Mungkin, ia tidak benar-benar membacanya. Sehingga wajar pesanku tidak sampai padanya. Mungkin, begitu. Ya, pasti karena itu. Timingnya yang salah. Ia sibuk, jadi tulisannya terbuka tanpa benar-benar terbaca. Begitu. Begitu seharusnya aku menjaga prasangka baikku padanya.
***
Malam ini, aku membuka aplikasi catatan yang hanya bisa diakses saat terhubung jaringan internet. Aku jadi melihat tumpukan yang menanti untuk dikerjakan. Rasanya ingin membantu, tapi pesan yang tidak benar-benar dibaca itu, membuatku enggan bertanya lagi.
Seperti yang kusebut berkali-kali di blog ini. Menawarkan bantuan, tentu berbeda dengan meneror atau memaksa orang lain agar menerima bantuan. Otakku berputar-putar, memikirkan prasangka, tentang ia yang mungkin belum belajar tentang delegasi tugas. Terkesan egois.
Namun pemikiran yang membuat otakku penuh tersebut, kini didesak oleh pemikiran lain. Aku jadi bertanya-tanya, apakah ini rasanya menjadi orang lain, yang melihatku jatuh bangun, terseok melangkah, jatuh lagi, namun saat mereka mengulurkan tangan aku malah tersenyum menggeleng dan berusaha bangkit sendiri. Menciptakan suasana kikuk karena keinginan baiknya untuk membantuku ditolak berkali-kali. Ah... beginikah rasanya?
***
Malam ini Purwokerto hujan *tiba-tiba? hehe. Mataku melembab, mengingat masa lalu. Betapa egois diriku, tidak tahu, atau tidak bisa berlapang dada menerima tawaran bantuan dari orang lain. Pun saat sudah dibantu, justru disia-siakan. Ibarat sudah ke dokter, dibantu diberi obat, eh, obatnya ga dimakan. Justru dibiarkan di meja, sedangkan aku masih keras kepala kalau bisa mengobati tanpa obat. Semacam itu. Atau seseorang melihat kakiku terkilir, ia memberikan tongkat untuk membantuku berjalan, tapi tongkatnya justru aku letakkan di tas, masih sok kuat bisa berjalan dengan kaki terkilir. Lupa, atau bodoh, bahwa kaki yang terkilir jika dipaksa berjalan akan semakin sakit.
***
Nulis apa kamu bell? Hehe.
Balik lagi ke topik awal, abaikan tulisan setelah malam Purwokerto yang hujan. Sudah ga hujan hehe.
Kemungkinannya begitu, seperti yang kutulis di paragraf pertama. Semoga bisa kujaga prasangka baik itu. Semoga bisa mengulang pertanyaan, agar benar-benar yakin, apa tulisannya tidak benar-benar ia baca, atau... diamnya merupakan penolakan halus atas tawaran bantuan dariku? Atau aku bisa saja memilih menutup mata, atas tumpukan yang menanti untuk dikerjakan. Menutup mata, dan fokus saja memperbaiki semangat menulis.
Apapun pilihan sikap yang nantinya aku ambil, semoga yang terbaik. Dan tentang lintasan kemungkinan yang berputar-putar di otak, semoga aku bisa menghindari yang buruk, dan hanya mengambil yang baik. Karena itu haknya, dan itu kewajibanku padanya.
Allahua'lam.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya