#untukmuukhti
"Aku pengen marah, tapi sama diri sendiri"
"Tapi gatau caranya gimana", dua kalimat tersebut aku kirim, terpisah enter. Yang membaca, seorang sahabat, yang hampir setiap hari masih bertukar sapa, meski jarak antara kami lebih dari 100 mil.
Respon pertamanya, "Baguslah, daripada marah sama orang lain". Respon keduanya, yang membuatku mengerutkan dahi, "Caranya, dengan membahagiakan diri sendiri? Beli sunskrin?".
Kubalas dengan kalimat panjang, "Aku tanya caranya marah sama diri sendiri", enter. "Pengen marah kok malah dikasih tips membahagiakan diri. Ogah wkwkwk", lanjutku.
Balasan berikutnya dari gadis manis yang lebih muda dariku, "Dengan melakukan hal yang tak disukai tapi produktif." Aku terdiam membaca kalimatnya. Ia mungkin lebih muda dariku, tapi terkadang, atau justru sering, ia lebih dewasa dariku.
"Tapi gatau caranya gimana", dua kalimat tersebut aku kirim, terpisah enter. Yang membaca, seorang sahabat, yang hampir setiap hari masih bertukar sapa, meski jarak antara kami lebih dari 100 mil.
Respon pertamanya, "Baguslah, daripada marah sama orang lain". Respon keduanya, yang membuatku mengerutkan dahi, "Caranya, dengan membahagiakan diri sendiri? Beli sunskrin?".
Kubalas dengan kalimat panjang, "Aku tanya caranya marah sama diri sendiri", enter. "Pengen marah kok malah dikasih tips membahagiakan diri. Ogah wkwkwk", lanjutku.
Balasan berikutnya dari gadis manis yang lebih muda dariku, "Dengan melakukan hal yang tak disukai tapi produktif." Aku terdiam membaca kalimatnya. Ia mungkin lebih muda dariku, tapi terkadang, atau justru sering, ia lebih dewasa dariku.
***
Nama yang memberi saran, Asni Nuraeny. Sesuatu ya, tipsnya. Membuatku sadar, agar aku jangan salah milih sikap kalau lagi marah sama diri sendiri. Ya, melakukan hal yang tidak disukai, tapi produktif, itu saran yang bagus banget untukku. Hukuman yang tidak menzalimi diri sendiri.
Di sini, izinkan aku bercerita sedikit tentangnya, dan tentangku. Saran saya, ga perlu baca lanjutannya, karena curhat semua hehe. V *peace
Aku dan dia bertemu karena pernah tinggal di satu atap. Sama-sama penghuni yang sering terlihat di ruang internet. Itu saja. Tidak ada yang istimewa padahal waktu kami masih tinggal satu atap. Ia introvert, tidak ada kesamaan organisasi, tidak ada obrolan. Ah, ada yang sama. Satu kegiatan, sabtu siang, yang perjalanan menuju kegiatan tersebut memakan waktu satu jam, dua jam pulang pergi. Mungkin karena itu, kami jadi dekat, meski masih tidak saling curhat.
Kami justru makin dekat ketika aku sudah beranjak pergi dari atap itu. Ia yang memulai membuka diri dan bercerita padaku tentang ini itu. Aku, melihatnya dan mendengarnya, jadi percaya. Aku pun membuka diri, curhat ini itu.
Saat aku menghilang dari peredaran, ia salah satu yang mau mengkontakku lewat sms. Saat yang lain menyerah karena wa dan line-ku tidak bisa dihubungi, tak ada respon. Beberapa kali aku abaikan smsnya, atau aku balas dalam jangka waktu yang lama, tapi ia ... ia masih mau terus mengkontak terlebih dahulu, dan tidak kecewa kemudian menjauh.
Sejak itu, kami jadi sesekali bertemu. Saat aku sedang membaik dan bisa keluar dari gua, aku bertemu dengannya, sekedar makan bersama, dalam diam. Atau makan bersama, ia makan, aku menangis curhat ini itu. Lewatnya, aku sering diingatkan makan teratur. Lewatnya, aku jadi disadarkan lagi, bahwa makan makanan sehat itu pengaruh ke mood dan suasana hati.
Yang membedakan kami, adalah cara kami menumpahkan cerita. Entah sejak kapan, aku sendiri lupa. Tapi ia tidak pernah curhat via lisan, selalu diam dan menjadi pendengar saat kami bertemu. Kemudian tumpah ruah cerita dalam ribuan tulisan di aplikasi mesaging. Ia lebih memilih cerita lewat tulisan, lewat chat. Mungkin ia tidak mau aku melihat tangisnya. Mungkin.
Aku dan dia pernah ada di masa-masa gelap, kesulitan dengan masalah masing-masing. Ia dengan segala masalahnya. Aku dengan segala masalahku. Ia ada, di sampingku, saat aku jauh di bawah sana. Aku berharap, aku bisa jadi salah seorang yang bisa tetap di sampingnya, saat ia jauh di bawah sana. Keep reminding each other. Progres perbaikannya mungkin tidak bisa instan, tapi bukan berarti kami memilih menjauh ketika salah satu dari kami jatuh dan kehilangan diri sendiri.
Aku ingin belajar menjadi teman yang baik, kakak yang baik. Yang siap telinga dan mata untuk mendengar atau membaca ceritanya. Seremeh apapun itu. Karena aku tahu, ia selalu siap telinga dan mata untuk mendengar atau membaca ceritaku. Dan kami tidak perlu saling berpura-pura baik-baik saja, saat kami sedang tidak baik-baik saja. Serta tidak perlu saling berusaha memakai image yang sempurna di hadapan masing-masing.
***
bukan akar
(Photo by Markus Spiske on Unsplash)
|
Kalau jalinan ini, berakar dari kesamaan iman, dan kecintaan kepada Allah dan Rasulnya. Semoga Allah takdirkan kami berdua kelak tidak terpisah, bertemu lagi di JannahNya. Dan kalaupun, aku tertinggal, semoga ia mengingatku, dan menanyakannya pada Allah.
Allahua'lam.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya