#fiksi #random #gakpenting
*warning* super abstract, it won't give any benefit for you to read
***
Fa: Sola... simak baik-baik ya?
***
Fa: Sola... simak baik-baik ya?
Sol: (mengangguk)
Fa: Suatu waktu, di sebuah tempat, terdapat dua buah cangkir racun.
Sol: (mematikan notifikasi di hpnya, agar tidak mengganggu sesi dongeng dari Fa)
Fa: Cangkir pertama, berisi racun bubuk. Warna bubuknya seperti glitter, kerlap kerlip. Ada yang berwarna emas, merah, biru, hijau, silver, oranye dan hitam. Seperti glitter yang mudah menempel di benda apapun. Kerlap kerlipnya membuat pengembara yang melewatinya mendekat lalu tertarik untuk menyentuhnya. Bahkan dengan senang hati, banyak pengembara yang menjatuhkan racun bubuk tersebut ke seluruh tubuhnya. Seolah dengan menaburkannya, seseorang dapat terlihat lebih menarik karena kerlip dan warnanya.
Sol: Cangkir kedua?
Fa: Cangkir kedua berisi racun cair. Tidak berwarna, namun aromanya unik. Mengundang para pengembara yang haus untuk mencicipinya. Rasanya segar di awal, manis di tengah, dan sedikit meninggalkan rasa pahit di akhir. Setiap teguknya, menghadirkan kehausan yang lebih, seperti meminum air garam.
Sol: Lalu? Apa lagi yang istimewa dari dua cangkir tersebut?
Fa: Cangkir tersebut akan terisi ulang secara ajaib setiap seorang pengembara menghabiskannya. Jika pengembara tersebut masih serakah dan menghabiskan juga cangkir kedua dari dua cangkir racun tersebut, maka akan terisi lagi. Namun jika yang ketiga dihabiskan juga, dan cangkir itu terisi lagi... maka pengembara tersebut akan mulai merasakan efek racunnya.
Sol: Apa dua cangkir tersebut punya efek berbeda?
Fa: Ya, cangkir pertama, racun bubuk membuat pengembara lupa ingatan. Ia tidak ingat tempat yang ingin ia tuju, tidak pula ingat tempat kembali. Ia akan berputar bertahun-tahun di hutan tersebut, sampai mati ditelan sang waktu, atau mati karena terus menerus meminum dua cangkir racun pada setiap putarannya.
Sol: Efek racun cair?
Fa: Membuat pengembara mengajak pengembara lain untuk ikut menikmati dua cangkir racun tersebut, terus menerus, berantai, ibarat penyakit endemik.
Sol: Adakah penawar dua cangkir racun tersebut?
Fa: (tersenyum)
***
Dua atau tiga bulan yang lalu ditulis. Niatnya mau dibuat fiksi gitu, tapi ga bisa diselesaikan. Nyatanya ga mudah, membuat perumpamaan situasi nyata, ke fiksi. Di satu sisi sulit untuk menuliskannya secara terang dan lugas. Tapi menuliskannya dengan abstrak juga sulit. Tapi ide awal tulisan ini masih sering membuat otakku mengeras, seolah perlu dikeluarkan dan diekspresikan. Izinkan kucoba menyelesaikan draft ini, hari ini. Ditemani derai hujan sore, di sini.
***
Dua cangkir racun. Itu kata kuncinya. Satu sama lain saling menyakiti, menjadi racun bagi satu sama lain. Aku tidak tahu dari mana, dan kapan semua itu menjadi racun. Bukan aku yang meminumnya, tapi ia. Ia yang meminum racunnya, tapi melihatnya tersakiti dan semakin parah, karena racun yang pernah ia teguk di masa lalu, aku... juga merasa sakit. I can't bear to see it.
***
Ia berkata padaku, ia sudah tidak peduli pada sosok itu. Kuragukan kalimatnya, yakin ga peduli? Trus tulisan-tulisan itu? Bukankah itu semua ditulisnya, agar sosok itu membacanya? Bukankah ia pernah mengaku padaku, bahwa kata-kata yang tidak indah itu, merupakan bentuk ia mencari perhatian sosok itu. Berharap sosok itu... baca, tahu, dan merasa bersalah.
Ia menjawab, itu bukan peduli. Itu benci kesumat, dendam. Sosok itu melukainya, aku tahu, kau terluka karena sosok itu. Meski aku tidak bisa melihat seberapa parah luka yang sosok itu tinggalkan di dirinya. Yang aku tahu, ia membiru, membeku, mengeras karena secangkir racun yang ia teguk, ya... ia mungkin menyalahkan sosok itu, karena sosok itu yang menyodorkan cangkir berisi racun. Tapi aku tidak bisa pura-pura tidak tahu. Bahwa meski yang menyajikan secangkir racun itu sosok tersebut, yang mengangkat cangkir, dan membiarkan racun tersebut mengalir ke dalam kerongkongannya, adalah tangannya sendiri.
***
Dua cangkir racun. Meski aku tidak mengenal sosok yang sering ia maki, tapi aku tahu, bahwa saat ia meminum racun, ada dua cangkir. Dan sosok itu juga meminumnya. Keduanya, awalnya mungkin tidak tahu, tidak sadar, atau mungkin tahu dan sadar namun khilaf, bahwa masing-masing hanya akan menyakiti satu sama lain. Racun, ya, sebuah racun tidak langsung bekerja secara instan, perlahan-lahan racun masuk ke aliran darah, membuat jantung perih, mengeras, membuat tubuh mengejang.
Ingin sekali, aku carikan untuknya, penawar racun tersebut. Namun aku bukan ia, bukan pula sosok yang setiap hari ia lemparkan batu. Aku cuma orang luar, penonton, yang berada jauh... jarak ini bahkan membuat suaraku tidak mampu sampai mengetuk gendang telinganya.
Aku melihatnya dari jauh, efek racun yang menggerogoti jiwa dan raganya. Aku tidak bisa membuta. Aku tidak bisa pura-pura tidak melihatnya. Aku harus mendekat padanya, mengingatkannya agar mau mencari penawarnya, bukan justru fokus mencari sosok tersebut dan ingin membalas dendam pada sosok tersebut. Aku tidak boleh diam saja.
***
Tapi aku tahu apa? Aku sebenarnya tidak tahu apa-apa. Aku belum pernah melihat cangkir racunnya, warna racunnya, apa unsur-unsur yang menyusun racunnya.
Tapi aku tahu apa? Aku sebenernya tidak tahu apa-apa. Aku belum pernah, dan semoga tidak penah, di posisinya. Saat ia bertemu sosok itu, duduk berdua berhadapan dengan cangkir di tangan masing-masing. Seperti terbuai semu dan mengira yang di dalam cangkir adalah air madu yang manis dan berkhasiat. Dibutakan oleh situasi, momen, waktu, kalimat demi kalimat, harapan demi harapan, juga bisik bisik suara jahat yang membuat masing-masing tak segan menelan tetes demi tetes racun.
Dua Cangkir Racun.
***
Ya, aku tidak tau apa-apa. Tapi aku tahu satu hal. Bahwa Allah tidak menciptakan penyakit tanpa obat. Allah tidak menciptakan racun tanpa penawarnya.
Dan aku... situasi ini, saat aku melihatnya dari kejauhan, jiwa dan raganya rapuh. Aku percaya Allah menuliskan skenario ini untuk sebuah hikmah dan pelajaran. Aku tidak boleh berdiam, meski saat ini aku masih ketidaktahuan dan kebingungan, bagaimana cara membuatnya kembali padaNya, kemudian sama-sama meminta padaNya penawar dua cangkir racun tersebut.
Allahua'lam.
***
PS: maaf super abstrak. But I really need to write about this. Especially today, especially this afternoon.
***
Dua atau tiga bulan yang lalu ditulis. Niatnya mau dibuat fiksi gitu, tapi ga bisa diselesaikan. Nyatanya ga mudah, membuat perumpamaan situasi nyata, ke fiksi. Di satu sisi sulit untuk menuliskannya secara terang dan lugas. Tapi menuliskannya dengan abstrak juga sulit. Tapi ide awal tulisan ini masih sering membuat otakku mengeras, seolah perlu dikeluarkan dan diekspresikan. Izinkan kucoba menyelesaikan draft ini, hari ini. Ditemani derai hujan sore, di sini.
***
Dua cangkir racun. Itu kata kuncinya. Satu sama lain saling menyakiti, menjadi racun bagi satu sama lain. Aku tidak tahu dari mana, dan kapan semua itu menjadi racun. Bukan aku yang meminumnya, tapi ia. Ia yang meminum racunnya, tapi melihatnya tersakiti dan semakin parah, karena racun yang pernah ia teguk di masa lalu, aku... juga merasa sakit. I can't bear to see it.
***
Ia berkata padaku, ia sudah tidak peduli pada sosok itu. Kuragukan kalimatnya, yakin ga peduli? Trus tulisan-tulisan itu? Bukankah itu semua ditulisnya, agar sosok itu membacanya? Bukankah ia pernah mengaku padaku, bahwa kata-kata yang tidak indah itu, merupakan bentuk ia mencari perhatian sosok itu. Berharap sosok itu... baca, tahu, dan merasa bersalah.
Ia menjawab, itu bukan peduli. Itu benci kesumat, dendam. Sosok itu melukainya, aku tahu, kau terluka karena sosok itu. Meski aku tidak bisa melihat seberapa parah luka yang sosok itu tinggalkan di dirinya. Yang aku tahu, ia membiru, membeku, mengeras karena secangkir racun yang ia teguk, ya... ia mungkin menyalahkan sosok itu, karena sosok itu yang menyodorkan cangkir berisi racun. Tapi aku tidak bisa pura-pura tidak tahu. Bahwa meski yang menyajikan secangkir racun itu sosok tersebut, yang mengangkat cangkir, dan membiarkan racun tersebut mengalir ke dalam kerongkongannya, adalah tangannya sendiri.
***
Dua cangkir racun. Meski aku tidak mengenal sosok yang sering ia maki, tapi aku tahu, bahwa saat ia meminum racun, ada dua cangkir. Dan sosok itu juga meminumnya. Keduanya, awalnya mungkin tidak tahu, tidak sadar, atau mungkin tahu dan sadar namun khilaf, bahwa masing-masing hanya akan menyakiti satu sama lain. Racun, ya, sebuah racun tidak langsung bekerja secara instan, perlahan-lahan racun masuk ke aliran darah, membuat jantung perih, mengeras, membuat tubuh mengejang.
Ingin sekali, aku carikan untuknya, penawar racun tersebut. Namun aku bukan ia, bukan pula sosok yang setiap hari ia lemparkan batu. Aku cuma orang luar, penonton, yang berada jauh... jarak ini bahkan membuat suaraku tidak mampu sampai mengetuk gendang telinganya.
Aku melihatnya dari jauh, efek racun yang menggerogoti jiwa dan raganya. Aku tidak bisa membuta. Aku tidak bisa pura-pura tidak melihatnya. Aku harus mendekat padanya, mengingatkannya agar mau mencari penawarnya, bukan justru fokus mencari sosok tersebut dan ingin membalas dendam pada sosok tersebut. Aku tidak boleh diam saja.
***
Tapi aku tahu apa? Aku sebenarnya tidak tahu apa-apa. Aku belum pernah melihat cangkir racunnya, warna racunnya, apa unsur-unsur yang menyusun racunnya.
Tapi aku tahu apa? Aku sebenernya tidak tahu apa-apa. Aku belum pernah, dan semoga tidak penah, di posisinya. Saat ia bertemu sosok itu, duduk berdua berhadapan dengan cangkir di tangan masing-masing. Seperti terbuai semu dan mengira yang di dalam cangkir adalah air madu yang manis dan berkhasiat. Dibutakan oleh situasi, momen, waktu, kalimat demi kalimat, harapan demi harapan, juga bisik bisik suara jahat yang membuat masing-masing tak segan menelan tetes demi tetes racun.
Dua Cangkir Racun.
***
Ya, aku tidak tau apa-apa. Tapi aku tahu satu hal. Bahwa Allah tidak menciptakan penyakit tanpa obat. Allah tidak menciptakan racun tanpa penawarnya.
Dan aku... situasi ini, saat aku melihatnya dari kejauhan, jiwa dan raganya rapuh. Aku percaya Allah menuliskan skenario ini untuk sebuah hikmah dan pelajaran. Aku tidak boleh berdiam, meski saat ini aku masih ketidaktahuan dan kebingungan, bagaimana cara membuatnya kembali padaNya, kemudian sama-sama meminta padaNya penawar dua cangkir racun tersebut.
Allahua'lam.
***
PS: maaf super abstrak. But I really need to write about this. Especially today, especially this afternoon.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya