#fiksi
Sepekan yang lalu kau memang sudah mau memakan obat dari dokter, obat yang selama satu tahun yang lalu kau tolak. Pekan ini kau memang sudah membaik, dalam hal.. Kau sudah mau mengakui bahwa dirimu sakit, dan butuh bantuan dokter. Maka kamu sudah mulai mau memakan obat-obat itu, sudah tiga kali sehari, meski terkadang kau suka menunda-nundanya.
Tapi sayangnya, tanpa sepengetahuanku kau diam-diam juga memakan racun. Seorang pasien lain yang memberitahuku hal ini, bahwa kau memang sudah mau meminum obat, tapi kau masih minum racun. Racun yang kau dapatkan entah dari mana. Selalu, kata pasien tersebut. Aku tadinya tidak percaya, tapi setelah melihat tes kemajuan kesehatanmu pagi ini aku dibuat lemas. Kau tidak membaik, justru memburuk, meski tidak sedrastis bulan lalu.
Aku melangkah ke ruanganmu, pelan, entah karena aku masih ragu dengan hasinya, atau karena aku ingin melihat dengan mata sendiri saat kau meminum racun, perlahan aku menengok ruanganmu, dari balik kaca kecil. Kau ada di sana, duduk di atas dipan putih dengan kedua tangan menggepal. Tiba-tiba kau menangis, aku melihat tubuhmu bergetar karena tangis. Ragu.. Aku akhirnya memberanikan diri mengetuk pintu, kemudian melangkah masuk menemuimu.
Kau berusaha mengehentikan tangismu dengan paksa, yang akhirnya justru menghasilkan isak, isak dan jeda-jeda nafas itu. Aku berada di hadapanmu, melihat dengan jelas jejak air mata yang membasahi pipimu. Kau perlahan mengulurkan kedua tanganmu, masih dalam kondisi tangan mengepal. Bibirmu bergetar seolah ingin mengatakan satu kata, atau satu kalimat. Tapi yang keluar dari tenggorokanmu justru deru sisa tangis. Aku mengusap punggungmu pelan, kemudian menyodorkan segelas air putih.
Tanganmu masih mengepal, tidak mengambil alih gelas yang aku tawarkan, membuatku berkata dalam hati, "ada sesuatu di kepalan tanganmu". Akhirnya aku yang mendekatkan gelas itu ke bibirmu. Kau sempat ragu, melihat ke gelas dan wajahku bolak-balik, dua atau tiga kali sampai akhirnya membuka mulutmu pelan, dan menegak air setengah terburu-buru.
"Pelan-pelan saja.." aku mengingatkanmu. Nafasmu kini sudah teratur, kau menyodorkan kedua tangan yang mengepal itu ke hadapanku.
"Dokter.." ucapmu dengan suara parau. Suara yang tercipta atas efek tangismu, ".. Pilih yang mana?"
Tapi sayangnya, tanpa sepengetahuanku kau diam-diam juga memakan racun. Seorang pasien lain yang memberitahuku hal ini, bahwa kau memang sudah mau meminum obat, tapi kau masih minum racun. Racun yang kau dapatkan entah dari mana. Selalu, kata pasien tersebut. Aku tadinya tidak percaya, tapi setelah melihat tes kemajuan kesehatanmu pagi ini aku dibuat lemas. Kau tidak membaik, justru memburuk, meski tidak sedrastis bulan lalu.
Aku melangkah ke ruanganmu, pelan, entah karena aku masih ragu dengan hasinya, atau karena aku ingin melihat dengan mata sendiri saat kau meminum racun, perlahan aku menengok ruanganmu, dari balik kaca kecil. Kau ada di sana, duduk di atas dipan putih dengan kedua tangan menggepal. Tiba-tiba kau menangis, aku melihat tubuhmu bergetar karena tangis. Ragu.. Aku akhirnya memberanikan diri mengetuk pintu, kemudian melangkah masuk menemuimu.
Kau berusaha mengehentikan tangismu dengan paksa, yang akhirnya justru menghasilkan isak, isak dan jeda-jeda nafas itu. Aku berada di hadapanmu, melihat dengan jelas jejak air mata yang membasahi pipimu. Kau perlahan mengulurkan kedua tanganmu, masih dalam kondisi tangan mengepal. Bibirmu bergetar seolah ingin mengatakan satu kata, atau satu kalimat. Tapi yang keluar dari tenggorokanmu justru deru sisa tangis. Aku mengusap punggungmu pelan, kemudian menyodorkan segelas air putih.
Tanganmu masih mengepal, tidak mengambil alih gelas yang aku tawarkan, membuatku berkata dalam hati, "ada sesuatu di kepalan tanganmu". Akhirnya aku yang mendekatkan gelas itu ke bibirmu. Kau sempat ragu, melihat ke gelas dan wajahku bolak-balik, dua atau tiga kali sampai akhirnya membuka mulutmu pelan, dan menegak air setengah terburu-buru.
"Pelan-pelan saja.." aku mengingatkanmu. Nafasmu kini sudah teratur, kau menyodorkan kedua tangan yang mengepal itu ke hadapanku.
"Dokter.." ucapmu dengan suara parau. Suara yang tercipta atas efek tangismu, ".. Pilih yang mana?"
"Hm?" tanyaku ingin kau memperjelas maksudmu.
"Salah satunya obat, satunya racun." penjelasanmu membuatku menyernyitkan dahi. Aku meletakkan gelas di meja sebelah dipanmu.
Aku meraih kedua tanganmu, kau setengah kaget, karena seharusnya hanya salah satu saja yang kupilih.
"Dokter..." ucapmu ingin minta penjelasan.
"Aku tidak peduli obat atau racun, aku memilih tanganmu. Tangan yang digerakkan oleh hatimu." jawabku sambil mengeratkan genggaman tanganku dengan tanganmu.
"Kamu tidak perlu orang lain untuk membantumu memilih. Kau sudah tahu yang mana yang baik untuk dirimu." lanjutku dengan senyum kemudian melepas kedua tanganmu.
Kau membuka kepalan kedua tanganmu, dua-duanya obat. Obat yang entah sejak kapan kau genggam itu, bentuknya kini sudah tidak karuan, tercampur keringat dan terpapar panas tubuhmu karena terlalu lama digenggam.
"Dokter percaya, keinginanmu untuk sembuh jauh lebih besar dari hal lain yang mendorongmu memilih racun"
Aku mengambil tissue basah di saku bajuku, perlahan membersihkan kedua telapak tangannya. Kau menangis, tapi kali ini tanpa suara atau isakan, mengalir saja dari matamu, melalui pipimu, ke dagu, kemudian jatuh ke telapak tanganmu.
The End.
***
PS: Maaf ya, ada beberapa saat saya ingin menulis fiksi, meski random dan tidak punya lesson value yang jelas. Abstrak dan pendek pula. Anyway.. untuk siapapun yang sedang sakit, semoga kamu Allah berikan kekuatan untuk bersabar dan berjuang. ^^
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya