pribadi atau karena urusan agama. Mendiamkan/hajr karena urusan agama ternyata boleh lebih dari tiga hari tiga malam, seperti yang tertulis di Quran tentang Ka'ab bin Malik dan dua sahabat lain, yang didiamkan selama kurang lebih 40 hari karena tidak hadir di perang Tabuk tanpa alasan syar'i.

Tiap duduk dan mendengarkan, pikiranku pasti menyangkut pautkan dengan apanyang terjadi di keseharianku. Aku.. yang enggan ramah, berkomunikasi sekedarnya saja, karena merasa sakit melihat keburukan orang tersebut. Beberapa kali tertegur mendengar penjelasan hadits tersebut. Bahwa membenci atau memilih tidak memaafkan, bahkan sampai mendiamkan karena ego, tidak akan memberikan keuntungan apapun bagi diri kita.

Belajarlah dari Nabi Yusuf,

قَالَ لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ ٱلْيَوْمَ ۖ يَغْفِرُ ٱللَّهُ لَكُمْ ۖ وَهُوَ أَرْحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ
Dia (Yusuf) berkata: "Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang".

itu maknanya, ia sudah lupa kesalahan kakak-kakaknya.

***



Itu teorinya, prakteknya beda cerita. Saat itu, setiap aku melihat orang itu, mudah sekali rasanya menghadirkan ulang bayangan kesalahan orang lain. Lalu rasanya begitu sulit untuk memaafkan, ibarat kertas yang sudah diremas, mau dibuka lagi, dicoba dirapikan, tetap saja masih ada bekasnya. 

Lewat pengalaman dengan orang lain itu, aku jadi berkaca tentang diri. Ya, aku juga. Aku sekarang paham, mengapa beberapa orang tanpa sengaja dan tanpa niat menyakiti sering mengucapkan kesalahan yang pernah kuperbuat. Karena luka yang kutorehkan di hatinya, masih berbekas. Aku saja masih berulangkali teringat kesalahan itu, apalagi mereka, yang tersakiti karena kesalahanku.

Lalu aku jadi sedikit lebih paham lagi, bahwa memang tidak ada tempat kembali selain padaNya. Karena hanya DIA, yang bisa menutup kesalahan dan dosa kita. Terbukti, rahmatNya, nikmatNya terus mengalir, meski kita berulang jatuh dalam dosa, mencoba bertaubat, namun kembali oleng dan terjatuh lagi, kemudian mencoba bangkit lagi karena kita tahu pintuNya masih terbuka lebar-lebar, siang maupun malam.

Pun berkaca lagi, tentang ketentuannya yang adil. Bahwa kebaikan bisa menghapus keburukan. Maka setiap ada sedikit, sedikit peluang melakukan kebaikan, kita teringat, bahwa Allah tidak menutup pintu rahmatNya. Seperti wanita hina yang bertaubat, namun tidak diterima manusia manapun karena kelamnya masa lalunya. Namun seciduk air, yang ia berikan untuk anjing yang kehausan, Allah hitung balasannya dengan adil.

Kemana lagi akan berlari, jika bukan kembali padaNya?

***

Di pertemuan selanjutnya, masih bahas tentang hadits mendiamkan atau hajr. Disebutkan bahwa mendiamkan bukan satu-satunya jalan yang bisa diambil jika kita bermasalah dengan orang lain. Pun saat kita melihat kesalahan orang lain.

Cara kita bersikap terhadap orang yang memiliki kesalahan dalam agama ada dua :
_ menghajr/mendiamkan
_ mendekatinya, agar bisa mengambil hatinya dan menasihatinya
ada orang yang didiamkan semakin baik, namun ada juga yang didiamkan namun semakin buruk.
setiap orang caranya berbeda, tergantung situasi dan karakter orangnya. Ada yang karakternya keras, kalau dikerasi jadi tambah keras. 
Penjelasan itu lagi-lagi membuatku melihat ke situasi yang saat itu aku hadapi. Aku lebih memilih mendiamkan karena ego, dan lebih memilih berkeras, bukan berusaha mendekat. Salah. Aku salah.

Aku makin yakin kesalahanku, saat salah satu orang akhirnya memilih pergi dari hidupku. Sedang satu lagi, membaik karena sikap yang dipilih Ayahku pada orang tersebut benar. Mungkin ini bedanya, Ayahku sudah banyak berinteraksi dengan orang lain, lebih pandai memetakan mana yang sebaiknya didiamkan, dan mana yang perlu didekati dan diambil hatinya. Sedangkan aku lebih fokus pada luka di diriku, pada egoku, pada keengganan untuk berinteraksi.

Yang lebih telak lagi, di pertemuan tentang hadits mendiamkan, ada kalimat yang kurang lebih begini... 
Orang yang mendiamkan, apakah punya kekuatan atau tidak? Punya pengaruh atau tidak? Misal anak kecil yang mendiamkan orang dewasa, atau guru yang mendiamkan murid, bukankah berbeda efeknya?
Jadi mendiamkan atau menghajr itu ada syarat dan caranya. Tidak asal dilakukan. Harus lihat kondisi, situasi, orang yang mendiamkan dan yang didiamkan. Aku malu sendiri mengakui, bahwa benar, aku tidak memberikan efek apapun, percuma aku mendiamkan, yang rugi aku sendiri. Aku hanya anak kecil, yang sok-sokan mendiamkan, childish, ga efektif pula, jauh dari bijak. I need to learn much how to be a better muslimah. 

***

Pertemuan selanjutnya, masih membahas hadits ke 24 Kitab Bulughul Maram. Penghujung haditsnya. Bahwa yang lebih baik antara dua orang yang saling mendiamkan tersebut, adalah yang terlebih dahulu mengucapkan salam.

Ada tiga pendapat penjelasan mengenai teknis mengakhiri hajr/mendiamkan. Yang pertama cukup dengan salam, yang kedua tidak sekedar salam hubungannya harus kembali membaik seperti dulu, yang ketiga berbeda sesuai hubungan kekerabatan, jika bukan kerabat cukup dengan salam, jika kerabat, harus kembali membaik hubungannya seperti sebelum hajr.
Imam Ibnu Hajar Al Atsqalani, menggabungkan ketiga pendapat tersebut. Ada beberapa level dalam menyelesaikan hajr, yang minimal itu mengucap salam, maksimalnya sampai kembali seperti hubungan sebelum peristiwa hajr. Dan level maksimal ini adalah untuk kerabat.
Disebutkan juga di penjelasan saat itu, batas tiga hari di hadits tersebut terkait dengan diangkatnya amal perbuatan manusia di hari senin dan kamis. 
Amal shalih bani Adam dilaporkan hari Senin dan Kamis. Pada hari Senin dan Kamis Allah akan mengampuni dosa orang-orang yang beriman selama ia tidak syirik, kecuali seseorang yang bermusuhan dengan saudaranya. Kemudian dikatakan pada para malaikat, undurkan ampunan buat dua orang ini, sampai kedua orang ini mau saling baik-baikan.
Catatanku mengenai penjelaskan mendiamkan / hajr diakhiri dengan kalimat miris..
Anehnya.. ada orang yang rela dosanya tidak diampuni, karena gengsi. TT
***

Allah merencanakan semuanya, dengan matang, untukku. Semua 'kebetulan' yang hadir di hariku, memojokkanku dan bertanya, bisakah kamu mengambil hikmahnya? Bisakah kamu mengamalkan jika ilmunya sudah kau ketahui?


Saat itu, aku belum bisa mengambil hikmahnya, masih tertatih mempraktekkannya dalam amal. Saat itu, situasi dan kondisinya berbeda. Aku, cuma bisa menuliskan ini. Berharap, agar hikmah ini tidak aku lupakan. Dan jika, suatu saat aku dihadapkan pada kondisi didiamkan atau mendiamkan, aku harap, aku bisa lebih baik bersikap dan bertindak. Semoga aku bisa menjadi muslimah yang lebih baik. Yang tidak terpaku pada perasaan dan ego sendiri. Yang memandang segala hal, lewat kacamata quran dan sunnah. Rabbi habli hukmaw wa alhiqni bisholihin. Aamiin. 

Allahua'lam.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya