#fiksi
from unsplash |
Aku memasuki ruangan pelan, aku kira sudah tidak ada orang, sudah jam 10 malam, kantor sudah hampir tutup. Kudapati seseorang di ujung ruangan, mengenakan senter di kepalanya, sedang membaca lembaran buku. Pantulan cahaya dari buku ke wajahnya memberitahuku fakta bahwa sembari membaca ia menangis, pipinya basah, matanya mengalirkan air mata, meski tidak ada isak. Aku mendekatinya, penasaran novel melankolis apa yang ia baca. Namun aku terhenyak saat mendapati grafik di buku yang ia baca. Kupanggil namanya pelan, ia sempat kaget menyadari keberadaanku, meletakkan buku dan buru-buru menghapus jejak tangis di wajahnya.
"Kenapa balik lagi?" tanyanya. Kujawab handphone dan dompet yang ketinggalan. Ia mendesah pelan lalu berceramah tentang kebiasaan burukku lupa dan meninggalkan barang-barang. Aku balik mencibirnya, "Orang bakal salah sangka kamu baca novel mellow.. apa yang sedih sih, dari buku teoritis itu?" kamu terdiam, tidak menjawab.
"Ada masalah?" tanyaku dengan nada lebih lembut. Ia menggeleng.
"Kelenjar air mataku lagi terlalu penuh, gatau kenapa baca buku ini rasanya terharu." Kuambil buku tersebut, kuperiksa satu persatu kalimat. Tidak ada yang mengharukan.
"Yakin kamu baca buku ini? Bukan mikirin hal lain sambil natep kosong halaman buku?" tanyaku, masih khawatir. Aku cuma bisa bantu kalau ia mau membuka diri, sedikit saja.
Bukannya menjawab ya atau tidak, kamu malah menjelaskan ringkasan dan pemahamanmu terhadap halaman buku yang terbuka tersebut, membuat mulutku terbuka, heran.
"Perempuan, hebat ya?" tanyaku. Pertanyaan retoris, ia memandang wajahku menanti lanjutan kalimatku.
"Bisa mikir hal lain, sekaligus baca buku", ucapku sembari berpikir, menerka apa masalahnya, juga berpikir baiknya aku harus melakukan apa. Mendengar kalimatku ia tertawa kecil, padahal kalimatku tidak lucu. Tapi anehnya, tawanya tidak terlihat palsu, matanya ikut mengecil, mengikuti ujung bibirnya yang naik.
***
Aku pulang dengan hati sedikit lebih ringan. Rasa khawatir itu memang masih ada untuknya, yang menangis dalam sunyi di pojok ruang kerja. Namun pengakuannya membuatku sedikit lebih lega, setidaknya aku tahu dia akan baik-baik saja.
Lampu merah membuatku memberhentikan motorku, selama menunggu, bayangan kejadian singkat malam ini terlintas.
"Tahu ga? Hape dan dompetmu ketinggalan, kamu yang balik lagi ke kantor," ucapnya sembari mengantarku ke garasi, "mungkin jawaban Allah atas doaku." mataku melebar, tak menyangka mendapatkan kata-kata manis itu dari sesama perempuan, dan bukan sahabat dekat yang biasa saling curhat, cuma rekan kantor yang obrolannya tidak lepas dari pekerjaan.
"Tadi.. sebelum aku baca buku dan nangis, aku pengen banget ga sendirian ngelembur tugas kantor." jelasmu. Aku hanya ber-oh, lalu tersenyum, tidak menyangka keberadaanku yang sejenak itu bisa menghiburnya, meski aku tidak bisa menemaninya bermalam di kantor.
"Kamu... jangan pakai kalimat itu anak kantor lain ya. Mereka bakal salah sangka, bakal ke GRan nanti,"
"Ey.. ga lah. Mana berani aku, nanti aku bisa di cap PHP." jawabnya. Memang sekantor, cuma kami berdua yang perempuan, lainnya laki-laki.
Suara klakson menyadarkan lamunanku, aku melajukan motorku lagi, menuju rumah yang berjarak lima menit lagi dari lampu merah tersebut.
'Alhamdulillah... aku bisa jadi jawaban atas doa rekan kerjaku. Semoga aku bisa sepeka ia, yang ketika berdoa meminta A dan diberi B, tetap bisa menyadari bahwa B juga merupakan jawaban doa dari Allah. Aamiin,' ucapku dalam hati. Kubuka pintu rumah sembari mengucap salam. Adikku menjawab pendek salamku dengan wajah mengantuk, masih berusaha tidak tidur untuk menghadang serangan UTS kampusnya.
The End.
***
PS: Ciee yang sedang mood nulis fiksi, sampai berturut-turut. *gak penting banget ya? Hehe. Pengen ada non fiksinya aja jadi ada PS-nya. Tulisan fiksi (cerpen/novel) memiliki beberapa jenis alur cerita, ada yang maju, mundur dan ada juga yang kombinasi. Yang ini, termasuk yang mana ya? Aku lebih sering pakai yang mana?
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya