Bismillah.
Refleksi Ramadhan #2
"Enaknya Ramadhan di rumah," celetuk Fivi, "bisa sahur dan berbuka bersama keluarga."
Aku terdiam mendengar respon kawan yang kamar kosnya tepat di sebrang kamarku. Rencananya aku akan melewati awal Ramadhan di Solo, bukan di tanah rantau, Bandung.
"Aku pertengahan Ramadhan di Bandung kok," hiburku. Fivi tersenyum tipis seolah berkata, aku biasa menjalani Ramadhan di sini sendiri.
***
Empat tahun lalu, aku tidak pernah tahu rasanya puasa di luar kota. Aku pun tidak pernah merasakan mudik saat itu, karena ayah dan ibu berasal dari kota yang sama. Namun sejak aku kuliah di Bandung, suka tidak suka, aku mulai membandingkan rasanya Ramadhan di rumah dan di tanah rantau.
Ramadhan di rumah artinya ada ibu yang siap membangunkanku sahur. Ramadhan di rumah artinya aku tidak memikirkan apa yang harus kumakan saat buka atau sahur. Ramadhan di rumah artinya berjalan beberapa langkah ke mushola An Nur bersama ibu dan kakak.
Ramadhan di rantau? Artinya konotasi dari kalimat-kalimat di paragraf sebelumnya. Bangun sahur sendiri, buka bersama dan tarawih di masjid salman bareng temen-temen asrama/kos. Ramadhan di rantau teringat saat matrikulasi, osjur, mengurus P3R Salman, mencuci gelas di depan SRC, dll.
Ramadhan di rumah atau di tanah rantau sama-sama menggores kenangan tersendiri. Masing-masing memiliki momen manis dan pahit. Tapi poinnya bukan itu. Ramadhan tetap istimewa, bukan karena tempat dimana kita berdiri. Ramadha istimewa karena keberkahan yang ada di dalamnya. Ramadhan istimewa karena di bulan ini Alquran turun. Alquran, petunjuk untuk semua manusia. Alquran, sebuah bacaan yang membuat kita berdiri dalam shaf yang rapat dan rapi.
Pertanyaan untuk diri, apa kabar Ramadhan? Di rumah atau di tanah rantau? Sudahkah kaupastikan Ramadhanmu tahun ini begitu istimewa? Apa kabar interaksi dengan Alquran?
Allahua'lam bishowab.
Aku terdiam mendengar respon kawan yang kamar kosnya tepat di sebrang kamarku. Rencananya aku akan melewati awal Ramadhan di Solo, bukan di tanah rantau, Bandung.
"Aku pertengahan Ramadhan di Bandung kok," hiburku. Fivi tersenyum tipis seolah berkata, aku biasa menjalani Ramadhan di sini sendiri.
***
Empat tahun lalu, aku tidak pernah tahu rasanya puasa di luar kota. Aku pun tidak pernah merasakan mudik saat itu, karena ayah dan ibu berasal dari kota yang sama. Namun sejak aku kuliah di Bandung, suka tidak suka, aku mulai membandingkan rasanya Ramadhan di rumah dan di tanah rantau.
Ramadhan di rumah artinya ada ibu yang siap membangunkanku sahur. Ramadhan di rumah artinya aku tidak memikirkan apa yang harus kumakan saat buka atau sahur. Ramadhan di rumah artinya berjalan beberapa langkah ke mushola An Nur bersama ibu dan kakak.
Ramadhan di rantau? Artinya konotasi dari kalimat-kalimat di paragraf sebelumnya. Bangun sahur sendiri, buka bersama dan tarawih di masjid salman bareng temen-temen asrama/kos. Ramadhan di rantau teringat saat matrikulasi, osjur, mengurus P3R Salman, mencuci gelas di depan SRC, dll.
Perpustakaan Salman ITB alias SRC (Salman Reading Corner) |
Ramadhan di rumah atau di tanah rantau sama-sama menggores kenangan tersendiri. Masing-masing memiliki momen manis dan pahit. Tapi poinnya bukan itu. Ramadhan tetap istimewa, bukan karena tempat dimana kita berdiri. Ramadha istimewa karena keberkahan yang ada di dalamnya. Ramadhan istimewa karena di bulan ini Alquran turun. Alquran, petunjuk untuk semua manusia. Alquran, sebuah bacaan yang membuat kita berdiri dalam shaf yang rapat dan rapi.
Pertanyaan untuk diri, apa kabar Ramadhan? Di rumah atau di tanah rantau? Sudahkah kaupastikan Ramadhanmu tahun ini begitu istimewa? Apa kabar interaksi dengan Alquran?
Allahua'lam bishowab.
***
PS: Ditulis 22 Juni 2015 di akun facebook khusus Ramadhan, salah satu projek Kompilasi
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya