#fiksi
Dua orang perempuan memakai kerudung berwarna tosca. Yang satu kerudung langsungan, bahan kaos. Yang satunya lagi, pashmina.
Perempuan dengan kerudung langsungan menyeruput minuman di hadapannya.
"Pahit," ucapnya. Perempuan berkerudung pashmina mengalihkan pandangannya dari layar gadget yang sedari tadi berkelap-kelip membuat ia mengabaikan temannya.
"Pahit?", tanya perempuan itu heran, sembari memperbaiki kerudung pashminanya.
"Ya, Pahit, Mia". Jawaban Qiara tidak menghilangkan ekspresi heran di wajah Mia. Jelas-jelas, yang Qiara minum jus mangga, harusnya masam, atau terlalu manis. Ini pahit?
"Apa yang pahit?" tanya Mia, matanya melihat ke gadget yang notifikasinya masih memanggil-manggil fokusnya.
"Life", jawab Qiara singkat. Mia memutuskan mematikan gadgetnya supaya bisa fokus ke Qiara, sohib introvertnya, yang khas dengan jawaban pendeknya.
"Ada apa? Did something happen?" pertanyaan Mia dijawab dengan gelengan kepala Qiara. Mata Mia menatap sahabatnya, masih belum puas, ia tidak bisa menelan gelengan Qiara sebagai jawaban.
"Ga ada apa-apa. Cuma kerasa aja, kalau hidup itu pahit"
"Beneran?" tanya Mia, masih ragu. Qiara mengangguk, kemudian meminum lagi jusnya sampai tinggal satu senti dari dasar gelas.
"Qi, hidup itu nano-nano," ucap Mia, kemudian ia bersenandung lagu khas iklan permen "Manis asam asin, rame rasanya", membuat Qiara tersenyum.
"Tapi Mia..", Qiara menjeda kalimatnya, menghabiskan jusnya sampai terdengar bunyi seruput khas sedotan membuat mata Mia membelalak, kemudian melihat ke sekitar. Qiara malah menyengir kemudian berucap pendek, "Sorry, I'm thirsty".
"Jadi apa? Apa tapinya?" tanya Mia mengingatkan Qiara untuk melanjutkan kalimatnya. Mia takut, kalau Qiara memilih menelan lagi pikirannya seperti biasanya. Qiara memang sering dan hampir selalu begitu, kalimat pendek, satu dua kata, kemudian berhenti, membuat Mia terasa digantung karena rasa penasarannya. Ya, Mia banyak ingin tahu tentang apa-apa yang ada di otak Qiara, perasaannya, pikirannya, kegelisahannya.
"Aku lebih suka mengecap hidup yang pahit, ketimhang rasa lainnya." jelas Qiara. Mia masih menatap Qiara yang memutar-mutar sedotan di gelas jus yang kosong, hanya tersisa sedikit warna kuning oranye mangga.
"Sometimes sweetness, sourness and salty can still be addicted. Then I get addicted in this worldly life"
Mia meminum kopi di cangkirnya, kemudian menyatakan ketidaksetujuannya.
"Salah Qi.. rasa pahit juga bisa bikin nagih. Contohnya kopi hitam ini.."
Qiara tak mau kalah. Ia mulai menjelaskan bahwa yang membuat kopi adiktif itu bukan rasa pahitnya, tapi kafein di dalamnya.
Mia mendengus pelan, kalah. Qiara tersenyum melihat ekspresi sohibnya. Ia memutar-mutar lagi sedotan di gelas kosongnya.
"Mi.. can I order one more glass?" Mia mengangguk.
"Tapi minuman di sini mahal," ucap Qiara lirih.. Melihat Qiara ragu, Mia segera memanggil pelayan dan mengabaikan komentar Qiara tentang mahalnya minuman di kafe tersebut. Bagi Mia, itu tidak mahal, karena ia bisa mengobrol lebih lama dengan Qiara. Tidak mudah mendengarkan suara Qiara, ia lebih sering diam, dan sering tidak mau kalah dalam mengungkapkan opininya. Tapi justru sisi itu, yang membuat Mia senang bersahabat dengannya.
The End.
"Tapi Mia..", Qiara menjeda kalimatnya, menghabiskan jusnya sampai terdengar bunyi seruput khas sedotan membuat mata Mia membelalak, kemudian melihat ke sekitar. Qiara malah menyengir kemudian berucap pendek, "Sorry, I'm thirsty".
"Jadi apa? Apa tapinya?" tanya Mia mengingatkan Qiara untuk melanjutkan kalimatnya. Mia takut, kalau Qiara memilih menelan lagi pikirannya seperti biasanya. Qiara memang sering dan hampir selalu begitu, kalimat pendek, satu dua kata, kemudian berhenti, membuat Mia terasa digantung karena rasa penasarannya. Ya, Mia banyak ingin tahu tentang apa-apa yang ada di otak Qiara, perasaannya, pikirannya, kegelisahannya.
"Aku lebih suka mengecap hidup yang pahit, ketimhang rasa lainnya." jelas Qiara. Mia masih menatap Qiara yang memutar-mutar sedotan di gelas jus yang kosong, hanya tersisa sedikit warna kuning oranye mangga.
"Sometimes sweetness, sourness and salty can still be addicted. Then I get addicted in this worldly life"
Mia meminum kopi di cangkirnya, kemudian menyatakan ketidaksetujuannya.
"Salah Qi.. rasa pahit juga bisa bikin nagih. Contohnya kopi hitam ini.."
Qiara tak mau kalah. Ia mulai menjelaskan bahwa yang membuat kopi adiktif itu bukan rasa pahitnya, tapi kafein di dalamnya.
Mia mendengus pelan, kalah. Qiara tersenyum melihat ekspresi sohibnya. Ia memutar-mutar lagi sedotan di gelas kosongnya.
"Mi.. can I order one more glass?" Mia mengangguk.
"Tapi minuman di sini mahal," ucap Qiara lirih.. Melihat Qiara ragu, Mia segera memanggil pelayan dan mengabaikan komentar Qiara tentang mahalnya minuman di kafe tersebut. Bagi Mia, itu tidak mahal, karena ia bisa mengobrol lebih lama dengan Qiara. Tidak mudah mendengarkan suara Qiara, ia lebih sering diam, dan sering tidak mau kalah dalam mengungkapkan opininya. Tapi justru sisi itu, yang membuat Mia senang bersahabat dengannya.
The End.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya