#buku
-Muhasabah Diri-
Alhamdulillah pindah buku lagi, beberapa hari ini saya berusaha membaca buku Madarijus Salikin karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, buku yang sudah dibeli lama tapi belum pernah dibuka, akhirnya saya beranikan memulai membaca.
dari sini |
Buku terbitan Al Kautsar dengan sub-judul Pendakian Menuju Allah, Penjabaran Konkrit "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in". Kesannya berat ya? Hehe. Bismillah, izinkan aku menulis, mengutip beberapa yang saya dapat dari lembar-lembar yang sudah saya baca.
Al-Fatihah dan Dua Penyakit Kronis Hati | Dua Dasar Ibadah dan Isti'anah
Tiga kalimat itu membuatku berpikir, apa hubungan dua penyakit hati yang kronis itu, dengan lafal yang setiap hari kita baca, namun sering kali di bibir saja, dan tidak masuk ke hati TT.Hati itu mudah terjangkiti dua macam penyakit yang kronis. Jika seseorang tidak mengobatinya, tentu dia akan binasa yaitu riya' dan takabur. Obat riya adalah iyyaka na'budu, sedangkan obat takabur adalah adalah iyyaka nasta'in.
Riya vs Iyyaka Na'budu
Ketika seseorang mempunyai penyakit riya' di hatinya, maka setiap ia beribadah tujuannya adalah agar dilihat manusia. Ini bertentangan dengan iyyaka na'budu, yang maknanya, 'hanya kepada Allah aku menyembah'. Ketika hati kita riya, maka kita tidak hanya tunduk kepada Allah, namun juga tunduk pada nafsu ingin terlihat, tunduk pada pandangan manusia. Padahal kalau menurut penjelasan di buku ini,
Ibadah mengandung dua dasar: Cinta dan Penyembahan. Menyembah di sini artinya, merendahkan diri dan tunduk. Siapa yang mengaku cinta namun tidak tunduk, berarti bukan orang yang menyembah. Siapa yang tunduk namun tidak cinta, juga bukan orang yang menyembah.
Ketika kita riya, kita sebenarnya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ayat yang kita ucapkan, iyyaka na'budu. Maka ketika kita belajar memahami maknanya, kemudian menjalankan maknanya, dengan itu... kita mengobati penyakit riya di hati kita, dengan izin Allah.
Takabur vs Iyyaka Nasta'in
Ketika seseorang mempunyai penyakit takabbur di hatinya, ia memandang dirinya tinggi dan mampu melakukan banyak hal tanpa bantuan siapapun. Ini bertentangan dengan iyyaka nasta'in, yang maknanya, 'hanya kepada Allah aku meminta pertolongan'. Ketika hati kita takabur, maka kita merasa seolah tidak membutuhkan bantuan Allah, seolah semua hal berada dalam kuasa kita. Ketika kita takabur maka kita seolah tidak membutuhkan Allah, mungkin kita percaya pada Allah, namun kita tidak bersandar pada Allah. Padahal isti'anah menurut penjelasan di buku ini,
Isti'anah (memohon pertolongan) menghimpun dua dasar: kepercayaan terhadap Allah dan penyandaran kepada-Nya. Ada kalanya seorang hamba menaruh kepercayaan terhadap seseorang, tapi dia tidak menyandarkan semua urusan kepadanya, karena dia merasa tidak membutuhkan dirinya. Atau ada kalanya seseorang menyandarkan berbagai urusan kepada seseorang padahal sebenarnya dia tidak percaya kepadanya, karena dia merasa membutuhkannya dan tidak ada orang lain yang memenuhi kebutuhannya.
Sampai sini dulu ya.. penjelasan tentang itu, jujur membuatku berkaca ulang. Ada yang salah dengan saya, saya... dan iyyaka nasta'in. Saya pernah cerita kan, sering mungkin di blog ini, tentang fase gelap, fase jurang, fase saya kehilangan diri saya sendiri. Saat itu.. mungkin saat itu benar kata Ayah, hati saya berpenyakit, sombong takabur. Saya tidak memaknai dengan benar lafal iyyaka nasta'in dalam menjalani hari-hari saya.
Ada saat-saat saya percaya pada Allah, namun sebenarnya saya tidak menyandarkan diri saya kepada Allah. Saya lebih banyak bersandar pada diri sendiri, yang hasilnya? Hancur, sakit hati, bagaimana saya bisa bersandar pada diri, yang lemah, yang hina? TT Semoga lewat fase kelam itu saya belajar, untuk menyembuhkan penyakit hati takabur.
Ada juga saat-saat saya bersandar pada Allah, namun saya tidak percaya, atau tidak berbaik sangka pada Allah. Yang ada dipikiran saya hanya hal-hal negatif melulu. Yang ini juga menyalahi makna yang sebenarnya dari iyyaka nasta'in.
Saya tidak membahas yang pertama (riya'), bukan karena saya merasa terbebas darinya. Tapi jujur, yang pertama kali saya lihat, saat membaca buku ini, dan berkaca, adalah yang kedua. Betapa saya congak, dan sombong. Betapa saya seringkali tidak memenuhi dua dasar isti'anah, seringnya meninggalkan salah satunya.
Saat itu, alhamdulillah Allah masih memberi kesempatan saya untuk kembali pada-Nya, berusaha kembali mencari jalan yang benar, meski sudah lama tersesat, dan malah memilih jalan yang salah. Lewat sebuah quotes sederhana yang pernah saya bagi di sini.
don't know how to start (from unsplash) |
Saat itu saya tidak tahu harus memulai dari mana, tapi saya membutuhkan bantuannya, belajar lagi untuk merendah dan meminta tolong padaNya, sembari memperbaiki sikap mental saya kepada Allah, dari tidak mau tahu menjadi peduli, dari buruk sangka menjadi ber-husnuzhzhan, dari ragu menjadi yakin. Pelan-pelan, lewat tanda-tanda kecil Allah menuntunku.
Sekarang penyakitnya mungkin belum sembuh. Masih terlihat dari interaksi antarmanusia, rasa berat untuk minta bantuan. Mungkin proses sembuhnya memang lama, atau memang harus selalu diulang-ulang. Karena hati kita lemah dan mudah berbolak-balik. Seringkali dua penyakit itu hinggap, baik riya maupun takabbur.
***
Membaca buku ini juga membuatku teringat, bagaimana seharusnya kita belajar Quran, satu ayat, dibahas secara mendalam sampai jadi satu buku. Sedangkan seringkali, kita belajar satu hal dengan banyak ayat, yang efeknya, pengetahuannya hanya di permukaan saja. Bukan berarti lebih baik ga belajar ya hehe. Pelan-pelan, belajar ayatNya, banyak berdoa agar dibimbing menyusuri jalan lurus, shiratal mustaqim.
Semoga setiap yang berjuang dalam belajar, berjuang dalam berhijrah, bisa sampai ke tujuan, bertemu dan berkumpul di JannahNya, semoga kita salah satunya. Aamiin.
Wallahua'lam.
***
PS: Ada lagi sebenernya, pengen ngutip bahasan tentang empat persinggahan, tapi dilanjut di lain waktu in syaa Allah.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya