Follow Me

Thursday, January 24, 2013

Aturan Yang Mengada-ada



-Muhasabah diri + SensiMe -

Seseorang beropini sebagai respon pernyataan bahwa sebaiknya tidak ada acara malam yang melibatkan ikhwan dan akhwat. Katanya.....
Kita harus keluar dr budaya2 yg dibuat2 nih hhe, kalo ngelanggar syariat.. baru an g mau , bs jd an blm tau pdhl emang g boleh
Masih orang yang sama. Menuliskan kalimat dibawah, sebagai keheranannya atas “taqlid” budaya. Terlalu mengada-ada, itu yang kutangkap darinya.

terkadang agak 'gajelas' dengan budaya euy urang, dikarang2 manusia. Termasuk peraturan yang jatuhnya taqlid tanpa berpikir hhe. Bukan gimana2, tapi ya gitu
Dua opini tersebut, somehow menggelitikku untuk ikut beropini. Tentang topik sama yang ia komentari.

***

Karena sudah baca SensiMe, maka seharusnya pembaca sudah tahu ke arah mana tulisan ini akan dibawa penulis. Yup. I don’t agree to his opinion. Aku hanya tertawa dalam hati membaca kalimatnya, kemudian mengomel sendiri –masih dalam hati-. Dan akhirnya, memutuskan untuk menulis opiniku lewat sesi SensiMe kali ini.
“Memang ada ya, peraturan jam malam akhwat tuh jam 8”
“Memang ada ya, peraturan kalau nggak boleh ada komunikasi ikhwan akhwat lepas jam 9?”
“Emang siapa yang buat peraturan itu? Memang dijelasin gitu di al quran? Memang rasulullah memberi contoh seperti itu?”
“Atau jangan-jangan, semua itu hanya karangan manusia”

Dan pertanyaan demi pertanyaan mungkin pernah sesekali, dua kali meluncur di pikiran, hati dan lisan kita. Wajar kok, kalau kita pernah bertanya hal serupa seperti di atas. Setidaknya, pertanyaan di atas menandakan kalau kita masih berpikir, tidak sekedar menerima semua input yang masuk. Ada proses yang terjadi di otak kita. Hm. Setidaknya kita mulai belajar, tentang urgensi ilmu di atas amal. Bukankah begitu? J
Pertanyaannya adalah, saat kita merasa hal itu “salah”. Bolehkah kita lantas men-judge orang lain taqlid? Hanya karena, kita melihat mereka “patuh” atas  aturan-aturan yang menurut kita mengada-ada. Tentu saja tidak kan? Karena kita tak pernah benar-benar tahu, apakah amal yang dilakukan seseorang sudah berlandaskan ilmu, atau sekedar ikut-ikutan? Kiranya kita setuju, bahwa kita tidak berhak men-judge seseorang sebelum benar-benar bertabayyun padanya : apakah landasan ia melakukan amal ini dan amal itu.

***

-Jika diijinkan-

Let me tell you, sebuah alasan mengapa diri masih mengikut pada aturan yang menurut orang tersebut diatas diada-adakan.

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (17:32)
Dan janganlah kamu mendekati zina.
Bagiku. Aturan tentang interaksi ikhwan akhwat yang dibatasi oleh jam, adalah salah satu turunan dari ayat di atas. Kita sama-sama tahu, bahwa zina itu adalah perbuatan keji. Bahkan, mendekatinya pun kita dilarang oleh Allah.

Dan janganlah kamu mendekati zina.

Malam hari, ikhwan-akhwat berinteraksi. Ah, bukankah kita harus begitu berhati-hati. Karena bisa jadi interaksi tersebut dapat dikatakan mendekati zina? Ya, bisa saja masing-masing pihak (ikhwan-akhwat) sudah mengerti batasan interaksi yang seharusnya. Ya, bisa saja awalnya tak ada niat untuk mendekati zina. Tapi coba tengok kejadian ini atau ini? Tidakkah kita belajar, bahwa setan selalu mengambil kesempatan di setiap celah kecil yang memungkinkan ia beraksi?

Dan janganlah kamu mendekati zina.

Jangankan interaksi fisik, bahkan ketika non fisik pun. Percaya tidak? Bisa jadi awalnya hanya sms penting saja, lalu tiba-tiba saling bertanya tentang diri, lalu salah seorang curhat, lalu pertanyaan dan pernyataan sangat tidak penting berhamburan. L Karena bahkan di jejaring sosial, baik malam atau siang, kita seringkali menemukan fenomena ikhwan-akhwat saling komen dan likes status/postingan mereka. Padahal sama sekali tidak penting L Ah.. Ya Rabb.. lindungi kami dari hal-hal yang mendekatkan kami pada zina.

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat."
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.......... (24:30-31)
Dan ayat ini... adalah bukti lain, bahwa dalam masalah ini (baca: interaksi ikhwan-akhwat, hijab, zina) kita harus begitu hati-hati. Begitu hati-hati. Karena bahkan “sekedar” pandangan, kita diminta untuk menahannya, menundukkannya. Begitu hati-hati. Karena justru lewat hal kecil yang sering kita lalaikan -pandangan-, hijab kita tersingkap, hati kita terlukai, dan zina? Dari hal kecil inilah ia berawal.

Sebelum aku menulis terlalu banyak lagi, menulis sesuatu di atas ke-sok-tahu-an-ku. Mungkin baiknya segera aku akhiri tulisan ini. Yang jelas di sini, kita sama-sama sepakat. Bahwa kita harus berhati-hati dalam hal hijab, interaksi ikhwan-akhwat dan mendekati zina. Sama-sama sepakat, untuk tidak lagi menuduh orang lain, sebelum benar-benar betabayyun. Wallahua’lam. Wallahua’lam,

***

Anyway.. Kalau boleh bersinis ria. Yang lebih kupertanyakan perihal masalah di atas adalah : ketika batasan-batasan itu boleh saja dilanggar. Dengan pertimbangan siapa? Dengan pertimbangan MR masing-masing. Huh! Maaf saja ya. Memang bisa dijadikan standar, bertanya pada MR? //no offense

“Aku udah diijinin kok, pulang malem sama orang tua dan MR.”

-.- hm, entahlah. Aku tahu ini tak bijak. Tapi kalau aku : bahkan jika orangtuaku mengijinkan, aku tetap enggan pulang malam. Apalagi sekedar alasan karena osjur, himpunan, kepanitiaan -.- tetap saja.
Begitu pula tentang interaksi ikhwan-akhwat. Jangankan malam hari, siang hari pun. Ada batasan-batasan yang harus kita jaga. Berkomunikasi dan berinteraksi seperlunya. Jika tidak penting dan tidak urgen, lebih baik tidak sama sekali.

Karena masing-masing dari kita ingin menjaga hijab dan hati dengan baik. Karena masing-masing dari kita ingin taat pada perintah-Nya Walataqrobuzzinaa.

***

Jika ada yang bertanya : nggak penting banget sih nulis ini? Atau bertanya : harus ya ditulis? Haha :D Well I’d like to answer. No it’s not. I know I’m kinda too sensitive. And these are my sensitive thought. According to me, it better to be written than to be spoken. At least, it doesn’t hurt the person that makes me felt sensi. You still wondering why I wrote this? You can leave it, and don’t read it :P
Wallahua’lam.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya