Follow Me

Thursday, April 12, 2018

Why Did You Hide?

Bismillah.

#fiksiku

Pertanyaan itu dilemparkan kepadaku. Dengan ketus kutampik, "Nggak, aku nggak sembunyi". Aku sedang menunggu teman, dan aneh rasanya menunggu di tengah lorong, jadi aku menepi, dan itu bukan persembunyian.

Ingin rasanya memperpanjang penjelasan, agar ia paham, aku tidak memiliki alasan untuk bersembunyi darinya maupun dari orang lain. Aku mungkin memang tidak akan menyengaja menemui banyak orang, aku hanya akan menyengaja bertemu dengan orang-orang yang ingin kusapa, orang-orang yang dengan mereka aku bisa ringan bercerita semua, karena mereka sudah tahu, dan aku tahu mereka menerimaku, kekuranganku. Tapi tidak menyengaja untuk bertemu bukan berarti bersembunyi. Sungguh, I won't hide, I won't even ignore. Jika memang tanpa sengaja bertemu, aku tidak akan bersembunyi atau menghindar. Aku mungkin bisa tersenyum dan memulai sapaan, bertukar pertanyaan, kemudian melanjutkan aktivitasku.

***

Why did you hide? Tanyanya saat itu. Itu bawa apa? Tanyanya lagi. Aku melihat tas kertas batik di tangan kananku. Oh, ini... hadiah untuk temanku, hari ini hari istimewa, bukan hari lahir memang, tapi ini hari tanda ia telah menyelesaikan salah satu tugasnya. Dan aku hadir jauh-jauh untuk berada di sampingnya di hari istimewa tersebut. Ia mengangguk pelan, mungkin menyadari kesalahan pertanyaannya. Semoga ia sadar, bahwa jika aku benar-benar memilih bersembunyi, maka aku tidak mungkin di sana, dan berniat kesana.

Tahu A? Tanyanya.. Ini juga hari istimewanya. Aku sedikit terkejut pada informasi yang kudengar darinya, aku kira hari istimewanya sudah lewat beberapa tahun yang lalu. Kusebutkan padanya, berarti ada banyak orang, yang hari itu.. adalah hari istimewa. Bukan cuma temanku, bukan cuma A, tapi banyak orang.

***

Ia pergi, saat yang ia cari di lorong itu, ternyata sedang ada urusan di tempat lain. Entah basa-basi atau benar-benar bertanya, ia sebutkan nama kecamatan itu. Aku jawab, hanya tahu angkot dengan jurusan tersebut, namun belum pernah kesana. Ia pergi, dan aku... masih merasa ofensif pada pertanyaannya.

Why did you hide?

Aku bertanya pada diri sendiri saat ini, ditulisan ini. Apa rasa ofensif dan keinginan menuliskan ini, adalah tanda... kalau sebenarnya saat itu aku bersembunyi? Darinya? Karena apa? Karena menghindari pertanyaan klise saat orang-orang berpapasan setelah lama tidak bersua? Karena itu?

Jawabanku tetap sama. Aku tidak bersembunyi. Sungguh. Saat itu aku tidak bersembunyi. Karena jika aku memang berniat bersembunyi, saat kulihat ia datang ke arahku, aku seharusnya berbalik dan segera pergi dari lorong itu, menuju jalan sempit yang lebih gelap. Di sana tempat sembunyi yang cocok. Tapi saat ia mendekat ke tepi lorong tempat aku bersembunyi, aku menyapanya, ya, aku yang terlebih dahulu menyebut namanya. Menceritakan padanya, bahwa temanku mengenalinya dari jauh, namun aku enggan mencari tahu lebih jauh, bukan karena ingin bersembunyi, hanya karena, buat apa? Haha.

***

Dua, tiga atau hampir sepekan setelah pertanyaan itu dilempar padaku. Aku kemudian teringat, bahwa aku mungkin juga melemparkan pertanyaan yang membuat ia tidak nyaman. Di sini... izinkan aku meminta maaf. Mungkin lebih baik, kalau saat itu aku sembunyi. Sehingga ia tidak perlu menjelaskan padaku, mengapa ia ada di sana. Maaf, jika karena pertanyaanku, ia tidak bisa bersegera pergi karena segan dan bingung mengakhiri percakapan. Aku kurang pandai membaca bahasa non verbal, saat itu. Kalau diingat lagi, padahal jelas terlihat berulangkali gerak kakinya ingin segera pergi. Tapi pertanyaan pertamanya, padaku, membuatku ingin membuktikan padanya, sungguh aku tidak sedang bersembunyi.

Jadi, maaf. Ia salah. Aku tidak bersembunyi. I didn't hide that time.

The End.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya