Follow Me

Thursday, September 6, 2018

Bukan Depresi Tapi Acedia

Bismillah.
#blogwalking

Bukan depresi, tapi saudaranya depresi. Namanya Acedia.


Entah sejak kapan aku suka baca artikel tentang psikologi. Nah.. waktu itu, aku buka medium dan melihat tulisan ini. Inti tulisannya, menerangkan, bahwa banyak orang yang merasa depresi, padahal bisa jadi bukan itu yang ia alami.
When I started researching depression for a book I was writing, our organization surveyed five hundred men and women. When we compiled their answers, many of them explained the exact symptoms of acedia. Because depression is complex and we use one word to lump several aspects together, the healing process can become confusing. It’s like the word “love” in effect. While I love my wife, I also love breakfast tacos. But I certainly don’t “love” the two the same way. That morning over coffee, I explained to my friend that due to the way depression and acedia intertwine, he could be dealing with both at the same time.
“The good news and bad news, however,” I told him, “is acedia is a condition you can fight, but fighting it can also be mundane and feel as if you’re getting nowhere.”
- Benjamin Sledge, "You Might Not Actually Be Struggle with Depression"
***

Baca selengkapnya di link di atas ya. Aku di sini mau nambahin commentary ga penting hehe. 

Jadi.. karena baca banyak artikel tentang psikologi, trus kenalan sama beberapa penyakit mental seperti bipolar disorder, OCD, schizophrenia, dll.. rasanya kaya kenalan sama dunia baru. Kalau sebelumnya sakit itu cuma tentang yang bersarang di jasad, kini ada juga penyakit mental. 

Trus aku inget.. masa-masa aku hilang dari peredaran, pernah juga baca orang lain yang ngalamin kaya gitu. Masuk gua, sebelum akhirnya terpaksa menghadapi yang harus diselesaikan. Waktu itu.. karena banyak menghabiskan waktu sendiri, dan berteman dengan buruk sangka, swring overthinking, aku sering menjudge diriku. Am I sick? Why is it so hard to meet people? Ya.. karena saat menghilang dari peredaran, yang aku lakukan adalah sebisa mungkin tidak bertemu siapapun. Beli stok makanan dua hari sekali, dll. Sampai aku bertemu seorang teteh, Teh Icha, waktu itu sedang menyelesaikan studi S2 Psikologinya. Dari obrolan dengannya, aku dapet satu insight. Jangan sembarangan buat diagnosis, baik itu sakit fisik maupun psikis. Kita bukan dokter. 

Anak-anak muda sekarang, banyak terpapar juga informasi menarik tentang psikologi. Dan kebanyakan informasi itu meski benar, ternyata efeknya ga selalu positif. Merasa down sedikit, langsung mikir, aku depresi apa ya? Oh ya, bisa jadi aku salah ya. Aku cuma melihat fenomena di line square yang aku gabung. Mayoritas isinya anak-anak SMA, they talk in english way better than me. Topik obrolannya macem-macem, tapi salah satu yang sering berulang adalah tentang depresi dan... one of them keep talking that he/she want to end his/her life. Yang lebih menyakitkan lagi, aku cuma bisa baca, kadang menulis satu dua kalimat. Selebihnya,.. ga ada. 

Aku tahu... secara psikologi penyakit itu memang ada. Depresi itu ada, dan dialami orang-orang. Tapi jujur.. kalau aku.. aku ingin menyederhanakannya. Bukan depresi.. bukan acedia juga... cuma hal normal yang kadang dialami manusia. Down, merasa sedih, takut, cemas, dan segala perasaan negatif lainnya. Ingin rasanya menyederhanakannya.. bahwa semua itu, bisa perlahan, dengan jatuh bangun usaha, dihapus, pelan dihilangkan dan dikurangi.. caranya, mendekat ke Allah. 

Daripada ke psikiater, diberi resep depressant. Lebih mudah mendekat padaNya, minta obat kepadaNya. DIA yang berjanji, bahwa setiap penyakit pasti ad obatnya. Entah itu penyakit fisik maupun psikis. Mungkin anxiety disorders yang membuat kita sulit bertemu banyak orang dan memilih mengurung diri di kamar, berminggu-minggu, berbulan, bahkan bertahun. Tapi bagiku, lebih mudah menyederhanakannya. Bahwa saat bertemu dengan orang lain terasa menyakitkan, hubungan dengan sesama rumit, mungkin itu cermin, bahwa hubungan kita dengan Allah pun begitu. Jauh dari baik. Maka... perlu mencoba berdoa padaNya, belajar lagi curhat dan meminta bantuan padaNya. Belajar lagi membuka dan membaca kalamNya. Belajar lagi, mengunjungi rumahNya, mendengarkan adzan, shalat berjamaah, melihat orang-orang asing yang lalu lalang hadir untuk memenuhi kewajiban shalat. Lalu lewat itu.. jadi dengerin kajian di masjid. Meski ga duduk di tempat yang disediakan, masih mojok di tempat terpencil, sendiri, tapi sound system masjid cukup untuk telinga kita mendengarkan nasihat-nasihat dari majelis ilmu tadi. Belajar juga membuka buku.. buku yang isinya mengingatkan kita padaNya. 

Aku ingat perjalananku baca buku berjudul Amalan Penghilang Susah (:, isinya padahal mungkin udah pernah tahu. Tapi mungkin membacanya saat butuh, jadi lebih terasa. Diingatkan lagi tentang dzikir, tentang doa, tentang sedekah. Amalan-amalan itu... jatuh bangun berusaha mengamalkannya, jauh-jauh dari sempurna.

Aku masih suka membaca artikel psikologi, selalu menarik mengetahui keunikan dan kecanggihan manusia. Lalu jadi bertanya, siapa yang menciptakanNya? Allah.. 

Lalu saat merasa tinggi karena manusia begitu kompleks dan canggih, kita diingatkan bahwa penciptaan manusia masih tidak ada apa-apanya dibandingkan pencitaan bumi dan isinya, dibandingkan penciptaan alam semesta.


لَخَلْقُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ أَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ ٱلنَّاسِ وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
(QS Ghafir : 57)

Allahua'lam. 

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya