Follow Me

Saturday, December 22, 2018

Mendengarkan dengan Empati

Bismillah.

Nukil buku 7 Habits for Effective People, Stephen R. Covey

***

Kebiasaan kelima, mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti. Seek first to understand than to be understood.


Dokter Mata


Bab ini dibuka dengan sebuah kisah tentang dokter mata. Seseorang sakit mata, lalu ke dokter. Sang dokter bukannya menjalankan tugasnya mendiagnosis, justru melepas kacamatanya dan memberikan kepada pasien tersebut.
"Pakailah kaca mata ini," katanya. "Saya sudah memakainya selama sepuluh tahun, dan kacamata ini benar-benar membantu saya."
Tahu apa yang terjadi? Meski sang pasien sudah mengenakan kacamata dari dokter  penglihatannya tidak membaik, justru semakin memburuk. Tapi saat mengeluh ke dokter tersebut, jawaban dokter itu.. 
"Kacamata itu berfungsi dengan sangat baik bagi saya. Berusahalah lebih keras."
Sang pasien lalu menjelaskan lagi, bahwa ia sudah berusaha, namun segalanya terlihat buram. Dan kau tahu respon dokter tersebut? Ia meminta sang pasien untuk berpikir positif. Bahkan merasa tersinggung karena pasien tersebut seolah tidak menghargai bantuannya.

Rasanya ikut dongkol saat aku membaca kisah itu. Tapi kisah ini merupakan gambaran, tentang orang yang mendengar dan terburu-buru memberikan nasihat, atau solusi. Terburu-buru dan tidak menempatkan diri di posisi yang berbicara. Seolah keluhannya sama dengan hal yang dulu pernah kita rasakan, jadi kita pikir "kacamata" kita bisa membuat "matanya tidak sakit lagi". 

***

Berusaha mengerti terlebih dahulu sebelum meminta untuk dimengerti, adalah kunci sukses hubungan antarpribadi yang efektif. Dan ini bisa diraih, jika kita tahu cara berkomunikasi yang baik. Bukan hanya cara menyampaikan apa yang ada di pikiran kita, tapi lebih penting lagi bagaimana mendengarkan dengan empati. 
Kita memiliki kecenderungan untuk terburu-buru, memperbaiki segala sesuatu dengan nasihat yang baik. Namun, kita seringkali gagal meluangkan waktu untuk mendiagnosis, untuk benar-benar mengerti masalahnya secara mendalam terlebih dahulu. - Stephen R. Covey
***

Tingkatan Mendengarkan


Saat orang lain berbicara, ada beberapa tingkatan "mendengarkan". Yang pertama, mengabaikan, sama sekali tidak benar-benar mendengarkan. Yang kedua, berpura-pura, membuat ekspresi dan gesture seolah kita mendengarkan padahal pikiran kita melayang entah kemana. Yang ketiga, mendengarkan secara selektif, hanya bagian tertentu yang didengarkan. Yang keempat, mendengarkan dengan penuh perhatian, fokus pada kata-kata yang diucapkan. Dan ada yang terakhir, mendengarkan secara empatik.


Mendengarkan secara empatik berbeda dengan mendengarkan secara reflektif. Mendengarkan secara reflektif membuat kita memikirkan diri kita, kisah autobiografi diri kita, dan seringkali maksudnya untuk menjawab. Mendengarkan secara empatik adalah berusaha untuk mengerti dan berada di sepatu pembicara. 
Mendengarkan secara empatik masuk ke dalam kerangka rujukan orang lain. Anda melihat dunia sesuai dengan cara mereka melihat dunia, Anda mengerti paradigma mereka, Anda mengerti bagaimana perasaan mereka.
Tapi mendengarkan secara empatik bukan selalu berarti kita setuju pada seseorang, melainkan kita berusaha sepenuhnya mengerti orang tersebut dari sisi emosional dan intelektual.
Saat Anda mendengarkan orang lain dengan empati, Anda memberi orang itu udara psikologis.
Ibarat saat kita tenggelam, kita secara refleks melakukan cara agar bisa bernafas. Selain udara secara fisik, kita juga membutuhkan udara psikologis. Kita membutuhkan seseorang yang mau mendengarkan tanpa menghakimi atau sok tahu. Seseorang yang mau berusaha mengerti. 

***

Autobiografi 


Satu kata ini sering diulang di bab ini. Awalnya aku tidak paham, namun setelah membaca lebih lama, aku mulai mengerti. Biografi adalah cerita hidup seseorang, autobiografi adalah cerita hidup yang ditulis sendiri.

Salah satu reaksi normal saat kita mendengarkan orang lain adalah kita mengingat autobiografi kita. Kita mendengarkan dengan kerangka pikiran kita, lalu menyelidiki apakah kita pernah mengalami hal serupa.

Dalam buku 7 Habits digambarkan percakapan seorang ayah dan anaknya. Bagaimana sang anak mengadukan bahwa ia merasa tidak suka pergi ke sekolah, dan bagaimana respon salah sang Ayah yang terburu-buru memberikan "resep" tanpa berusaha mendengarkan secara empatik terlebih dahulu. Bagaimana sang Ayah bercerita bahwa ia juga pernah mengalami masa-masa itu, masa saat ia membenci pergi ke sekolah. Setelah itu percakapan selesai, sang anak merasa kecewa karena merasa tidak dimengerti.
Kita tidak akan pernah sampai ke masalahnya jika kita begitu terjebak dalam kerangka autobiografi kita sendiri, paradigma kita sendiri, jika kita tidak melepas kacamata kita cukup lama untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain.
Ada satu hal yang menarik, ternyata saat seseorang mampu bercerita tentang keadaannya, masalahnya, justru dari situlah ia dapat memandang solusi lebih jelas. Bukan karena masukan dari orang lain.
Ada saat-saat ketika transformasi menuntut nasihat yang tidak berasal dari luar. Seringkali saat orang benar-benar diberi kesempatan untuk membuka diri, mereka mengungkapkan masalah mereka dan solusinya menjadi jelas bagi mereka dalam proses keterbukaan itu.
Tapi kesempatan untuk membuka diri itu memang sulit ditemukan. Karena sulit itu, kita seharusnya belajar untuk menjadi pendengar yang empatik. Mungkin kita tidak bisa memberikan solusi atau masukan, namun semoga dengan kita mendengarkan, orang tersebut bisa menemukan solusinya lewat proses keterbukaan tersebut. 

***

Saat Mendengarkan dengan Empati


Seorang pendengar empatik yang bijak bisa membaca apa yang terjadi jauh di dalam dengan cepat dan bisa menunjukkan penerimaan seperti pemahaman bahwa orang lain merasa aman untuk membuka lapis demi lapis sampai mereka mencapai inti dalam. yang lembut, tempat masalah yang sebenarnya berada.
Saat kita mendengarkan dengan empati, kita bisa mengetahui akar masalah sebenarnya. Karena saat kita mendengarkan dengan empati, orang akan merasakan aman. Ia tidak menutup diri karena takut dihakimi atau takut tidak bisa dipahami. Karena ia bisa melihat bahwa kita berusaha untuk mengerti.

Bagaimana kalau orang lain tidak juga membuka diri, meski kita sudah mendengarkan dengan empati?
Jangan mendesak; bersabarlah; hormatilah. Orang tidak harus membuka diri mereka secara lisan sebelum Anda bisa berempati. Anda bisa berempati setiap saat dengan perilaku mereka. Anda bisa bersikap cerdas, sensitif, dan sadar, serta bisa hidup di luar autobiografi Anda saat diperlukan. - Stephen R. Covey 
Orang itu mungkin masih memilih untuk diam dan belum bisa terbuka, itu pilihan mereka. Tapi kita juga punya pilihan, untuk tetap berempati dan berusaha mengerti terlebih dahulu sebelum dimengerti.

***


Terakhir, pesan untukku yang masih harus belajar menjadi pendengar...
Cobalah untuk mengerti lebih dulu. Sebelum masalah muncul, sebelum Anda berusaha mengevaluasi dan memberikan solusi, sebelum berusaha menyajikan ide-ide Anda sendiri - berusahalah mengerti.
Allahua'lam.

***

Keterangan:

Tulisan ini merupakan bagian dari #sabtulis. Apa itu sabtulis? Sabtulis adalah gerakan menulis di hari Sabtu bagi sobat yang ingin menjadikan malam minggunya lebih produktif, melatih kemampuan menyampaikan gagasan atau mengekspresikan diri melalui tulisan, serta membentuk kebiasaan baik dalam menulis. Mari ikutan!

2 comments:

  1. Menjadi pendengar yang baik dapat membahagiakan orang lain dan diri sendiri. Sudah sedikit sekali saat ini orang ingin mendengarkan bahkan empati pada masalah ataupun keluhan orang lain.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya, di era sekarang tingkat individualisme tinggi. ga mudah untuk menjadi pendengar yang baik. Tapi kita bisa berusaha menjadi salah satunya.

      Delete

ditunggu komentarnya