Follow Me

Friday, October 12, 2018

Getting Far Away

Bismillah.
#fiksi
"I feel like I'm getting far away. From you."
Sebuah kertas hvs merah muda yang terselip di pintu kamar menarik mataku. Kutengok kanan kiri, tidak ada orang, pelan aku berjongkok dan menariknya keluar. Kertas berukuran hvs tersebit terlipat dua, kubuka dan kutemukan kalimat tersebut. Tulisan tangan, agak keriting, namun masih terbaca dengan jelas.

Aku hendak membaca kalimat berikutnya, namun suara langkah dan obrolan dua atau tiga orang teman kosku membuatku menutupnya lipatannya lagi. Aku buru-buru mencari kunci dan membuka pintu kamarku yang terletak persis disebrang pintu kertas merah muda yang kupungut tadi.

Aku masih berdiri dibalik pintu, mendengarkan suara langkah dan berusaha mengenali siapa saja yang lewat. Setelah suasana kembali sepi, aku menghela nafas lega. Pertama, karena tidak ada yang melihatku mengambil kertas tersebut. Dan kedua, karena tidak ada suara Windy. Aku masih punya waktu untuk membaca kalimat berikutnya, sebelum kukembalikan kertas merah muda ini pada yang berhak.

***
"Every time I fall, every chance I lost, every step I miss, take me far far away from you. You're getting better, and I'm getting worse. You take a step closer, but I take step back, twice. So I'm wondering, will we ever get a chance to meet again? I think I just... "
Semua tulisan di sana berbahasa inggris, setiap dijeda titik, tulisannya makin keriting membuatku harus fokus supaya bisa membacanya. Yang paling aneh, akhirnya, akhir kalimatnya yang terpenggal, seolah tidak selesai. Atau sebenarnya kalimat sempurnanya ada di otak si penulis, namun ia tidak mampu atau tidak mau menuliskannya.

Lipatan kertas merah muda itu menghuni kamarku tiga hari, aku selalu lupa memberitahu Windy. Lebih tepatnya, aku takut Windy marah karena aku membaca yang tidak seharusnya kubaca. Sampai suatu hari, aku ke kamar Windy, hendak meminta kertas A4 reuse.

"Ambil aja di kerdus itu," tunjuknya mempersilahkan aku masuk. Ia sedang memakan snack kacang, sembari membaca buku tebal bersampul ungu dengan ilustrasi seorang anak kecil memakai teropong untuk melihat bintang. Aku mengambil beberapa lembar, A4 reuse, kemudian terhenti karena menemukan hvs hijau muda terlipat. Kutengok Windy yang masih fokus membaca, pelan kubuka lipatannya, sekilas kubaca satu kalimat sebelum Windy memergokiku dan aku salah tingkah.

"Windy.. sebenernya, hari Senin kemarin, aku nemu lipatan kertas hvs merah muda terselip di bawah pintu kamarmu... " ucapku jujur, akhirnya. Windy meletakkan bukunya, menghampiriku dan mengambil kertas hijau hvs yang terlipat dua.

"Ada di kamarku, sebentar ya aku ambil," aku keluar kamar Windy, dan segera menuju kamarku, meraih kertas hvs merah muda dan mengambil nafas pelan. Selintas kuingat lagi kalimat di kertas hijau yang kuintip isinya.
"I'll keep my distance, even if I can easily make it disappear."
Aku menyerahkan kertas itu, menunduk. Siap untuk diomelin, berharap Windy tidak memilih diam dan mengusirku keluar.

***

"Jadi ini bukan surat dari siapa gitu buat kamu?" tanyaku heran. Windy tertawa kecil, tangan kanannya menutupi mulutnya, matanya mengecil. Beneran ketawa, bukan pura-pura.

"Kamu kebanyakan nonton atau baca cerita romance Tri," ia tersenyum. Aku masih bengong, tidak menyangka akan begini. Tiga hari itu, aku sibuk membuat skenario kemungkinan-kemungkinan. Pun saat kulihat lipatan hvs hijau, kukira, kertas merah muda itu bukan yang pertama. 

"Kecewa lah, masa kamu ga ngenalin tulisanku sih?" Aku mendengus kesal, memberitahunya bahwa wajar aku tidak tahu tulisan tangannya. Kami bukan teman satu jurusan yang suka saling pinjam catatan. Apalagi di jaman serba ketik, sangat sulit untuk mengenali atau menghafal tulisan tangan seseorang.

"Trus ini surat buat siapa?" tanyaku, membuat Windy salah tingkah. Matanya tidak bisa menatapku, otaknya mungkin sedang berpikir bagaimana mengubah topik. Selagi Windy panik, kuambil hvs hijau yang terlipat dua.

"Pinjam ya," ucapku mengejeknya, kujulurkan lidahku kemudian aku lari ke kamar. Windy mengetuk pintu kamarku berkali-kali. Aku tertawa puas, baru kemudian membukanya.

"Siapa?" tanyaku. 

***

Kata Windy, surat ini cuma untuk mengeluarkan apa yang ada di otaknya. Tidak bermaksud ditujukan pada siapapun. Tapi bukan Ratri namaku, kalau aku tidak berhasil membuat Windy bersuara. Pertanyaannya aku ganti. Bukan siapa, tapi aku ingin tahu penjelasan tulisan di kertas merah muda yang kubaca tiga hari yang lalu.

"Cuma perasaan inferior aja. Karena ia tampak begitu tinggi, dan aku begitu rendah."

"Kaya bumi dan langit?" tanyaku, 

"Ga dong, enak aja." jawaban Windy membuatku heran. Seolah ia masih punya pride dan tidak mau dikatakan kalah jauh ketimbang sosok yang seharusnya menerima surat tersebut.

"Jangan sering-sering ngebandingin diri sama orang lain, ga baik." nasihatku pada Windy. Aku kini sedikit paham mengapa ia menuliskan kalimat-kalimat itu. Sosok itu mungkin tampak lebih dekat dengan Allah, sedangkan Windy masih tertatih untuk mendekat padaNya, masih sering jatuh dan menjauh lagi denganNya.

"Kakak tingkat?" tanyaku iseng, menggoda Windy. Windy diam terpaku, mungkin itu bisa diartikan ya. Selanjutnya aku yang banyak bicara. Sok bijak, sok dewasa. Untuk hal ini, aku lebih berpengalaman. Aku juga pernah merasakan yang mirip dengan itu.

"Iman itu, ada di hati. Yang tampak tidak selalu sama dengan yang ada di hati. Ketimbang fokus pada rasa minder, mending fokus memperbaiki diri. Ga usah banyak menengok ke arahnya, ga baik."

"Aku juga tahu kok Tri. Makasih udah diingetin."

"Jangan bilang siapa-siapa ya," ucap Windy sebelum akhirnya balik ke kamar. Aku tersenyum tipis. Tangan kananku masih di belakang punggung, memegang hvs hijau yang terlipat dua.

***
I choose to stay far away, not because I'm afraid to get closer. I just don't want you to read me. Though I'm like one little book inside a library. Also.. I think I'm alone. And it's better this way. And there's some.... 
Kali ini, aku menyesal membacanya. Kenapa Windy selalu mengakhiri tulisannya dengan kalimat yang tidak selesai. Kulipat kembali kertasnya, rasa penasaran membuat otakku menebak lanjutan kalimatnya. Mungkin benar kata Windy, aku terlalu banyak membaca dan menonton kisah romance. Menit selanjutnya, aku membuat dua tiga skenario fiksi. Termasuk membayangkan sudut pandang sosok penerima surat, yang tidak kuketahui eksistensinya. 

The End.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya