-Muhasabah diri + SensiMe -
Seseorang beropini sebagai respon
pernyataan bahwa sebaiknya tidak ada acara malam yang melibatkan ikhwan dan
akhwat. Katanya.....
Kita harus keluar dr budaya2 yg dibuat2 nih
hhe, kalo ngelanggar syariat.. baru an g mau , bs jd an blm tau pdhl emang g
boleh
Masih orang yang sama. Menuliskan
kalimat dibawah, sebagai keheranannya atas “taqlid” budaya. Terlalu
mengada-ada, itu yang kutangkap darinya.
terkadang agak 'gajelas' dengan budaya euy
urang, dikarang2 manusia. Termasuk peraturan yang jatuhnya taqlid tanpa
berpikir hhe. Bukan gimana2, tapi ya gitu
Dua opini tersebut, somehow
menggelitikku untuk ikut beropini. Tentang topik sama yang ia komentari.
***
Karena sudah baca SensiMe, maka
seharusnya pembaca sudah tahu ke arah mana tulisan ini akan dibawa penulis.
Yup. I don’t agree to his opinion. Aku hanya tertawa dalam hati membaca
kalimatnya, kemudian mengomel sendiri –masih dalam hati-. Dan akhirnya,
memutuskan untuk menulis opiniku lewat sesi SensiMe kali ini.
“Memang ada ya, peraturan jam malam akhwat
tuh jam 8”
“Memang ada ya, peraturan kalau nggak boleh
ada komunikasi ikhwan akhwat lepas jam 9?”
“Emang siapa yang buat peraturan itu? Memang
dijelasin gitu di al quran? Memang rasulullah memberi contoh seperti itu?”
“Atau jangan-jangan, semua itu hanya
karangan manusia”
Dan pertanyaan demi pertanyaan
mungkin pernah sesekali, dua kali meluncur di pikiran, hati dan lisan kita.
Wajar kok, kalau kita pernah bertanya hal serupa seperti di atas. Setidaknya,
pertanyaan di atas menandakan kalau kita masih berpikir, tidak sekedar menerima
semua input yang masuk. Ada proses yang terjadi di otak kita. Hm. Setidaknya
kita mulai belajar, tentang urgensi ilmu di atas amal. Bukankah begitu? J
Pertanyaannya adalah, saat kita
merasa hal itu “salah”. Bolehkah kita lantas men-judge orang lain taqlid? Hanya
karena, kita melihat mereka “patuh” atas aturan-aturan yang menurut kita mengada-ada.
Tentu saja tidak kan? Karena kita tak pernah benar-benar tahu, apakah amal yang
dilakukan seseorang sudah berlandaskan ilmu, atau sekedar ikut-ikutan? Kiranya
kita setuju, bahwa kita tidak berhak men-judge seseorang sebelum benar-benar
bertabayyun padanya : apakah landasan ia melakukan amal ini dan amal itu.
***
-Jika diijinkan-
Let me tell you, sebuah alasan mengapa diri masih mengikut
pada aturan yang menurut orang tersebut diatas diada-adakan.
Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (17:32)
Dan
janganlah kamu mendekati zina.
Bagiku. Aturan tentang interaksi
ikhwan akhwat yang dibatasi oleh jam, adalah salah satu turunan dari ayat di
atas. Kita sama-sama tahu, bahwa zina itu adalah perbuatan keji. Bahkan,
mendekatinya pun kita dilarang oleh Allah.
Dan
janganlah kamu mendekati zina.
Malam hari,
ikhwan-akhwat berinteraksi. Ah, bukankah kita harus begitu berhati-hati. Karena
bisa jadi interaksi tersebut dapat dikatakan mendekati zina? Ya, bisa saja
masing-masing pihak (ikhwan-akhwat) sudah mengerti batasan interaksi yang
seharusnya. Ya, bisa saja awalnya tak ada niat untuk mendekati zina. Tapi coba
tengok kejadian ini atau ini? Tidakkah kita belajar, bahwa setan selalu
mengambil kesempatan di setiap celah kecil yang memungkinkan ia beraksi?
Dan
janganlah kamu mendekati zina.
Jangankan
interaksi fisik, bahkan ketika non fisik pun. Percaya tidak? Bisa jadi awalnya
hanya sms penting saja, lalu tiba-tiba saling bertanya tentang diri, lalu salah
seorang curhat, lalu pertanyaan dan pernyataan sangat tidak penting berhamburan. L Karena bahkan di
jejaring sosial, baik malam atau siang, kita seringkali menemukan fenomena
ikhwan-akhwat saling komen dan likes status/postingan mereka. Padahal sama
sekali tidak penting L
Ah.. Ya Rabb.. lindungi kami dari hal-hal yang mendekatkan kami pada zina.
Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat."
Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya..........
(24:30-31)
Dan ayat ini...
adalah bukti lain, bahwa dalam masalah ini (baca: interaksi ikhwan-akhwat,
hijab, zina) kita harus begitu hati-hati. Begitu hati-hati. Karena bahkan
“sekedar” pandangan, kita diminta untuk menahannya, menundukkannya. Begitu
hati-hati. Karena justru lewat hal kecil yang sering kita lalaikan -pandangan-,
hijab kita tersingkap, hati kita terlukai, dan zina? Dari hal kecil inilah ia
berawal.
Sebelum aku
menulis terlalu banyak lagi, menulis sesuatu di atas ke-sok-tahu-an-ku. Mungkin
baiknya segera aku akhiri tulisan ini. Yang jelas di sini, kita sama-sama
sepakat. Bahwa kita harus berhati-hati dalam hal hijab, interaksi ikhwan-akhwat
dan mendekati zina. Sama-sama sepakat, untuk tidak lagi menuduh orang lain,
sebelum benar-benar betabayyun. Wallahua’lam. Wallahua’lam,
***
Anyway.. Kalau boleh bersinis ria. Yang lebih kupertanyakan
perihal masalah di atas adalah : ketika batasan-batasan itu boleh saja
dilanggar. Dengan pertimbangan siapa? Dengan pertimbangan MR masing-masing.
Huh! Maaf saja ya. Memang bisa dijadikan standar, bertanya pada MR? //no
offense
“Aku udah diijinin kok, pulang malem sama orang tua dan MR.”
-.- hm, entahlah. Aku tahu ini tak bijak. Tapi kalau aku :
bahkan jika orangtuaku mengijinkan, aku tetap enggan pulang malam. Apalagi
sekedar alasan karena osjur, himpunan, kepanitiaan -.- tetap saja.
Begitu pula tentang interaksi ikhwan-akhwat. Jangankan malam
hari, siang hari pun. Ada batasan-batasan yang harus kita jaga. Berkomunikasi
dan berinteraksi seperlunya. Jika tidak penting dan tidak urgen, lebih baik
tidak sama sekali.
Karena masing-masing dari kita ingin menjaga hijab dan hati
dengan baik. Karena masing-masing dari kita ingin taat pada perintah-Nya Walataqrobuzzinaa.
***
Jika ada yang bertanya : nggak penting banget sih nulis ini?
Atau bertanya : harus ya ditulis? Haha :D Well I’d like to answer. No it’s not.
I know I’m kinda too sensitive. And these are my sensitive thought.
According to me, it better to be written than to be spoken. At least, it
doesn’t hurt the person that makes me felt sensi. You still wondering why I
wrote this? You can leave it, and don’t read it :P
Wallahua’lam.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya