Follow Me

Saturday, October 14, 2017

Dua Saudari, Dua Karakter, dan Seorang Ibu

Bismillah.
#hikmah


Dua Saudari

Dua orang saudari, berbagi satu rahim. Setelah empat bulan sang kakak dilahirkan dari rahim tersebut, sang adik giliran mengisi rahim itu. Tiga belas bulan jarak kelahiran kedua saudari ini. Satu tahun lebih empat puluh hari, relatif waktu yang singkat, namun relatif lama. Keduanya tumbuh bersama, berebut mainan, mengenakan baju yang sama, belajar membaca bersama. Setiap pertengkaran kecil, setiap tawa, setiap tangis, setiap saat kebersamaan, menjadikan keduanya dekat, tidak sekedar kakak-adik, tapi seolah teman seumuran, berbagi rahasia-rahasia kecil, pergi ke sekolah yang sama. Ya, dari tingkat kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan akhir. Sampai akhirnya keduanya terpisah oleh jarak, sang kakak ditakdirkan duduk kuliah di kota kelahirannya, sedangkan sang adik merantau ke kota orang.

Dua Karakter

Seperti kembar yang berbeda karakter, kedua saudari yang hanya berbeda satu tahun lebih ini juga memiliki dua karakter yang berbeda. Yang satu dominan, ekstrovert, koleris. Yang lain melankolis, introvert, sanguin. Yang satu sangat disiplin, yang lain perlu diajarkan supaya disiplin. Yang satu pelit, yang satu dermawan. Mereka berbeda, seringkali bertolak balik tapi tidak jarang pula beririsan. Mereka klop, dua karakter yang klop. Yang ekstrovert anehnya bisa membaca rahasia-rahasia introvert, mungkin karena sudah tumbuh dan besar bersama. Lewat sang ekstrovert, ibu jadi mengetahui sang introvert. Ya, Ibu.

Seorang Ibu

Seorang ibu yang melankolis, protektif, tekun. Sering mengajak bercanda kedua putrinya tentang cinta monyet keduanya saat masih remaja. Namun bisa berbicara wejangan tentang calon suami kedua putrinya kelak dengan serius namun tidak membebani. Seorang ibu yang sering menyenderkan badannya, meminta perhatian dari kedua putrinya. Seorang ibu yang mengirim sms berkali-kali dalam sehari untuk mengetahui keadaan kedua putrinya.

Tidak ada yang tahu, mengapa Allah menakdirkan sang introvert untuk pergi merantau. Tidak ada yang tahu, mengapa Allah menakdirkan sang ekstrovert untuk tetap di samping sang Ibu. Selama masa-masa itu... banyak hal terjadi. Sang introvert sadar, bahwa ia begitu buruk menjaga komunikasi dengan sang Ibu. Sang ekstrovert, sering marah-marah kalau sang Ibu menyenderkan badannya manja padanya.

Waktu berlalu, roda berputar. Sekarang sang introvert yang berada di sisi Ibunya, sedangkan sang ekstrovert merantau, mengikuti suaminya yang bekerja di luar pulau. Hikmah, selalu datang diam-diam, menelisip saja ke kalbu manusia, menanti untuk ditemukan.

Sang introvert diam-diam bersyukur, setelah 6 tahun merantau, ia kini bisa berada lagi di samping ibunya. Shalat berjamaah bersama, saling bersandar manja, mendengarkan kecerewetan Ibunya langsung dan bukan lewat pesan yang menumpuk di hape. Ia senang bisa berada di samping Ibunya, berjalan bersama, menemani Ibunya menghadiri majelis ilmu, meski tak banyak kata, tapi berada di samping Ibunya sedikit demi sedikit menghapus luka di hatinya.

Sang ekstrovert diam-diam bersyukur, merantaunya kali ini lebih bermakna. Ia menjadi paham peran Ibu dalam hidupnya, kerinduan yang muncul setiap kali ia di rumah, memori bersama Ibu yang muncul seiring waktunya bersama bayi pertamanya. Rindunya masih bisa diejawantahkan di setiap telpon menjelang magrib, ia selalu tahu pertanyaan dan cerita apa yang butuh ia ungkapkan. Waktu sempit itu memang tidak pernah mampu mengganti saat dulu ia bisa bebas bercerita apa saja pada Ibunya saat masih satu rumah, namun karena pernikahannya, ia jadi paham betapa berharga waktu-waktu yang dulu ia lewati.

Dua Saudari, Dua Karakter dan Seorang Ibu

Semoga ketiganya bisa menjalin silaturahim dengan caranya masing-masing, hingga kelak, dipertemukan lagi di Jannatullah. Aamiin.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya